“`html
Perjalanan Menuju Wae Rebo, Kampung Adat di Flores yang Dijuluki Negeri di Atas Awan
Menjelajahi Wae Rebo, permata tersembunyi di Flores yang terkenal sebagai “negeri di atas awan,” bukan sekadar aktivitas mendaki. Ini adalah sebuah perjalanan spiritual, kesempatan untuk merenung di tengah kesunyian alam yang memukau.
Petualangan ini dimulai dari Desa Denge, titik awal pendakian menuju Wae Rebo. Dari sana, kami harus menaklukkan jalur pendakian sejauh enam kilometer yang menguji adrenalin. Rute yang kami lalui terjal, berliku-liku, dan terkadang cukup licin. Meskipun demikian, setiap langkah yang kami ambil membawa kami semakin dekat dengan desa yang seolah bersembunyi di antara kabut dan awan.
Menyatu dengan Tradisi: Ritual Penyambutan di Wae Rebo
Setibanya kami di kampung adat Wae Rebo, langkah kaki tidak serta merta bebas melangkah. Ada serangkaian tradisi yang wajib dihormati oleh setiap pengunjung yang datang. Upacara penyambutan dilaksanakan di Mbaru Gendang, rumah utama yang menjadi pusat kegiatan adat. Sebagai bagian dari penghormatan, kami sebagai tamu, menerima berkat secara simbolis sebagai tanda diterimanya kami oleh arwah leluhur penjaga desa.
Tujuh bangunan rumah kerucut, yang dikenal sebagai Mbaru Niang, berdiri kokoh membentuk lingkaran yang menawan. Lebih dari sekadar bangunan fisik, Mbaru Niang adalah manifestasi filosofi hidup masyarakat Manggarai. Bentuk lingkaran yang mereka bangun menggambarkan harmoni, kebersamaan, dan hubungan erat antara manusia dengan alam sekitar.
Apabila Anda tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang keunikan rumah adat di Indonesia, Wae Rebo adalah destinasi yang sangat direkomendasikan, baik dari segi budaya maupun keindahan visualnya.
Belajar Kesederhanaan dari Wae Rebo
Di tengah kedamaian Wae Rebo, kehidupan berjalan tanpa sentuhan teknologi modern. Anak-anak riang bermain dengan tali dan batu, para ibu dengan tekun melanjutkan tradisi menenun kain, dan para bapak bergotong royong merawat kebun. Jauh dari kebisingan kota, kehidupan di sini terasa sangat bermakna. Masyarakatnya menggantungkan diri pada alam, mengandalkan keterampilan tangan sendiri, dan menghidupi rasa syukur yang jarang saya temukan di perkotaan.
Saat perjalanan turun dari Wae Rebo berakhir, kaki terasa lelah, namun hati dipenuhi kebahagiaan. Saya membawa pulang bukan hanya foto-foto indah, melainkan juga cerita, pelajaran hidup, dan kehangatan dari sebuah desa yang menyambut saya dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri.
Sebagai putra Manggarai, saya merasa familiar dengan Wae Rebo. Namun, baru setelah mendaki jalurnya yang menantang, merasakan kabutnya yang menyegarkan, dan mendengarkan suara bambu di pagi hari, saya menyadari bahwa saya belum sepenuhnya mengenal kampung halaman saya sendiri.
“`