Beijing Amerika: Pengaruh AS di Ibukota Tiongkok?

Avatar photo

- Penulis

Minggu, 1 Juni 2025 - 18:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mencari tiket pesawat murah adalah dambaan setiap pelancong, tak terkecuali saya. Namun, keinginan ini seringkali berbenturan dengan gaya bepergian saya yang cenderung spontan dan serba mendadak. Di era ketika setiap penghematan sangat berarti, pendekatan impulsif seperti ini justru kerap berujung pada kenyataan pahit: sulitnya mendapatkan harga tiket yang kompetitif.

Pengalaman pahit pernah saya rasakan ketika mencoba mengubah kebiasaan. Merencanakan perjalanan dua bulan sebelumnya, alih-alih hemat, saya malah harus mengeluarkan uang lebih banyak. Jadwal yang berubah, tiket terbuang, dan pembelian tiket baru justru membuat pengeluaran membengkak dua kali lipat. Seringkali, bukan jadwal yang berubah, melainkan gejolak keinginan yang tak terduga. Misalnya, rencana ke Datong untuk melihat proyek kereta 1.000 km/jam muncul mendadak, atau keinginan untuk singgah di Kazakhstan—mumpung berada di Beijing dan hanya lima jam penerbangan—tiba-tiba menguat.

Impian ke Kazakhstan ini dipicu oleh berita tentang bebas visa, membangkitkan rasa penasaran saya akan negeri yang belum pernah terjamah ini. Kebetulan, dari Beijing, tujuan akhir saya adalah New York, dan tiket pesawat belum di tangan, menyisakan ruang fleksibilitas. Pikiran pun berkelana: mengapa tidak melalui Kazakhstan yang “sejalur” ke New York, meski ke arah barat? Namun, potensi kesulitan mencari tiket lanjutan dari Kazakhstan ke New York memunculkan alternatif lain. Peta kembali menjadi penuntun; Beograd, ibu kota Serbia pascabubarnya Yugoslavia, menjadi pilihan. Sudah 45 tahun saya tidak menginjakkan kaki di Serbia, terakhir kali saat mendampingi Presiden Soeharto pada KTT Non-Blok. Jika Beograd tak ada penerbangan langsung, Belarusia pun sempat terlintas, menambah satu lagi daftar negara yang belum saya kunjungi. Tentu saja, opsi termurah selalu lewat Frankfurt atau Paris, namun itu tak akan memperkaya pengalaman dengan destinasi baru.

Pada akhirnya, rencana ke Kazakhstan urung terwujud, untungnya tanpa kerugian finansial karena tiket belum terbeli. Prioritas beralih ke Datong yang lebih mendesak. Sementara itu, waktu untuk keberangkatan ke New York kian mepet. Tak ada pilihan lain, rute ke arah timur menjadi solusi paling masuk akal, dan dianggap “lebih murah.” Namun, frasa “lebih murah” ini sejatinya relatif; harga tiket pesawat di era sekarang terasa jauh lebih mahal dibanding dulu, memicu keluhan akan biaya perjalanan yang membengkak. Mau tak mau, saya harus membandingkan maskapai demi maskapai, mencari rute paling efisien dan terjangkau.

Pilihan pun mengerucut pada beberapa maskapai raksasa Asia yang melayani rute timur: Cathay Pacific (via Beijing-Hong Kong-New York), All Nippon Airways (Beijing-Tokyo-New York), Japan Airlines (Beijing-Tokyo-New York), atau Korean Air (Beijing-Seoul-New York). Sesekali saya melirik opsi rute barat seperti Emirates (Beijing-Dubai-New York) atau Qatar Airways (Beijing-Doha-New York), namun harganya melonjak hingga dua kali lipat. Akhirnya, keputusan bulat dijatuhkan pada Cathay Pacific melalui Hong Kong, yang menawarkan penghematan signifikan, hampir Rp 10 juta. Tanpa pikir panjang, tiket segera dipesan, khawatir harga akan kembali meroket jika terlalu lama menimbang.

Baca Juga :  15 Cafe Instagramable di Kintamani Bali dengan Pemandangan Gunung yang Menakjubkan

Rasa lega dan bangga menyeruak setelah berhasil membuat keputusan “penghematan” yang begitu besar. Namun, benarkah selisih Rp 10 juta itu sepenuhnya nyata? Penerbangan dari Beijing yang lepas landas sore hari tiba di Bandara Internasional Hong Kong sekitar pukul 20.00, sementara pesawat lanjutan menuju New York baru akan terbang keesokan harinya menjelang tengah hari. Sekilas, hal ini tak menjadi masalah besar. Saya membayangkan bisa beristirahat nyaman di *business lounge* Cathay Pacific, yang terkenal luas, menyediakan aneka hidangan lezat mulai dari mi *wonton* hingga nasi goreng, serta pilihan minuman yang melimpah—meski pada akhirnya saya memilih air putih hangat.

Fasilitas di lounge itu sungguh memanjakan: Wi-Fi kencang, beragam sofa nyaman, kursi untuk berbaring, area bar, hingga kamar mandi lengkap dengan peralatan mandi dan handuk bersih. Saya pikir, semalam di sana tak akan terasa, dan pagi harinya bisa mandi lagi sebelum penerbangan. Lagipula, saya hanya membawa satu tas kecil. Opsi menginap di Hotel Regal yang berjarak sepelemparan batu dari bandara memang ada, namun itu berarti harus repot melewati imigrasi dan tentu saja, mengeluarkan biaya. Padahal, saya sedang dalam euforia penghematan Rp 10 juta. Namun, realitas menampar setelah mandi malam: lounge megah itu ternyata tutup pukul 01.30 dini hari dan baru buka kembali pukul 05.00.

Pukul 23.00, setelah menikmati hidangan, saya memutuskan untuk menulis naskah Disway, enggan mengambil risiko tertidur pulas di sofa. Tak lama kemudian, pada pukul 01.30, saya “terusir” dan terpaksa pindah ke ruang tunggu dekat gerbang. Di sana, ratusan kursi kosong menanti, menjadi tempat bersandar bagi saya dan banyak penumpang lain yang senasib. Pemandangan beberapa turis asing yang tidur pulas di lantai berkarpet tebal menjadi bukti betapa panjangnya malam itu. Walhasil, semalam suntuk saya tak bisa memejamkan mata. Keuntungan Rp 10 juta yang dibanggakan terasa sia-sia, berganti kerugian imaterial jika sampai jatuh sakit akibat kurang tidur.

Baca Juga :  Liburan Mewah di Manado: Inilah Hotel Bintang 5 Terbaik!

Tepat pukul 05.30, saya kembali memasuki *business lounge* yang telah dibuka. Mandi, sarapan sepuasnya, dan menghabiskan waktu sambil menahan kantuk. Saya tahu, 15 jam perjalanan di pesawat akan menjadi ajang “balas dendam” tidur pulas, tanpa takut terusir. Oleh karena itu, saya makan hingga kenyang, merasa seperti mendapatkan sarapan gratis—padahal sejatinya sudah termasuk dalam harga tiket. Dengan perut terisi penuh, saya berpesan kepada pramugari untuk tidak membangunkan saya demi makanan, agar dapat tidur tanpa gangguan.

Benar saja, saya tidur pulas, bahkan sampai bermimpi tentang penghematan Rp 10 juta yang luar biasa itu, mungkin sambil tersenyum dalam tidur. Ketika terbangun, saya teringat pekerjaan yang belum selesai: memilih komentar pilihan untuk Disway, padahal batas waktunya sudah mepet dan posisi pesawat diperkirakan sudah melintasi Rusia timur. Namun, kegelisahan itu sirna. Pesawat dilengkapi Wi-Fi gratis yang bekerja dengan sangat baik. Sambil tersenyum sendiri, saya mulai membaca komentar-komentar yang beragam, usil, dan jenaka. Saya perhatikan, kualitas komentar kini kian bermutu, seringkali sulit untuk tidak melampaui batas 20 pilihan yang diberikan.

Setibanya di Bandara JFK New York, saya terkejut mendapati antrean imigrasi yang sangat lengang, padahal waktu menunjukkan pukul 12.30 siang. Dengan cepat, saya menuju loket yang hanya dibuka dua, dan saya berada di urutan kelima. Tak sampai lima menit, giliran saya tiba. Saya sudah menyiapkan jawaban “sapu jagat” jika ditanya tujuan ke Amerika: “Indy 500.” Benar saja, pertanyaan itu terlontar. “Lima hari lagi ya,” timpal petugas imigrasi, sambil dengan sigap mencap paspor saya tanpa menanyakan bukti pembelian tiket balap mobil. Proses yang sungguh kilat dan efisien.

Kecepatan dan kelancaran proses imigrasi ini sungguh jauh melebihi bayangan kebanyakan orang tentang Amerika. Bahkan, penjemput saya baru akan tiba 30 menit kemudian. Namun, itu bukan masalah. Udara di luar bandara terasa sangat sejuk dan suasana pun tenang. Saya memanfaatkan waktu luang dengan melakukan senam ringan, memilih gerakan-gerakan yang sudah hafal tanpa perlu musik. Setengah jam berolahraga terasa kurang, saking nyamannya udara dan lancarnya seluruh perjalanan. Semua pengalaman positif ini, ditambah fasilitas jemputan gratis, membuat saya merasa keberuntungan yang saya dapatkan jauh melampaui “penghematan” Rp 10 juta yang awalnya saya banggakan. Ini adalah sebuah perjalanan yang penuh pelajaran, dari obsesi penghematan hingga menemukan nilai sejati kenyamanan dan pengalaman.

Berita Terkait

Keindahan Tersembunyi Dunia, Seri #13: Negara yang Wajib Dikenang
Visa Haji Furoda Gagal, Calon Jamaah Rugi Ratusan Miliar?
7 Tips Naik Pesawat Pertama Kali, Dijamin Anti Panik!
Liburan Idul Adha 2025? 9 Wisata Indah di Serang Banten, Cocok untuk Piknik
Lapor Oknum Booking Ilegal di Rinjani, Ini Cara Mudah untuk Pendaki!
Borobudur: 5 Destinasi Wisata Tersembunyi di Sekitarnya, Wajib Dikunjungi!
Nasi Goreng & Mie Jawa Goyang Madrid: Promosi Wisata Kuliner Indonesia!
Liburan Mewah: 5 Destinasi Impian yang Wajib Anda Kunjungi

Berita Terkait

Selasa, 3 Juni 2025 - 06:02 WIB

Keindahan Tersembunyi Dunia, Seri #13: Negara yang Wajib Dikenang

Senin, 2 Juni 2025 - 23:32 WIB

Visa Haji Furoda Gagal, Calon Jamaah Rugi Ratusan Miliar?

Senin, 2 Juni 2025 - 22:02 WIB

7 Tips Naik Pesawat Pertama Kali, Dijamin Anti Panik!

Senin, 2 Juni 2025 - 13:42 WIB

Liburan Idul Adha 2025? 9 Wisata Indah di Serang Banten, Cocok untuk Piknik

Senin, 2 Juni 2025 - 11:23 WIB

Lapor Oknum Booking Ilegal di Rinjani, Ini Cara Mudah untuk Pendaki!

Berita Terbaru

politics

Samsat Keliling Bali, Selasa Ini: Jadwal & Lokasi Terdekat!

Selasa, 3 Jun 2025 - 08:07 WIB

finance

Saham Tambang Melemah Jelang FTSE, Beli atau Jual Sekarang?

Selasa, 3 Jun 2025 - 06:52 WIB