Raja Ampat Dihantui Tambang Nikel: KKP Bergerak Cepat, Greenpeace Beberkan Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Jakarta – Kawasan perairan Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang dikenal sebagai surga bawah laut dengan keanekaragaman hayati tak tertandingi, kini menjadi sorotan utama. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah merespons dugaan aktivitas pertambangan nikel yang mengancam kelestarian ekosistem di wilayah tersebut dengan mengirimkan tim khusus untuk investigasi.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Pung Nugroho Sasono, menyatakan bahwa tim dari kepolisian khusus telah diterjunkan langsung ke Raja Ampat untuk melakukan pengecekan. “Kami sudah menurunkan tim ke sana dari kepolisian khusus,” ujar Pung di kantornya di Jakarta Pusat, Kamis, 5 Juni 2025. Meskipun demikian, Pung memperkirakan aktivitas pertambangan nikel tidak mengancam langsung kawasan pesisir karena lokasinya yang “agak di atasnya.” Namun, kepastian mengenai dampak pertambangan ini masih menunggu hasil penelusuran tim di lapangan, yang akan diumumkan setelah mereka kembali.
Tak hanya menerjunkan tim sendiri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, juga menegaskan pentingnya koordinasi lintas kementerian dalam menangani isu pertambangan nikel di Raja Ampat. “Soal nikel, kami tentu akan mengkoordinasikan dengan banyak kementerian. Ada Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup,” jelas Trenggono pada kesempatan yang sama. Sinergi antarlembaga diharapkan dapat memberikan solusi komprehensif.
Dugaan pencemaran lingkungan di Raja Ampat ini mencuat setelah hasil penelusuran mendalam dari Greenpeace Indonesia. Organisasi lingkungan tersebut menemukan indikasi aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau ini termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, seharusnya tidak boleh ditambang. Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan terhadap regulasi perlindungan lingkungan.
Lebih lanjut, investigasi Greenpeace mengungkap pembukaan lahan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas di kawasan Raja Ampat untuk kepentingan pertambangan nikel. Dokumentasi yang mereka miliki menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi masif di pesisir. Kondisi ini berpotensi merusak terumbu karang dan seluruh ekosistem perairan Raja Ampat, yang sangat vital bagi keanekaragaman hayati global. Selain tiga pulau tersebut, Pulau Batang Pele dan Manyaifun, yang berdekatan dengan Piaynemo—gugusan bukit karst ikonik yang terpampang di uang pecahan Rp100 ribu—juga terancam oleh ekspansi tambang nikel.
Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, menyatakan kekhawatirannya yang mendalam terhadap situasi ini. Raja Ampat adalah mutiara biodiversitas dunia, baik di darat maupun di laut. Perairannya menjadi rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratannya pun tak kalah kaya, dengan 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. Keunikan dan kekayaan ini membuat UNESCO menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai *global geopark*. “Kerusakan yang dilakukan industri nikel, kita udah lihat bagaimana dampaknya di Halmahera, di Wawonii, di Kabaena, yang begitu dahsyatnya. Saat ini sudah mulai masuk di Raja Ampat, ada lima pulau yang sudah mulai dieksploitasi dan dibongkar,” ujar Kiki, membandingkan potensi kerusakan dengan wilayah lain yang telah terdampak parah.
Sebagai bentuk protes dan upaya menyuarakan kekhawatiran ini, Greenpeace menggelar orasi dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Central Park, Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025. Para aktivis Greenpeace bersama empat pemuda Papua membentangkan sejumlah spanduk, bahkan dua di antaranya diterbangkan menggunakan balon. Pesan utama yang ingin disampaikan sangat menggugah: “What is the true cost of your nickel? Apa sih sebenarnya harga yang didapat dari nikel? Saat ini kita bisa melihat bagaimana dampaknya sangat besar,” pungkas Kiki, menyoroti biaya lingkungan dan sosial yang harus ditanggung demi aktivitas pertambangan nikel.
Penelusuran KKP di lapangan menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran dugaan kerusakan lingkungan ini, sekaligus menentukan langkah mitigasi dan penegakan hukum yang diperlukan demi menjaga kelestarian Raja Ampat sebagai salah satu warisan alam berharga dunia bagi generasi mendatang.