Di jantung Roma, Italia, 133 kardinal berkumpul, menimbang-nimbang siapa yang paling pantas memimpin Vatikan di masa depan. Namun, perdebatan sengit mengenai suksesor Paus Fransiskus ini tak lepas dari bayang-bayang warisan kompleks yang ditinggalkannya.
Salah satu aspek yang paling pelik dan menimbulkan perdebatan dalam catatan kepemimpinan Paus Fransiskus di mata Gereja Katolik Roma adalah responsnya terhadap serangkaian kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh oknum rohaniawan.
Diakui luas bahwa Paus Fransiskus telah mengambil langkah-langkah yang lebih progresif dibandingkan pendahulunya dalam mengakui penderitaan para korban dan mereformasi prosedur internal Gereja.
Namun, bagi banyak penyintas, upaya-upaya yang telah digagas Paus Fransiskus masih belum memadai dan meninggalkan banyak pekerjaan yang belum terselesaikan.
Perhatian: Artikel ini mengandung deskripsi detail tentang kekerasan seksual yang mungkin membuat sebagian pembaca merasa terganggu.
Kisah pilu Alexa MacPherson dimulai saat ia berusia tiga tahun, ketika seorang pastor Katolik melakukan pelecehan terhadapnya, sebuah siksaan yang berlangsung selama enam tahun.
“Saat saya berusia sembilan setengah tahun, ayah saya memergoki pastor itu mencoba memperkosa saya di sofa ruang tamu,” kenang MacPherson saat kami bertemu di tepi pantai Boston.
“Bagi saya, kejadian itu sudah menjadi bagian dari keseharian.”
Setelah mengetahui kebenaran mengerikan itu, ayahnya segera melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib.
Pada tanggal 24 Agustus 1984, Pastor Peter Kanchong dijadwalkan untuk menghadapi persidangan atas tuduhan pidana, dituduh melakukan penyerangan dan kekerasan terhadap anak di bawah umur.
Namun, tanpa sepengetahuan keluarga MacPherson, serangkaian peristiwa luar biasa terjadi di balik layar.
Gereja Katolik, sebuah institusi dengan pengaruh besar di Boston, yakin bahwa pengadilan akan berpihak pada kepentingan mereka.
“Pengadilan mencoba menangani masalah ini sedemikian rupa untuk membantu Pastor Peter dan menghindari skandal yang akan merugikan Gereja,” tulis Uskup Agung Boston saat itu, Bernard Law, dalam surat yang disembunyikan selama bertahun-tahun.
Alexa MacPherson mengakui bahwa tragedi yang menimpanya terjadi lebih dari empat dekade lalu, jauh sebelum Paus Fransiskus menduduki kursi kepausan di Vatikan.
Namun, pada periode yang sama, serangkaian skandal global terungkap, menyoroti bahwa isu eksploitasi seksual sistemik terhadap anak-anak tetap menjadi tantangan terbesar yang dihadapi Gereja modern.
MacPherson meyakini bahwa Paus Fransiskus gagal mengatasi tantangan mendasar ini secara memadai.
Keyakinan ini ia tegaskan ketika saya menanyakan tanggapannya terhadap berita kematian Paus tersebut.
“Sejujurnya, saya tidak merasakan reaksi yang berarti,” jawabnya dengan nada datar.
“Saya tidak ingin mengabaikan hal-hal baik yang telah ia lakukan, tetapi pekerjaan rumah Gereja, Vatikan, dan mereka yang bertanggung jawab dalam hal ini masih sangat banyak.”
Mengungkap Pelecehan
Surat dari Uskup Agung Bernard Law pada tahun 1984 ditujukan kepada seorang uskup di Thailand.
Surat itu, yang merujuk pada tuduhan “pelecehan anak”, ditulis dua bulan setelah sidang pengadilan di Boston. Keputusan pengadilan menyatakan bahwa Gereja tidak terlibat dalam skandal tersebut.
Peter Kanchong, yang berasal dari Thailand, terhindar dari tuntutan pidana formal dan hanya menerima hukuman percobaan selama satu tahun. Hukuman ini diberikan dengan syarat dia menjauhi keluarga MacPherson dan menjalani terapi psikologis.
Dalam suratnya, Uskup Agung mencatat bahwa evaluasi psikologis Gereja mengungkapkan bahwa pastor tersebut “tidak termotivasi dan tidak responsif terhadap terapi”. Oleh karena itu, dia harus “dipaksa menghadapi konsekuensi dari tindakannya” melalui hukum pidana dan hukum Gereja.
Namun, alih-alih menindaklanjuti saran tersebut, Uskup Agung malah memohon kepada uskup Thailand untuk segera memanggil Peter Kanchong kembali ke keuskupannya di Thailand.
Untuk kedua kalinya, Uskup Agung menekankan risiko “skandal besar” jika pastor tersebut tetap berada di Amerika Serikat.
Laporan media pada saat itu mengungkapkan bahwa otoritas Gereja di Thailand menyetujui untuk menerima Peter Kanchong kembali.
Namun, Peter Kanchong mengabaikan panggilan tersebut. Dia justru menemukan pekerjaan di Boston, di sebuah fasilitas yang melayani orang dewasa dengan disabilitas belajar.
Pada tahun 2002, lebih dari 18 tahun setelah ayah MacPherson pertama kali melaporkan ke polisi, surat Uskup Agung itu dipublikasikan oleh Gereja Katolik atas perintah Pengadilan Boston.
Surat tersebut hanyalah salah satu dari ribuan halaman dokumen yang dirilis Gereja Katolik.
Surat kabar lokal, The Boston Globe, memutuskan untuk menantang kekuasaan Gereja Katolik di kota itu dengan menempatkan kisah-kisah para korban di halaman depannya.
Tidak lama kemudian, ratusan orang dan pengacara mereka berjuang di pengadilan untuk membuka catatan internal yang berisi informasi tentang pelecehan seksual terhadap anak-anak yang telah disimpan selama beberapa dekade.
Gereja mencoba berargumen bahwa Amandemen Pertama Konstitusi AS melindungi kebebasan beragama sehingga Gereja memiliki hak untuk merahasiakan berkas-berkas tersebut.
Oleh karena itu, putusan pengadilan yang memerintahkan pembukaan dokumen-dokumen tersebut menjadi momen penting dalam upaya mengungkap kebenaran.
Ketika dihubungi pada saat itu, Peter Kanchong menyangkal semua tuduhan.
“Apakah Anda punya bukti? Apakah Anda punya saksi?” tanyanya kepada The Boston Globe saat diwawancarai di kota tersebut.
MacPherson adalah salah satu dari lebih dari 500 korban yang berhasil memenangkan gugatan perdata senilai US$85 juta (sekitar Rp1,3 triliun) atas pelecehan yang mereka alami di tangan puluhan pastor.
Berkas-berkas internal menunjukkan bahwa Uskup Agung Bernard Law berulang kali menangani kasus-kasus pelecehan dengan cara yang sama seperti kasus Peter Kanchong: yaitu dengan sekadar memindahkan para pastor ke paroki-paroki lain.
Setelah gugatan perdata selesai, Bernard Law, yang saat itu telah menjadi Kardinal, mengundurkan diri dari jabatannya di Boston dan pindah ke Roma.
Bagi para penyintas, impunitas yang dinikmati oleh Gereja semakin diperparah ketika Bernard Law diberi kehormatan untuk menjabat selama tujuh tahun sebagai Imam Agung Basilika Santa Maria Maggiore.
Santa Maria Maggiore adalah bangunan yang sama tempat Paus Fransiskus dimakamkan.
Berbagai sumber dari dalam Gereja memberikan pujian kepada Paus Fransiskus karena dianggap telah melangkah lebih jauh dibandingkan pendahulunya dalam mengatasi masalah pelecehan ini.
Pada tahun 2019, Paus Fransiskus memanggil lebih dari 100 uskup ke Roma dan menyelenggarakan konferensi tentang krisis tersebut.
“Kita menyaksikan tangan kejahatan,” ujarnya kepada mereka mengenai kasus pelecehan anak-anak.
Konferensi tersebut menghasilkan revisi hukum Gereja tentang “kerahasiaan kepausan” yang memungkinkan kerja sama dengan pengadilan sipil jika diperlukan dalam kasus pelecehan.
Namun, perubahan tersebut tidak mewajibkan pengungkapan semua informasi terkait pelecehan anak. Revisi hukum hanya mengatur pengungkapannya dalam kasus-kasus tertentu ketika diminta secara resmi oleh otoritas yang sah.
Selain itu, undang-undang baru ini mengharuskan setiap tuduhan pelecehan dilaporkan kepada atasan dalam struktur organisasi Gereja. Undang-undang baru ini tidak sampai mewajibkan Gereja untuk melaporkan tuduhan-tuduhan tersebut kepada pihak berwenang sipil.
Pengacara MacPherson, Mitchell Garabedian, yang sosoknya diabadikan dalam film Spotlight, mengungkapkan kepada saya bahwa ada banyak cara bagi Gereja untuk terus menjalankan kerahasiaan.
“Kami harus berlitigasi di pengadilan untuk mendapatkan dokumen, tidak ada yang benar-benar berubah,” katanya dengan nada frustrasi.
Kemenangan hukumnya pada tahun 2002 menjadi momen penting dan diikuti oleh gelombang kasus serupa di puluhan negara.
Namun, Garabedian yakin bahwa ada banyak gereja di seluruh dunia yang mengetahui tentang kesalahan yang terjadi dan pengetahuan itu tetap disembunyikan.
“Meskipun dia [Paus Fransiskus] melakukan beberapa hal, itu tidak cukup,” kata MacPherson ketika saya memintanya untuk memberikan penilaian.
MacPherson berharap pihak Gereja bersedia membeberkan semua yang mereka ketahui.
“Salah satu hal terpenting adalah mengungkap para pastor predator dan orang-orang yang menutup-nutupi skandal ini. Kemudian meminta pertanggungjawaban mereka di pengadilan hukum biasa, alih-alih melindungi dan menyembunyikan mereka di balik tembok Vatikan.”
Bagi MacPherson, menyaksikan berita yang tak ada habisnya tentang pemakaman Paus dan persiapan pengangkatan penggantinya terasa sangat menyakitkan.
“Di satu sisi, ini seolah merayakan pelecehan,” ungkapnya dengan nada getir.
“Penutupan-penutupan itu masih ada dan dilindungi oleh tembok Vatikan dan hukum kanon mereka.”
Liputan berita itu sulit dihindari oleh MacPherson karena ibunya masih sangat beriman pada Gereja Katolik.
“Hanya soal suksesi yang saya lihat di berita, dan ibu saya terobsesi menontonnya, jadi saya terus menerus dibombardir dengan itu.”
Sementara itu, Peter Kanchong, yang kini berusia 85 tahun, belum pernah dihukum atas pelanggaran apa pun.
Meskipun dilarang memegang posisi formal apa pun di Keuskupan Boston, Peter Kanchong belum dicopot dari jabatannya sebagai pastor.
Dalam daftar para klerus yang dituduh dan dipublikasikan oleh Gereja, kasus Peter Kanchong disebut sebagai “belum terselesaikan” tanpa adanya keputusan akhir mengenai bersalah atau tidak bersalah.
Dia hanya dicatat sebagai “AWOL” atau absen tanpa izin.
“Saya sudah bertahun-tahun mengupayakan agar dia [Peter Kanchong] dicopot dari jabatannya sebagai pastor. Jabatan pastornya hanya bisa dicopot di tempat dia ditahbiskan, yaitu di Thailand, atau oleh Vatikan,” jelas MacPherson dengan nada putus asa.
MacPherson mengeklaim bahwa Gereja bahkan bersusah payah mengubah nama paroki tempat dirinya dilecehkan. Menurutnya, ini adalah upaya untuk menghapus jejak kelam yang terjadi di sana.
BBC meminta pandangan Keuskupan Boston tentang warisan Paus Fransiskus serta tanggapan terhadap klaim bahwa Gereja Katolik mempertahankan budaya kerahasiaan atas catatan internalnya sendiri.
Namun, kami tidak menerima jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kami juga bertanya apakah Uskup Agung saat ini dapat melakukan sesuatu untuk membantu para korban yang berusaha mencopot seorang pastor dari jabatannya.
Kami diarahkan ke Vatikan.
Saat Gereja Katolik bersiap untuk memilih Paus baru, Alexa MacPherson tidak memiliki banyak harapan akan adanya reformasi yang lebih komprehensif.
“Kalian bilang ingin maju. Kalian bilang ingin membawa orang kembali ke dalam pangkuan,” katanya dengan nada sinis.
“Tetapi kalian tidak mungkin melakukan semua itu sampai kalian benar-benar mengakui dosa-dosa itu, dan kalian meminta pertanggungjawaban orang-orang yang bertanggung jawab.”
- Bagaimana Paus Fransiskus tangani skandal seks di Gereja Katolik?
- Vatikan rombak hukum ‘terbesar dalam hampir 40 tahun’ soal kekerasan seksual, apa saja perubahannya?
- Paus Fransiskus cabut ‘asas kerahasiaan’ kasus pelecehan seksual anak oleh pastor dan pejabat gereja
- Skandal gereja Cile: ‘Saya dilecehkan pastor selama berpuluh tahun’
- Laporan Vatikan ungkap dua Paus abaikan tuduhan pelecehan seks kardinal AS
- ‘Vatikan organisasi gay’: Buku baru ungkap ‘korupsi dan kemunafikan’ Vatikan
- Mundur terkait skandal seks dan uang, Uskup Ruteng diminta kembalikan uang gereja Rp1,6 miliar
- Skandal dan tantangan selibasi para imam Katolik
- Pastor pelaku ‘perbudakan seksual’ anak di Italia masih memimpin misa, mengapa terjadi?
- Gereja Katolik Prancis siap jual aset untuk ganti rugi korban pelecehan seksual
- Belasan uskup Prancis dituduh lakukan pelecehan, seorang kardinal akui pernah lecehkan gadis 14 tahun
- Ratusan pastor di AS ‘melecehkan ribuan anak’