Setelah bertahun-tahun Warner Bros. Discovery (WBD) berusaha keras mengejar kesuksesan semesta sinematik ala Marvel, akhirnya keputusan besar diambil: menekan tombol reset. Era DC Universe yang lama, dengan segala drama, ambiguitas moral, dan nuansa gelap yang kerap membebani, kini resmi ditinggalkan. Penyerahan tongkat estafet kepada James Gunn dan Peter Safran terbukti bukan pilihan sembrono. Melalui film Superman terbarunya, James Gunn berhasil menyuntikkan napas baru pada karakter ikonis yang selama ini terasa berat dan seolah kehilangan jiwanya. Hasilnya? Sebuah film superhero yang berani tampil beda: penuh warna cerah, sentuhan humor yang cerdas, romansa yang manis, dan yang terpenting, memiliki hati yang tulus.
Clark Kent, diperankan apik oleh David Corenswet, telah lama aktif sebagai Superman di Metropolis. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa ia adalah pria kikuk berkacamata di Daily Planet. Film ini menyajikan alasan yang kocak namun masuk akal mengapa rahasia identitasnya tetap terjaga. Inti dari narasi ini adalah jalinan hubungan antara Clark dan Lois Lane, yang diperankan memukau oleh Rachel Brosnahan. Chemistry antara Clark dan Lois terasa ringan dan memesona, kadang terkesan klasik atau sedikit ‘cheesy’, namun justru di situlah letak pesonanya. Interaksi mereka membangkitkan nuansa komik klasik, mengingatkan kita bahwa kisah cinta bisa menjadi pilar penting dalam petualangan seorang pahlawan super.
Di sisi antagonis, Nicholas Hoult tampil meyakinkan sebagai Lex Luthor, seorang miliarder teknokrat yang kesulitan menerima keberadaan alien superkuat yang selalu dipuja publik. Lex mungkin tak pernah mengakuinya, namun jelas terlihat ada rasa iri dan obsesi terhadap Superman. Ia percaya teknologi adalah kunci penyelesaian semua masalah manusia. Namun, kehadiran Superman sebagai simbol harapan dan kekuatan yang tak bisa ia kendalikan, mendorong obsesi Lex menjadi keinginan untuk menjatuhkan sang pahlawan, bahkan jika itu berarti melepaskan kaiju raksasa di tengah kota.
Dunia yang diperkenalkan dalam film ini juga telah ramai dengan kehadiran metahuman lain. Kita akan bertemu Mister Terrific (Edi Gathegi), Green Lantern versi Guy Gardner (Nathan Fillion), dan Hawkgirl (Isabela Merced), yang tergabung dalam tim superhero baru bernama Justice Gang—nama yang terasa masih ‘mentah’ mengingat mereka baru memulai perjalanan. Meski terdapat konflik kecil yang membuat mereka awalnya tak sepenuhnya mempercayai Superman, dinamika ini menambah keseruan di antara para pahlawan. Sebaliknya, villain seperti The Engineer (Mara Gabriela de Fara) membawa ancaman yang jauh lebih gelap dan sadis, menciptakan kontras tajam dengan semangat cerah Clark Kent.
James Gunn menunjukkan kepiawaiannya dalam menyajikan aksi yang memukau tanpa kehilangan esensi kesenangan. Adegan terbang, tembakan laser dari mata, dan pertarungan melawan monster raksasa dikemas dengan energi tinggi dan visual yang kaya warna, menyerupai kartun hidup, yang justru membuat film ini terasa begitu segar. Lebih dari itu, Superman versi ini secara cerdas mengangkat tema imigran tanpa terkesan menggurui. Superman adalah alien yang tumbuh besar di Kansas, dibesarkan oleh Martha dan Jonathan Kent (Neva Howell & Pruitt Taylor Vince), dua manusia biasa yang menanamkan nilai-nilai kasih dan kepedulian. Meski bukan manusia sejati, cintanya pada Bumi dan isinya sangatlah manusiawi, sebuah aspek yang sulit diterima oleh Lex dan sebagian orang.
Jika era sebelumnya dipenuhi superhero yang galau dan sinis, film ini memilih untuk kembali ke akar filosofi bahwa Superman adalah representasi harapan. Ia bukan dewa, bukan pula senjata. Ia adalah sosok yang baik hati, kebetulan memiliki kekuatan super, dan bertekad menggunakannya untuk membantu siapa pun yang membutuhkan. Romansa antara Clark dan Lois juga menjadi penyegar di tengah genre yang seringkali lebih sibuk dengan ledakan kota ketimbang pengembangan hubungan antarmanusia. Ini semua menunjukkan bahwa James Gunn memahami esensi pahlawan super bukan hanya tentang kekuatan, melainkan juga tentang hati dan kemanusiaan.
Kekuatan film ini tak hanya terletak pada narasi yang kuat, tetapi juga pada pemilihan para pemerannya yang sangat pas. David Corenswet berhasil memerankan dua sisi Clark Kent dengan seimbang: sebagai jurnalis yang canggung namun menggemaskan, dan sebagai Superman yang karismatik penuh wibawa. Rachel Brosnahan sebagai Lois Lane tampil cerdas, tangguh, dan membangun chemistry alami yang membuat hubungan mereka terasa seperti pasangan lama yang saling memahami. Ditambah lagi dengan aktor pendukung seperti Wendell Pierce sebagai Perry White dan Skyler Gisondo sebagai Jimmy Olsen, dinamika di kantor Daily Planet menjadi salah satu aspek paling menyenangkan dari film ini.
Menariknya, film ini juga sangat kental dengan sentuhan khas James Gunn. Humornya yang terkadang absurd namun tetap tepat sasaran, serta banyaknya momen kecil yang mengundang tawa atau senyum, menjadi ciri khasnya. Namun, di balik semua itu, terpancar jelas kecintaan mendalam terhadap karakter dan dunia DC dari setiap adegannya. Gunn tidak sekadar membuat film superhero generik, melainkan sebuah surat cinta bagi Superman dan semua nilai yang ia representasikan: kebaikan, keberanian, dan harapan.
Superman versi James Gunn jelas menjadi titik awal yang sangat kuat untuk DC Universe yang baru. Pertanyaan besarnya kini adalah: mampukah Warner Bros. Discovery mempertahankan kualitas dan semangat ini untuk film-film selanjutnya? Jika mereka mampu menjaga energi ceria, ketulusan, dan cinta terhadap materi aslinya, maka untuk pertama kalinya, DC mungkin benar-benar menemukan arah yang jelas dan menjanjikan. Untuk saat ini, film Superman adalah napas segar yang membuktikan bahwa genre superhero bisa dan seharusnya tetap menyenangkan, sedikit konyol, namun juga menyentuh hati. Jika Anda menyukai film superhero yang kaya aksi namun tidak melupakan sisi emosional, Superman dari James Gunn ini sangat layak untuk ditonton. Siapa tahu, ini memang bisa menjadi awal dari era keemasan DC yang telah lama dinantikan.