Sidang lanjutan kasus dugaan suap terkait proses pergantian antar waktu (PAW) DPR RI dan dugaan menghalangi penyidikan perkara Harun Masiku, dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, kembali menarik perhatian di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (16/5). Beberapa fakta penting muncul selama persidangan.
Hasto didakwa melakukan penyuapan terhadap komisioner KPU RI dalam proses PAW serta menghalangi penyidikan kasus yang melibatkan Harun Masiku.
Dalam dakwaan kasus suap, Hasto disebut sebagai pihak yang turut memberikan dukungan dana. Tujuannya adalah agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR melalui mekanisme PAW.
Modusnya, menurut dakwaan, adalah dengan menyuap Wahyu Setiawan, yang saat itu menjabat sebagai komisioner KPU. Nilai suap yang diberikan mencapai Rp 600 juta.
Diduga, suap tersebut dilakukan oleh Hasto bersama dengan Donny Tri Istiqomah, Harun Masiku, dan Saeful Bahri. Dana suap kemudian disalurkan kepada Agustiani Tio dan Wahyu Setiawan.
Sementara itu, dalam perkara dugaan menghalangi penyidikan, Hasto dituduh melakukan serangkaian tindakan. Ia mengumpulkan beberapa saksi yang terkait dengan kasus Harun Masiku dan mengarahkan mereka untuk tidak memberikan keterangan yang sebenarnya kepada penyidik.
Berikut kumparan merangkum sejumlah poin penting yang terungkap dalam persidangan tersebut, per Sabtu (17/5):
-
Kehadiran Tokoh Penting: Dari Ganjar hingga Eks Ketua KPU
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan dua saksi kunci, yaitu Arief Budi Rahardjo, seorang penyelidik KPK, dan Hasyim Asy’ari, mantan komisioner KPU RI.
Selain itu, sejumlah tokoh penting juga hadir untuk menyaksikan jalannya persidangan. Mereka termasuk TB Hasanuddin (anggota Komisi I DPR RI fraksi PDIP), Panda Nababan (politikus senior PDIP), Ganjar Pranowo (Ketua DPP PDIP), dan Muhammad Nurdin (anggota DPR RI periode 2019-2024 dari unsur Komjen Pol (Purn.)).
Hadir pula Darmadi Durianto (anggota Komisi VI DPR RI dari fraksi PDIP), FX Hadi Rudyatmo (Ketua DPC PDIP Kota Solo), Alexander Sonny Keraf (mantan Menteri Lingkungan Hidup), dan Ferdinand Hutahaean (politikus PDIP).
Kehadiran tokoh-tokoh ini menambah bobot dan perhatian terhadap persidangan tersebut.
-
Terungkapnya Aliran Dana Rp 400 Juta dari Hasto untuk Komisioner KPU
Arief Budi Rahardjo, penyelidik KPK, mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 400 juta yang berasal dari Hasto Kristiyanto. Dana ini diduga digunakan untuk memuluskan proses Pergantian Antarwaktu (PAW) Harun Masiku sebagai anggota DPR.
Diduga, Hasto dan Harun Masiku melakukan penyuapan terhadap Wahyu Setiawan, mantan komisioner KPU, dengan tujuan agar Harun Masiku dapat menjadi anggota DPR melalui mekanisme PAW.
“Tadi, kan, ada pembagian tim, saksi fokus kepada Harun Masiku, kemudian tim yang lain apakah tadi mengamankan Saeful, Donny, Tio, yang di-update pasti, kan, ada WAG [WhatsApp group] komunikasi bahwa tim yang lain pun ikut mengamankan pihak-pihak yang tadi diduga, bisa tolong disampaikan info apa yang dilakukan oleh tim yang lain kemudian juga saksi ketahui pada saat itu?” tanya jaksa KPK Takdir Suhan dalam persidangan.
“Bahwa sesuai dengan hasil pemeriksaan permintaan keterangan pada saat itu, itu tim menyampaikan kepada kami bahwa hasil permintaan keterangan itu melibatkan pihak lain selaku pemberi, pada saat itu adalah Saudara Terdakwa [Hasto],” jawab Arief.
“Karena keterangan yang saya ingat pada saat itu ada uang sebesar Rp 400 juta itu sumbernya dari terdakwa,” tegas Arief.
Jaksa kemudian menggali lebih dalam mengenai sumber informasi yang diketahui oleh Arief. Dalam kesaksiannya, Arief mengakui bahwa informasi tersebut diperoleh setelah para pihak yang diduga terlibat dalam kasus suap proses PAW diamankan oleh KPK.
Mereka yang diamankan saat itu termasuk Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, yang merupakan orang kepercayaan Hasto, serta Wahyu Setiawan, mantan komisioner KPU RI, dan Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Bawaslu RI.
“Betul,” jawab Arief membenarkan.
-
“Siapa Berani Tersangkakan Hasto?” – Ungkapan Pimpinan KPK
Arief juga mengungkapkan adanya komentar yang dilontarkan oleh seorang pimpinan KPK terkait dengan penetapan tersangka terhadap Hasto.
Komentar tersebut berbunyi: “Siapa yang berani mentersangkakan Hasto?”
“Kami butuh penegasan, pada saat ekspose tadi Saksi pun sudah menyatakan siapa-siapa pihak yang ada di ekspose, naik di tanggal 9 [Januari 2020], ya? Seingat Saksi apakah [ada pernyataan] ‘Siapa yang berani Hasto tersangka?’, walaupun faktualnya saat ini terdakwa sudah ada di sini, cuma kami butuh penegasan bahwa ini menjadi isu yang ke mana-mana supaya menjadi fakta yang semua tahu saksi ada di situ, bisa tolong disampaikan?” tanya jaksa KPK Takdir Suhan.
Arief tidak menyebutkan secara spesifik siapa yang mengucapkan kalimat tersebut. Ia hanya menjelaskan bahwa pimpinan KPK tersebut ditunjuk sebagai Plt Ketua KPK karena Ketua KPK saat itu, Firli Bahuri, sedang berada di luar kota dan tidak dapat mengikuti ekspose.
Nawawi Pomolango menjabat sebagai Plt Ketua KPK pada saat itu, meskipun namanya tidak disebut dalam persidangan ini.
“Sebelum ditutup, pada saat itu karena Pak Firli itu sedang berada di luar kota, Plt atau pengganti ketua pada saat itu, itu memberikan statement seperti yang disampaikan bapak tadi, ‘Siapa yang berani mentersangkakan Saudara Hasto?’, itu [disampaikan] sebelum ekspose ditutup,” jelas Arief.
Selain Nawawi, formasi pimpinan KPK saat itu terdiri dari Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli Siregar.
Dalam persidangan sebelumnya, terungkap bahwa keempat pimpinan KPK tersebut tidak sepakat untuk meningkatkan status Hasto menjadi tersangka pada tahun 2020.
Hal ini terungkap dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik KPK Rossa Purbo Bekti, yang dibacakan oleh penasihat hukum Hasto dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (9/5).
Rossa hadir sebagai salah satu saksi dalam sidang lanjutan kasus yang menjerat Hasto sebagai terdakwa.
Dalam BAP tersebut, disebutkan bahwa keempat pimpinan KPK jilid V itu menggagalkan penetapan Hasto sebagai tersangka saat ekspose kasus Harun Masiku.
“Saya lihat keterangan Saudara ini luar biasa. Saudara ada beberapa hal, misalnya mengatakan bahwa perintangan penyidikan itu misalnya di dalam jawaban [BAP] nomor 15. ‘Perintangan itu termasuk wewenang Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli Siregar, selaku pimpinan KPK pada saat ekspose merintangi dan menggagalkan Hasto Kristiyanto menjadi tersangka’,” kata Maqdir Ismail, penasihat hukum Hasto, saat membacakan BAP Rossa.
-
KPK Mengklaim Mengetahui Keberadaan Harun Masiku
Arief juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengetahui lokasi keberadaan Harun Masiku, buronan yang telah lama menjadi perhatian publik. Namun, ia menyatakan bahwa informasi tersebut tidak dapat diungkapkan ke publik saat ini.
Awalnya, Arief menjelaskan tugas yang diembannya saat melakukan OTT terkait kasus Harun Masiku. Saat itu, ia ditugaskan untuk fokus mengejar Harun Masiku. Namun, hingga saat ini, Masiku belum berhasil ditangkap.
Erna Ratnaningsih, penasihat hukum Hasto, kemudian bertanya kepada Arief apakah ia masih bertugas dalam upaya pencarian Harun Masiku.
“Anda masih masuk tim ini, untuk melakukan pencarian?” tanya Erna dalam persidangan.
“Untuk [pencarian] Harun Masiku?” jawab Arief mengkonfirmasi.
“Iya,” timpal Erna.
“Sampai dengan saat ini saya mendapat Springas [surat perintah tugas] juga,” jawab Arief.
Erna kemudian menanyakan perkembangan terbaru terkait pencarian Masiku. Arief lalu menyebut bahwa pihaknya sudah mengetahui lokasi keberadaan buronan tersebut.
“Tapi belum ditemukan, ya?” tanya Erna.
“Tapi, kami masih dalam upaya melalui beberapa pihak,” jawab Arief.
“Apakah sudah mengetahui titiknya di mana?” cecar Erna.
“Kami ketahui tapi kami tidak bisa sampaikan di sini,” ujar Arief.
Mendengar keterangan tersebut, Erna menyindir Arief bahwa seharusnya Masiku sudah dapat ditangkap jika lokasinya sudah diketahui.
“Harusnya Saudara bisa menangkap kalau sudah ada titiknya, ya,” tutur Erna.
5. Hasto Terkejut Disebut Aktor Intelektual
Hasto menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukannya hanyalah menempuh hak konstitusional dengan mengajukan *judicial review* ke Mahkamah Agung (MA).
“Saya agak kaget juga disebut sebagai aktor intelektual, hanya karena memberikan suatu arahan, kemudian melaporkan. Itu dianggap sebagai suatu aktor intelektual,” ujar Hasto saat ditemui wartawan di sela-sela persidangan.
“Padahal, apa yang saya lakukan terhadap proses awal adalah suatu tindakan konstitusional sebagai hak resmi dari partai politik untuk melakukan *judicial review* ke Mahkamah Agung dan minta fatwa ke Mahkamah Agung,” lanjutnya.
Menurut Hasto, keterangan yang disampaikan oleh Arief sebagai saksi dalam persidangan hanyalah opini yang dianggap memberatkannya sebagai terdakwa.
“Ini juga satu proses yang agak khusus bahkan baru pertama kali terjadi seorang penyelidik dari KPK, kemudian menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang tidak dilihat, tidak didengar, dan tidak dialami secara langsung,” kata Hasto.
“Sehingga, kembali terbukti yang disampaikan banyak merupakan opini, bahkan bisa dikategorikan suatu konstruksi dengan tujuan-tujuan tertentu, yang pasti itu memberatkan saya,” imbuhnya.