Ragamutama.com Peredaan tensi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dalam perang tarif memberikan angin segar. Kondisi ini berpotensi menyuntikkan sentimen positif ke pasar saham dalam beberapa waktu mendatang, termasuk di Indonesia. Namun, penurunan data perekonomian domestik tetap menjadi batu sandungan tersendiri.
“Melonggarnya ketegangan perang dagang AS-Tiongkok diperkirakan memberikan dampak positif pada pasar modal global. Ini termasuk IHSG (indeks harga saham gabungan) yang berpeluang melanjutkan tren penguatan sejak mencapai titik terendahnya di awal April tahun ini,” ujar Chief Investment Officer BNI Asset Management, Farash Farich, pada Kamis (15/5).
Menurutnya, adanya kesepakatan terkait tarif antara AS dan Tiongkok membawa sentimen positif bagi para investor. Kendati demikian, perlu diingat bahwa ini bukanlah solusi final. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengindikasikan bahwa momen ini adalah semacam “jeda” untuk menghindari dampak kerusakan jangka panjang. Kesepakatan yang komprehensif mungkin memerlukan waktu hingga dua tahun, berdasarkan pengalaman sebelumnya.
Farash menambahkan, tercapainya kesepakatan ini mengindikasikan bahwa baik pemerintah AS maupun Tiongkok memilih pendekatan yang lebih pragmatis. Kedua negara tampaknya lebih mengkhawatirkan potensi dampak sistemik terhadap perekonomian. Hal ini dapat meningkatkan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi secara global.
“Pasar saham Indonesia berada dalam posisi yang diuntungkan dengan perkembangan ini. Valuasi IHSG, berdasarkan rasio price-to-earning, masih berada di bawah minus satu standar deviasi dibandingkan rata-rata historisnya. Selain itu, valuasi ini juga lebih rendah dibandingkan rata-rata historis terhadap valuasi pasar saham negara berkembang di Asia. Terlebih lagi, porsi kepemilikan asing di pasar saham kita saat ini adalah yang terendah dalam 10 tahun terakhir,” jelasnya.
Head of Investment Information Mirae Asset, Martha Christina, menyarankan agar investor dan trader di pasar saham dapat memanfaatkan momentum ini dengan bijak. Ia juga menekankan pentingnya memperhatikan kinerja emiten pada kuartal I 2025. Koreksi pasar masih mungkin terjadi, meskipun diperkirakan terbatas. Hal ini sejalan dengan sentimen positif dari kesepakatan antara AS dan Tiongkok.
“Potensi penguatan pasar saham juga mulai terbatasi oleh potensi aksi ambil untung (profit taking). Oleh karena itu, strategi yang disarankan adalah memanfaatkan momentum trading dan melakukan pembelian saham saat harga mengalami pelemahan (buy on weakness). Prioritaskan emiten dengan kinerja yang solid pada kuartal I 2025,” ungkapnya.
Saat ini, lanjut Martha, pasar saham masih menunjukkan adanya tekanan jual. Hal ini tercermin dari nilai jual bersih investor asing yang mencapai Rp 35 triliun sejak awal tahun. Meskipun demikian, tren ini mulai menunjukkan perubahan positif dalam sebulan terakhir.
Dia menyoroti setidaknya ada 13 saham yang mencatatkan kinerja positif pada kuartal pertama tahun ini. Pilihan utama jatuh pada CPIN, ANTM, ARTO, RALS, dan DKFT. Dalam situasi pasar saat ini, emas masih dipandang sebagai instrumen safe haven yang menarik. Oleh karena itu, saham-saham yang terkait dengan sektor emas, seperti ANTM, HRTA, ARCI, dan BRMS, dapat menjadi pilihan investasi yang menarik.
Martha Christina memproyeksikan bahwa IHSG akan bergerak dalam rentang 6.800 hingga 7.100 pada kuartal II 2025. “Kami melihat target angka 6.900 masih sangat make sense hingga kuartal II 2025,” ujarnya dalam acara Media Day di kantornya.
Tensi perang dagang global, terutama terkait kebijakan tarif impor oleh AS, diperkirakan akan cenderung lebih moderat ke depannya. Tidak banyak perkembangan baru yang signifikan diharapkan. Fokusnya kini lebih kepada menunggu proses finalisasi.
Dari sisi domestik, ia menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan melanjutkan tren perlambatan pada kuartal II 2025. Kecuali jika pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang progresif dan berdampak signifikan.