Ragamutama.com – Nama Marsinah kembali mengemuka setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungan atas usulan menjadikannya pahlawan dari kalangan pekerja.
Dukungan Prabowo untuk penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Marsinah disampaikannya dalam orasi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, yang berlangsung di Lapangan Monas, pada Kamis (1/5/2025).
“Saudara-saudara, menindaklanjuti usulan dari para pemimpin serikat pekerja, mereka bertanya kepada saya, ‘Pak, mengapa belum ada pahlawan nasional yang berasal dari kalangan buruh?’ Lalu saya bertanya balik, apakah kalian punya saran?”, ujar Prabowo, seperti dilansir dari Kompas TV, Jumat (2/5/2025).
Selanjutnya, Presiden RI tersebut meminta agar diusulkan nama tokoh buruh yang layak dipertimbangkan, hingga akhirnya muncul nama Marsinah.
“Kemudian mereka mengusulkan, ‘Pak, bagaimana jika Marsinah, Pak? Marsinah menjadi pahlawan nasional’,” ungkap Prabowo.
“Dengan catatan seluruh pimpinan serikat pekerja yang mewakili kaum buruh sepakat, saya akan mendukung penuh Marsinah menjadi pahlawan nasional,” lanjutnya.
Sebagai langkah selanjutnya, Kementerian Sosial (Kemensos) RI akan mengambil peran dalam memfasilitasi usulan yang diajukan oleh Prabowo.
Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo Priyono menyatakan komitmennya untuk mengupayakan penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Marsinah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Lalu, siapakah sebenarnya Marsinah? Dan bagaimana kisah hidupnya hingga mampu menginspirasi perjuangan kaum buruh dalam memperjuangkan keadilan?
Latar belakang Marsinah
Mengutip dari Kompas.com, Rabu (21/9/2022), Marsinah, yang dilahirkan pada tanggal 10 April di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Setelah ibundanya berpulang saat Marsinah baru berusia 3 tahun, sang ayah kemudian menikah lagi.
Akibatnya, Marsinah tumbuh besar di bawah asuhan sang nenek, yang tinggal bersama paman dan bibinya.
Sejak usia dini, ia sudah terbiasa bekerja keras dengan membantu neneknya berjualan gabah dan jagung.
Di lingkungan sekolah, ia dikenal sebagai siswi yang cerdas, gemar membaca, dan memiliki pemikiran kritis di mata guru dan teman-temannya.
Setelah lulus SD, Marsinah melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 5 Nganjuk, dan kemudian di SMA Muhammadiyah.
Keterbatasan biaya menjadi penghalang bagi Marsinah untuk mewujudkan impiannya berkuliah di fakultas hukum. Hingga akhirnya, pada tahun 1989, ia memutuskan untuk merantau ke Surabaya.
Selama di perantauan, Marsinah bekerja di sebuah pabrik plastik bernama SKW yang terletak di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya.
Karena upahnya yang sangat minim, ia berusaha menambah penghasilan dengan berjualan nasi bungkus.
Sempat berpindah pekerjaan ke sebuah perusahaan pengemasan barang, sebelum akhirnya pada tahun 1990 ia bekerja di PT CPS, Sidoarjo.
Kisah Perlawanan Marsinah
Selama masa kerjanya di PT CPS, Marsinah menjadi bagian dari organisasi buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Pada awal tahun 1993, pemerintah mengeluarkan imbauan kepada para pengusaha di Jawa Timur untuk menaikkan gaji pokok karyawan sebesar 20 persen.
Namun, peraturan tersebut tidak segera diindahkan oleh para pelaku usaha, termasuk tempat Marsinah bekerja.
Situasi ini memicu gelombang unjuk rasa di kalangan buruh. Mereka menuntut kenaikan upah sesuai dengan imbauan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Kemudian, pada tanggal 2 Mei 1993, Marsinah turut serta dalam rapat perencanaan aksi unjuk rasa yang diadakan di Tanggulangin, Sidoarjo.
Pada hari berikutnya, para buruh menyebarluaskan aksi mogok kerja dengan menghimbau rekan-rekan mereka untuk tidak masuk kerja.
Namun, upaya tersebut mendapat intervensi dari Komando Rayon Militer (Koramil) setempat yang berupaya menghalangi aksi para buruh.
Keesokan harinya, seluruh buruh PT CPS melakukan aksi mogok total. Mereka mengajukan 12 poin tuntutan, salah satunya adalah kenaikan gaji pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250 per hari.
Tidak hanya menuntut kenaikan gaji pokok, para buruh juga menuntut adanya tunjangan sebesar Rp 550 per hari yang tetap mereka terima meskipun absen.
Dari 15 orang perwakilan buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan, Marsinah menjadi salah satunya. Ia terus terlibat dalam perundingan hingga tanggal 5 Mei 1993.
Namun, pada tanggal tersebut, sekitar pukul 22.00 WIB, Marsinah menghilang tanpa jejak.
Setelah kepergiannya, tidak ada seorang pun yang berhasil menemukan Marsinah. Keberadaannya menjadi misteri bagi semua orang.
Hingga akhirnya, jenazah Marsinah ditemukan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan di wilayah Nganjuk pada tanggal 9 Mei 1993.
Setelah penemuan tersebut, jenazah Marsinah diautopsi dan hasilnya menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia sejak tanggal 8 Mei 1993.
Penyebab kematian Marsinah adalah akibat dari penganiayaan berat dan tindakan pemerkosaan sebelum menghembuskan napas terakhir.
Kasus pembunuhan Marsinah ini memicu reaksi keras dan kecaman dari berbagai lapisan masyarakat. Tragedi ini mendorong para aktivis HAM untuk membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) dan menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas serta mengadili para pelaku.
Penyelidikan Kematian Marsinah
Berdasarkan laporan Harian Kompas, tanggal 10 November 1993, Presiden Soeharto, yang saat itu memegang tampuk kekuasaan, menginstruksikan agar kasus Marsinah diusut secara terbuka tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Pada saat itu, Soeharto juga mengimbau masyarakat untuk tidak berprasangka buruk terhadap pemerintah dan berjanji akan menyelesaikan kasus ini hingga tuntas. Perlu diketahui, kasus pembunuhan ini telah merugikan citra aparat.
Pada tanggal 30 September 1993, pemerintah membentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur sebagai upaya untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus pembunuhan Marsinah.
Tim tersebut dibentuk sebelum Soeharto menyampaikan pidatonya.
Selanjutnya, delapan orang pemangku jabatan di PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa mengikuti prosedur yang resmi. Salah satunya adalah Kepala Personalia PT CPS, Mutiari, yang saat itu tengah mengandung.
Tidak berhenti sampai di situ, pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga turut ditangkap dan menjalani serangkaian interogasi.
Menurut kabar yang beredar, orang-orang tersebut mengalami penyiksaan berat secara fisik maupun mental. Mereka dipaksa untuk mengakui bahwa mereka telah merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah.
Dalam proses pengungkapan kasus ini, Tim Terpadu menangkap 10 orang dan memeriksa mereka yang diduga terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Tim Terpadu menyatakan bahwa hasil penyelidikan menunjukkan bahwa Suprapto, yang bekerja di bagian kontrol PT CPS, menjemput Marsinah dengan sepeda motor di dekat rumah kosnya.
Kemudian, mereka mengklaim bahwa Marsinah dibawa ke rumah Yudi Susanto di Surabaya. Sebelum dibunuh, Marsinah disebut-sebut disekap selama tiga hari.
Penyelidikan tersebut mengklaim bahwa pelaku pembunuhan adalah Suwono, yang bekerja sebagai satpam di PT CPS.
Dari hasil penyelidikan tersebut, Yudi Susanto dijatuhi vonis hukuman 17 tahun penjara dan beberapa karyawan PT CPS lainnya dihukum dengan masa tahanan antara empat hingga 12 tahun penjara.
Yudi Susanto kemudian mengajukan banding setelah bersikeras menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat dalam pembunuhan tersebut. Ia mengklaim dirinya hanyalah kambing hitam.
Setelah proses banding diterima, Yudi Susanto dinyatakan bebas dari segala tuntutan.
Selain itu, para staf PT CPS juga mengajukan banding hingga akhirnya dibebaskan dari segala dakwaan oleh Mahkamah Agung.
Sebagai akibatnya, putusan MA tersebut menuai berbagai respons dari masyarakat yang sebagian besar menyuarakan ketidakpuasan.
Hingga saat ini, Marsinah tetap menjadi ikon perjuangan buruh. Para aktivis bahkan terus menyuarakan penyelidikan ulang serta mencurigai adanya keterlibatan aparat militer dalam kasus ini.
(Sumber: Kompas.com/Tri Sutrisna, Tri Indriawati| Editor: Robertus Belarminus, Tri Indriawati)