PLTS Loko Kalada NTT: Mengapa Energi Terbarukan Gagal Bersinar?

Avatar photo

- Penulis

Sabtu, 10 Mei 2025 - 07:39 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ragamutama.com –, Tambaloka – Kebahagiaan akhirnya menyelimuti warga Desa Loko Kalada dua tahun silam, saat impian mereka akan penerangan listrik menjadi kenyataan. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mewujudkan harapan tersebut dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 30 kWp, sebuah oase di tengah keterpencilannya Kabupaten Sumba Barat Daya.

PLTS Loko Kalada adalah bagian dari 42 proyek serupa yang didanai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) di seluruh Pulau Sumba. Investasi yang digelontorkan untuk proyek ini mencapai angka Rp 3,6 miliar.

Namun, menurut penuturan Paulina Kabili, kehadiran PLTS ini belum sepenuhnya membebaskan warga dari keterbatasan akses listrik. Wanita berusia 37 tahun ini mengungkapkan bahwa PLTS hanya berfungsi optimal selama setahun pertama sejak diresmikan pada tahun 2023.

Setelah periode tersebut, lanjutnya, PLTS kerap kali mengalami gangguan. “Dalam setahun terakhir, PLTS seringkali tidak berfungsi. Bahkan pernah sampai sebulan penuh tidak menyala,” ungkap Paulina pada hari Kamis, 8 Mei 2025.

Bangunan PLTS itu sendiri berdiri tegak di halaman belakang rumah Paulina. Pembangkit ini menempati lahan seluas kira-kira setengah lapangan tenis. Dari dekat, panel surya tampak masih dalam kondisi prima. Begitu pula dengan ruang instalasi dan baterai yang berfungsi sebagai penyimpan energi listrik.

Tempo berkesempatan meninjau langsung ruang operator instalasi PLTS. Namun, layar monitor yang seharusnya menampilkan data arus listrik yang mengalir ke rumah-rumah warga, tampak mati. Paulina menambahkan, selain indikator arus listrik, monitor tersebut biasanya juga menampilkan informasi tentang status pengisian baterai di instalasi PLTS.

Sistem pengatur arus listrik di PLTS Desa Loko Kalada kini tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, warga hanya dapat mengandalkan listrik yang tersimpan dalam baterai. Padahal, idealnya, saat siang hari, inverter yang mengubah energi matahari menjadi arus listrik AC seharusnya dapat langsung menyalurkan listrik ke rumah-rumah warga.

Paulina mengenang, saat awal beroperasi, warga bisa menikmati listrik langsung dari inverter mulai pagi hingga siang hari. Setelah matahari mulai meredup, barulah cadangan listrik dari baterai digunakan. Namun, sistem tersebut sudah tidak berfungsi lagi dalam setahun terakhir.

“Jika PLTS diaktifkan untuk menyalurkan listrik pada siang hari, maka malamnya tidak bisa dipakai. Jadi, sekarang hanya menyala saat malam hari saja, itu pun hanya untuk penerangan,” jelas Paulina.

Baca Juga :  Bali Beach Conservation: Anggaran Proyek Capai Rp 785,92 Miliar

Selain masalah pada sistem inverter, Paulina juga menyoroti bahwa baterai PLTS sudah tidak mampu lagi menyimpan listrik hingga 100 persen. Ia menyebutkan bahwa saat ini, pengisian baterai hanya mencapai maksimal 49 persen. “Bahkan tidak pernah sampai 50 persen,” imbuhnya.

Selain kapasitas baterai yang terbatas, ketiadaan teknisi yang secara rutin memantau PLTS juga menjadi kendala dalam pemanfaatan energi surya di Loko Kalada. Padahal, desa ini terletak di dataran tinggi yang sangat terbuka dengan paparan sinar matahari yang melimpah.

“Kami tidak mengerti cara kerja mekaniknya. Kami hanya bisa melihat tampilan di layar. Jika kondisinya seperti ini, ya berarti sudah tidak berfungsi dengan baik,” keluh Paulina.

Kepala Desa Loko Kalada, Fransiskus Asisi Ngongobili, membenarkan bahwa sebelumnya memang ada operator tetap yang secara rutin memantau PLTS. Operator tersebut bahkan telah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten.

Namun, Fransiskus menjelaskan bahwa operator yang dilatih tersebut bukan berasal dari Loko Kalada. Akibatnya, tidak ada yang bisa dengan cepat menangani masalah jika terjadi kendala. Masalah lainnya adalah terkait biaya perawatan.

Warga sempat berinisiatif mengumpulkan dana untuk membiayai operasional operator. Namun, upaya tersebut tidak berjalan berkelanjutan. “Mereka beranggapan, mengapa matahari harus dibayar. Tapi saya menjelaskan bahwa peralatan ini bisa rusak jika tidak dirawat,” tutur Fransiskus.

Saat ini, seorang guru yang juga merupakan warga setempat bernama Milkianus, menjadi operator tidak resmi yang mengawasi operasional PLTS. Fransiskus menegaskan bahwa warga pengguna PLTS saat ini tidak dikenakan biaya apapun, alias gratis.

Meskipun demikian, gagasan untuk kembali membayar iuran sempat muncul demi menjamin keberlanjutan dan perawatan fasilitas. Sayangnya, wacana tersebut tidak mendapat sambutan positif.

Saat ini, sebanyak 47 kepala keluarga menjadi penerima manfaat PLTS. Dengan rata-rata anggota keluarga 5–9 orang, sekitar 300-an jiwa dapat menikmati listrik, meskipun tidak maksimal.

Sebelum adanya PLTS, warga harus pergi ke desa tetangga hanya untuk mengisi daya ponsel mereka. Kini, mereka bisa mengisi daya di rumah, meskipun harus berhati-hati dalam berbagi beban listrik. Sebagian warga hanya menggunakan listrik untuk penerangan dan mengisi daya ponsel.

Namun, ada juga yang mencoba menggunakan kulkas, TV, atau peralatan lain, yang justru membebani sistem. “Ketidakseimbangan penggunaan ini seringkali menyebabkan sistem mati dan berdampak pada seluruh pengguna,” ujar Fransiskus.

Baca Juga :  Semarang Night Carnival: Rute Jalan Ditutup & Lokasi Parkir Alternatif Hari Ini

Fransiskus berharap adanya perhatian lanjutan dari pemerintah agar PLTS dapat berfungsi secara maksimal. Selain masalah teknisi dan perawatan, mereka juga menginginkan agar sistem iuran dapat dijalankan secara kolektif demi menjaga keberlangsungan PLTS.

Rita Kefi, yang turut mendampingi Tempo mengunjungi Desa Loko Kalada, berpendapat bahwa permasalahan ini muncul karena pemerintah tidak mendampingi warga dalam mengelola PLTS. Setelah instalasi dan jaringan kabel selesai dibangun, warga dibiarkan begitu saja tanpa pendampingan yang memadai.

Rita bekerja untuk program Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia atau Mentari. Program ini merupakan hasil kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia. Salah satu fokusnya adalah pengembangan energi surya di Pulau Sumba. “Seharusnya tidak langsung dibangun, kemudian ditinggalkan begitu saja,” ujarnya mengomentari buruknya pengelolaan PLTS di Loko Kalada.

Saat ini, Rita sedang mendampingi warga Desa Mata Redi, Kabupaten Sumba Tengah, dalam pengelolaan PLTS. Berbeda dengan Loko Kalada, PLTS di Mata Redi dibangun menggunakan dana hibah dari pemerintah Inggris yang disalurkan kepada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM. Dalam hal ini, program Mentari berperan sebagai pendamping warga penerima manfaat.

Rita menjelaskan bahwa PLTS di Mata Redi dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Warga wajib membayar Rp 50 ribu setiap bulannya untuk biaya operasional operator. Sebelum pembangunan PLTS, dibutuhkan waktu satu tahun untuk mengedukasi warga tentang skema pembiayaan PLTS hingga membentuk BUMDes.

“Idealnya, harus ada manajemen pengelolaan yang tepat. Warga juga harus berpartisipasi sehingga memiliki rasa memiliki. Namun, pemerintah tidak melihat aspek ini saat membangun PLTS di Loko Kalada,” kata Rita. “Mereka membangun, lalu meninggalkan tanpa pendampingan.”

Rita menegaskan bahwa program Mentari tidak dapat mengintervensi PLTS di Loko Kalada karena tidak terlibat sejak awal. Meskipun demikian, ia mengakui telah memfasilitasi pelatihan untuk operator PLTS. Namun, ia mengakui bahwa untuk memberikan pendampingan kepada warga serta membentuk BUMDes seperti di Mata Redi, sulit untuk dilakukan saat ini. “Kami tidak bisa melakukan intervensi di tengah jalan,” ujarnya.

Pilihan Editor: Mengapa Dana Transisi Energi Pilih Kasih

Berita Terkait

Vale Indonesia: Rehabilitasi Lahan, Bukti Nyata Tanggung Jawab Lingkungan!
Kopenhagen Ungguli Kota Lain: Rahasia Kebahagiaan Terungkap!
Rusunawa Jagakarsa: Hunian Nyaman Terjangkau, Sewa Mulai 865 Ribu!
BI Ungkap: Pertumbuhan Harga Rumah Melambat, Saatnya Beli?
Bali Beach Conservation: Anggaran Proyek Capai Rp 785,92 Miliar
Tawuran Maut Manggarai: Minggu Malam Kembali Berdarah
Titik Kilometer 0 Indonesia: Lokasi, Fungsi, dan Sejarahnya yang Menarik
Semarang Night Carnival: Rute Jalan Ditutup & Lokasi Parkir Alternatif Hari Ini

Berita Terkait

Sabtu, 10 Mei 2025 - 07:39 WIB

PLTS Loko Kalada NTT: Mengapa Energi Terbarukan Gagal Bersinar?

Sabtu, 10 Mei 2025 - 05:51 WIB

Vale Indonesia: Rehabilitasi Lahan, Bukti Nyata Tanggung Jawab Lingkungan!

Sabtu, 10 Mei 2025 - 04:23 WIB

Kopenhagen Ungguli Kota Lain: Rahasia Kebahagiaan Terungkap!

Kamis, 8 Mei 2025 - 20:19 WIB

Rusunawa Jagakarsa: Hunian Nyaman Terjangkau, Sewa Mulai 865 Ribu!

Selasa, 6 Mei 2025 - 15:55 WIB

BI Ungkap: Pertumbuhan Harga Rumah Melambat, Saatnya Beli?

Berita Terbaru

politics

Ketua KPK Tegaskan: Tidak Ada Intervensi Dalam Kasus CSR BI!

Sabtu, 10 Mei 2025 - 12:08 WIB

Uncategorized

Panduan Lengkap: Tips Aman & Nyaman Liburan dengan Bus Pariwisata

Sabtu, 10 Mei 2025 - 11:52 WIB