Gelombang aksi vandalisme yang menyasar belasan nisan salib di beberapa kompleks pemakaman di wilayah Bantul dan Yogyakarta baru-baru ini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Kendati aksi pengrusakan makam umat non-Muslim bukanlah fenomena yang sepenuhnya baru, para ahli psikologi mengimbau masyarakat untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam menyikapi kejadian ini.
Laporan kerusakan diterima dari lima pusara di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Baluwarti, yang terletak di Kampung Kembang Basen, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Kota Yogyakarta. Penemuan ini terjadi pada Jumat sore (16/05).
Selain itu, sepuluh makam milik warga non-Muslim di TPU Ngentak, yang berada di Kalurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul, juga dilaporkan mengalami kerusakan. Lokasi ini hanya berjarak sekitar 10 menit perjalanan dari TPU Baluwarti.
Aparat kepolisian setempat telah berhasil mengamankan seorang remaja berusia 16 tahun yang diduga kuat sebagai pelaku utama. Mereka menegaskan bahwa insiden ini “tidak terkait dengan sentimen agama, melainkan lebih berakar pada permasalahan keluarga.”
Perlu dicatat bahwa ini bukanlah insiden pertama kalinya pengrusakan makam non-Muslim terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakta ini mendorong beberapa pihak untuk mengaitkan kejadian tersebut dengan isu intoleransi yang sensitif.
Namun, Lucia Peppy, seorang pakar psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan pentingnya kehati-hatian publik dalam merespons insiden ini agar tidak memperkeruh suasana.
Apa sebenarnya yang terjadi dalam rangkaian insiden pengrusakan makam ini?
Salah satu makam yang menjadi sasaran pengrusakan di TPU Ngentak, Banguntapan, Bantul, adalah tempat peristirahatan terakhir dari suami Sri Suryanti Hari, yang wafat pada tahun 1999.
Ketika ditemui di kediamannya, wanita berusia 66 tahun ini menceritakan bahwa kabar tentang pengrusakan makam tersebut ia terima setelah pulang dari gereja pada Minggu pagi (20/05).
“Setelah pulang dari gereja, keponakan saya memberi tahu: ‘Bu, makam bapak dirusak.’ Saya bertanya bagaimana rusaknya, lalu dia menjawab ‘salibnya dirusak’,” ungkap Sri dengan nada sedih.
Sri mengaku sangat terpukul melihat nisan makam suaminya menjadi korban vandalisme. Namun, ia memilih untuk menyerahkan segala urusan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Saya serahkan kepada Tuhan. Saya berharap anak itu merasa bersalah dan bertobat, serta tidak mengulangi perbuatan keji seperti itu,” harapnya dengan tulus.
Sri mengakui bahwa ia pernah merasakan perlakuan kurang menyenangkan dari beberapa warga karena keyakinannya sebagai penganut agama minoritas. Namun, ia menegaskan bahwa hal ini tidak ada kaitannya dengan insiden pengrusakan makam.
Sementara itu, Hermawan Riyadi, 54 tahun, yang makam kakeknya juga menjadi sasaran vandalisme di TPU Ngentak, mengaku sempat dilanda rasa takut. Ia khawatir kejadian ini akan memicu emosi warga.
“Karena yang dirusak adalah makam non-Muslim. Padahal saya sendiri seorang Muslim,” tuturnya dengan prihatin.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Unit 3 Ngentak, Joko, mengungkapkan bahwa ia mengetahui kejadian pengrusakan tersebut dari warga yang sedang membersihkan makam pada Minggu pagi (18/05).
Terlihat jelas bahwa tujuh papan nama berbentuk salib di kuburan baru mengalami kerusakan parah. Selain itu, tiga makam keramik lainnya juga hancur, bahkan sampai memperlihatkan tanah di bawahnya.
Tidak jauh dari lokasi tersebut—sekitar 10 menit perjalanan—di TPU Baluwarti, Kotagede, Yogyakarta, kejadian serupa juga terjadi.
Papan nama kayu berbentuk salib pada empat makam di TPU Baluwarti terlihat patah dan hanya menyisakan bagian bawah yang masih tertancap di tanah.
Minto, juru kunci makam yang terletak di Yogyakarta bagian Selatan, mengaku terkejut ketika mendapati sejumlah makam dirusak pada Jumat sore (16/05).
“Jam 8 pagi [saya ke sana] belum ada apa-apa. Sore ke sana, [saya lihat] ada makam yang dirusak,” ujar pria berusia 70 tahun itu saat ditemui pada Selasa (20/05).
Sebuah makam yang terbuat dari keramik juga turut menjadi sasaran pengrusakan: terlihat sebuah lubang besar menganga di bagian tengahnya.
Menurut penuturan Minto, dulunya terdapat simbol salib di bagian yang hancur tersebut.
Bagaimana reaksi warga sekitar terhadap kejadian ini?
Pengrusakan makam di TPU Baluwarti dan TPU Ngentak menuai reaksi beragam dari warga sekitar.
“Walaupun kebanyakan [yang rusak makamnya] non-Muslim, tapi kami orang Muslim merasa terusik seolah-olah enggak nyaman di sini,” ujar Nono, seorang warga Kembang Basen, menanggapi pengrusakan di TPU Baluwarti.
Senada dengan Nono, Sutantoro, warga Dukuh Pelem yang tinggal tak jauh dari TPU Ngentak, juga merasakan hal yang sama.
“Saya non-Muslim. Ketika melihat ke makam, [saya berpikir:] ‘Kok, yang dirusak makam yang ada salibnya?” ujarnya dengan nada bertanya.
Ditemui secara terpisah, Ketua RW 04 Kampung Kembang Basen, Wahyono, menekankan bahwa insiden yang terjadi di wilayahnya tidak terkait dengan isu agama.
“Kalau fanatisme agama, insya Allah enggak ada,” tegasnya.
Di sisi lain, Wahyono mengakui bahwa pengurus RW sebenarnya sudah lama berencana untuk membuat area khusus pemakaman bagi warga non-Muslim di TPU Baluwarti.
Dua TPU lainnya di Bantul, yaitu TPU Ironayan di Kalurahan Baturetno dan Makam Jaranan di Kalurahan Panggungharjo, juga tidak luput dari aksi vandalisme.
Satu makam dirusak di TPU Ironayan, sementara dua makam dirusak di Makam Jaranan.
Pengrusakan di kedua makam ini baru diketahui pada Senin (19/05), namun hingga saat ini identitas pelaku pengrusakan makam tersebut masih belum diketahui.
Siapakah pelaku di balik pengrusakan makam di Bantul dan Yogyakarta ini?
Pada Senin sore (19/05), Polsek Kotagede berhasil mengamankan seorang siswa SMP berusia 16 tahun yang diduga kuat sebagai pelaku pengrusakan TPU Baluwarti.
Remaja berinisial ANFS tersebut diklaim oleh polisi sebagai warga Banguntapan, Bantul, dan beragama Kristen.
“Pelaku juga mengakui perbuatan yang sama di wilayah Polsek Banguntapan [TPU Ngentak],” ujar Kapolsek Kotagede, Kompol Basungkawa, pada Selasa (20/05).
Hingga saat ini, pihak berwenang masih terus melakukan penyelidikan mendalam untuk mengungkap motif pelaku, yang disebut “punya riwayat sakit gangguan kejiwaan,” dalam melakukan aksi pengrusakan makam.
“Nanti kita periksakan secara medis karena secara keluarga, kakaknya juga mengalami seperti itu,” jelasnya.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Seksi Humas Polres Bantul, AKP I Nengah Jeffry Prana Widnyana, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan tes kejiwaan terhadap ANFS, yang dia sebut “agak plin-plan” selama proses interogasi.
Jeffry kemudian menambahkan bahwa ANFS mengaku bertindak seorang diri dalam melakukan aksi vandalisme tersebut.
“Dia sering cekcok dengan ibunya dan ayahnya sudah tidak ada. Ini bukan terkait agama, lebih ke persoalan keluarga,” ungkap Jeffry.
Meskipun demikian, Jeffry menegaskan bahwa kepolisian akan tetap menelusuri kasus ini secara menyeluruh—termasuk belajar dari peristiwa-peristiwa pengrusakan makam yang pernah terjadi sebelumnya.
“Terutama kita juga mengantisipasi dampak sosialnya,” pungkasnya.
Mengapa insiden pengrusakan makam terus berulang dari waktu ke waktu?
Perlu diingat bahwa ini bukanlah kali pertama aksi pengrusakan makam non-Muslim terjadi di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta.
Pada 17 Desember 2018, proses pemakaman jenazah seorang warga Kristen di TPU Jambon—yang hanya berjarak lima menit perjalanan dari TPU Baluwarti—di Purbayan terganjal oleh penolakan sekelompok warga.
Nisan kayu berbentuk salib mendiang Albertus Selamet Sugihardi bahkan digergaji dalam insiden tersebut.
Aksi pengrusakan makam dengan simbol salib juga pernah terjadi sebelumnya di berbagai daerah lain di Indonesia.
Pada tahun 2019, sebanyak 11 simbol salib pada makam Kristen dihancurkan di TPU Giriloyo di Magelang, Jawa Tengah.
Menanggapi insiden pengrusakan makam terbaru yang terjadi di wilayahnya, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menegaskan bahwa wilayahnya tidak akan memberikan ruang sedikit pun bagi praktik intoleransi.
Ia menyatakan bahwa masyarakat Yogyakarta “sangat heterogen dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman.”
“Di Kota Yogyakarta toleransi betul-betul dikedepankan sebagai city of tolerance, itu sudah jadi komitmen kita,” ujarnya pada Senin (19/05), seperti yang dilansir oleh Kompas.com.
“Kalau terjadi percikan di sini, dampaknya akan ke nasional. Bisa terjadi hal yang di luar dugaan kita.”
Sementara itu, Bupati Bantul Abdul Halim Muslim menilai aksi vandalisme kuburan sebagai tindakan yang “agak tidak masuk di akal.”
“Apa motivasi atau tujuan merusak makam itu? Apa yang ingin diraih? Mungkin hanya orang gila yang melakukan itu,” ujar Abdul seperti yang dilansir oleh kantor berita Antara.
Halim menambahkan bahwa pihaknya “tidak bisa berandai-andai atau berspekulasi” sebelum proses penyelidikan selesai.
“Kita masih menunggu hasil penyelidikan dari kepolisian,” tegasnya.
Apa tanggapan para pegiat keberagaman terkait insiden pengrusakan makam ini?
Meskipun terduga pelaku telah berhasil diamankan oleh pihak kepolisian, peneliti senior Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, berharap agar kasus ini tetap menjadi perhatian serius bagi publik.
Bonar menyoroti usia ANFS yang masih sangat muda. Ia juga membandingkannya dengan kasus pengrusakan makam di TPU Cemoro Kembar di Kampung Kenteng, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah pada Juni 2021.
Dalam kasus tersebut, sebanyak tujuh siswa berusia belasan tahun ditetapkan sebagai tersangka.
“Yang jelas, perusakan makam bukanlah perbuatan iseng atau sekadar kenakalan remaja biasa. Ini berkaitan dengan kebencian. Apa yang mendasari dan latar belakangnya masih perlu didalami,” tegas Bonar pada Selasa (20/05).
Sementara itu, Tantowi Anwari, Manajer Program dan Advokasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), menekankan pentingnya bagi publik untuk menunggu informasi yang utuh dan komprehensif dari aparat kepolisian.
“Jika ODGJ atau disabilitas mental, termasuk juga jika terduga pelaku itu disabilitas intelektual, harus dengan keterangan ahlinya seperti psikolog atau psikiater,” ujarnya.
Thowik, sapaan akrab Tantowi, menjelaskan bahwa apabila terduga pelaku terbukti memiliki gangguan kejiwaan, maka ia tidak dapat dipidanakan.
Akan tetapi, menurutnya, “kehadiran negara tetap sangat penting, untuk memastikan pelaku ini tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari.”
Bagaimana seharusnya publik menyikapi insiden yang memprihatinkan ini?
Kendati aksi pengrusakan makam non-Muslim bukanlah fenomena yang sepenuhnya baru, para ahli psikologi mengingatkan masyarakat untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam menanggapi insiden ini.
Terkait dengan pernyataan polisi tentang dugaan pelaku mengalami gangguan kejiwaan, psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Lucia Peppy, mengatakan bahwa perlu ada pemeriksaan medis yang komprehensif untuk memastikan adanya persoalan kejiwaan yang dialami oleh terduga pelaku.
“Apakah persoalan kejiwaan itu masih membuat dia mampu bertanggung jawab atas perbuatannya atau tidak. Jadi, ini bukan sekadar gangguan jiwa berat atau ringan atau sedang.”
“Apakah gangguan jiwa itu membuat seseorang itu memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atau tidak.”
Lucia beranggapan bahwa sering kali ketika ada insiden yang mengarah pada kekerasan dan terkait dengan simbol agama, asumsi publik akan langsung mengaitkannya dengan isu intoleransi.
“Respons ini bisa saja muncul karena memang di negara kita, mau tidak mau, tidak bisa dipungkiri, bahwa isu antaragama itu akan mudah sekali dikaitkan dengan nilai toleransi,” jelas Lucia.
Berulangnya insiden pengrusakan makam, menurut Lucia, memicu memori individual maupun kolektif sehingga ketika ada situasi serupa terjadi, “dipersepsi oleh individu-individu sebagai sesuatu yang mirip dengan peristiwa intoleransi.”
Lucia secara khusus menyoroti individu-individu yang pernah merasakan intoleransi secara langsung dan dapat terpicu kembali ketika mereka menduga ada peristiwa serupa yang kembali berulang.
“Saya prihatin kepada keluarga yang pasti juga terpicu dan masyarakat sekitar yang juga mungkin menjadi waswas karena ada kejadian begini,” ujarnya dengan nada prihatin.
Lucia pun mengimbau agar masyarakat luas dapat lebih menelaah informasi-informasi yang beredar secara cepat sebelum memberikan respons atau bereaksi.
“Kalau tidak tahu secara langsung, maka mari kita belajar untuk jadi lebih bijak terutama ketika kemudian mengaitkan atau membahasnya dengan sesuatu yang memang sangat sensitif bagi masyarakat,” cetus Lucia.
Nindia Nur Khalika turut berkontribusi untuk artikel ini dari Bantul dan Yogyakarta.
- Sulitnya lahan permakaman warga non-Muslim di sejumlah daerah – ‘Parkiran motor jadi kuburan’
- Lagi, perusakan makam: Apakah ini tanda intoleransi?
- Dikubur di makam kampung Muslim, nisan salib dipotong, doa batal
- Tak punya gereja, umat Katolik beribadah malam Tahun Baru di tengah hutan
- Kasus pembubaran ibadah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang: Ketua RT dan tiga warga lain jadi tersangka
- Natal umat Katolik di Bulukumba dihantui ‘ancaman’, pegiat keberagaman: ‘dialog dapat atasi Kristen fobia’
- Lagi, perusakan makam: Apakah ini tanda intoleransi?
- Polisi sebut perusak makam ‘orang gila,’ gereja temukan kejanggalan
- Dari perusakan memorial hingga kuburan, kasus kebencian terhadap umat Yahudi terus berlanjut di Eropa