TRAGEDI terjadi ketika Pusat Amunisi III Pusat Peralatan TNI AD melakukan disposal amunisi yang telah melewati masa pakai di wilayah pesisir Sagara, Cibalong, Garut, Jawa Barat, pada hari Senin, 12 Mei 2025, sekitar pukul 09.30 WIB. Kejadian nahas tersebut mengakibatkan 13 jiwa melayang, terdiri dari empat prajurit TNI AD dan sembilan warga sipil.
Berdasarkan informasi dari situs resmi Kementerian Pertahanan, amunisi didefinisikan sebagai material yang mengandung bahan peledak, kimia, biologi, atau radioaktif, yang dikemas secara khusus untuk menghancurkan atau melumpuhkan target.
Penanganan amunisi memiliki protokol yang ketat. Amunisi yang mengalami kerusakan parah atau telah kedaluwarsa akan melalui proses penyingkiran, yang dilaksanakan pada tingkat IV atau instalasi amunisi tingkat pusat.
Dalam pengelolaan amunisi, terdapat prinsip dan metode yang harus dipatuhi. Berikut adalah uraiannya:
Prinsip Pemeliharaan Amunisi
1. Efektif dan Efisien
Prinsip ini menekankan bahwa pemeliharaan amunisi harus efektif, yakni tepat sasaran, sesuai kebutuhan, dan terencana dengan baik. Selain itu, efisiensi menjadi kunci, dengan penggunaan sumber daya minimal seperti biaya, waktu, dan tenaga, untuk mencapai hasil yang optimal. Contohnya, perbaikan amunisi yang dapat dilakukan di tingkat satuan harus diselesaikan di sana, untuk menghemat biaya dan waktu.
2. Integral
Prinsip integral mengartikan bahwa pemeliharaan amunisi harus terintegrasi dalam sistem yang lebih luas, tidak berdiri sendiri. Pemeliharaan harus selaras dengan rencana operasi militer, ketersediaan personel, dan alokasi anggaran. Selain itu, seluruh aspek sistem pemeliharaan – logistik, teknis, administrasi, dan keamanan – harus diperhatikan.
3. Menjangkau ke Depan
Pemeliharaan dilaksanakan dengan pendekatan strategis dan berorientasi jangka panjang. Prinsip ini mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Perkiraan kebutuhan di masa depan harus dipertimbangkan, tidak hanya fokus pada penyelesaian masalah saat ini.
4. Prioritas
Ketika sumber daya terbatas, pemeliharaan harus diprioritaskan berdasarkan tingkat urgensi dan kebutuhan operasional. Amunisi yang akan digunakan untuk operasi atau latihan penting harus didahulukan. Misalnya, amunisi yang akan digunakan minggu depan mendapat prioritas lebih tinggi dibandingkan yang belum dijadwalkan penggunaannya.
5. Dari Depan ke Belakang
Prinsip ini mengindikasikan bahwa jika suatu satuan (pengguna) tidak mampu melaksanakan pemeliharaan (pemeliharaan tingkat 0), tanggung jawab dialihkan ke satuan yang lebih tinggi, mencerminkan hierarki dalam pelaksanaan pemeliharaan.
6. Sederhana di Depan, Rumit di Belakang
Pemeliharaan sederhana yang tidak memerlukan peralatan khusus dilakukan di tingkat bawah (lapangan atau satuan pemakai). Pemeliharaan yang kompleks dilakukan di tingkat yang lebih tinggi atau di pusat, yang memiliki fasilitas dan teknisi yang lebih lengkap. Contohnya, pembersihan dan pemeriksaan amunisi dapat dilakukan di tingkat satuan, tetapi penggantian komponen internal harus dilakukan di pusat.
7. Kenyal
Organisasi dan sistem administrasi pemeliharaan harus adaptif terhadap berbagai situasi dan kondisi, baik dalam keadaan damai, darurat, maupun perang. Prinsip ini menekankan fleksibilitas dan kemampuan untuk berfungsi dalam segala kondisi, tanpa kekakuan birokrasi yang berlebihan.
Metode Pemeliharaan Amunisi
Metode pemeliharaan amunisi adalah serangkaian cara atau prosedur yang diterapkan untuk melaksanakan kegiatan pemeliharaan amunisi secara benar, aman, dan efisien di setiap tingkatan pemeliharaan. Tujuannya adalah untuk memastikan seluruh kegiatan terlaksana secara terstruktur, sesuai prosedur, dan menghasilkan kinerja yang optimal.
Berikut penjelasan lebih rinci mengenai elemen-elemen utama dalam metode pemeliharaan amunisi:
a. Klasifikasi Kondisi Teknis Alat Peralatan Pemeliharaan
Klasifikasi ini mencakup penilaian dan pengelompokan kondisi teknis dari alat-alat yang digunakan untuk pemeliharaan amunisi, seperti peralatan bongkar pasang, alat pengujian, mesin pembersih, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk mengetahui kelayakan pakai, kebutuhan kalibrasi, atau perlunya penggantian alat tersebut.
b. Penentuan Tingkat Pemeliharaan
Setiap jenis kerusakan atau kebutuhan pemeliharaan memiliki tingkat yang berbeda. Tingkat ini menentukan pihak yang bertanggung jawab (satuan mana), lokasi pelaksanaan, dan batasan kewenangan teknisnya.
Penentuan ini didasarkan pada beberapa faktor:
1) Macam dan Tugas Satuan yang Dilayani
Satuan tempur di garis depan membutuhkan pemeliharaan yang cepat dan praktis, sementara satuan pendukung dapat melaksanakan pemeliharaan yang lebih mendetail. Tingkat pemeliharaan disesuaikan dengan kebutuhan operasional masing-masing satuan.
2) Mobilitas
Satuan dengan mobilitas tinggi (bergerak cepat) membutuhkan metode pemeliharaan yang ringkas dan efisien. Tidak semua tingkat pemeliharaan dapat dilakukan secara mobile, sehingga diperlukan pemilahan.
3) Sarana dan Prasarana yang Tersedia
Jika lokasi hanya memiliki fasilitas yang terbatas, maka hanya pemeliharaan tingkat dasar yang dapat dilakukan. Fasilitas yang lengkap memungkinkan pemeliharaan hingga tingkat tinggi atau overhaul.
4) Alat dan Keterampilan Personel
Tingkat pemeliharaan juga bergantung pada kualifikasi teknisi dan kelengkapan peralatan.
Contohnya, jika personel hanya dilatih untuk pemeliharaan tingkat I, maka kerusakan kompleks harus ditangani di tingkat yang lebih tinggi.
5) Situasi, Kondisi, dan Letak Geografis
Di medan operasi atau daerah terpencil, pemeliharaan yang dapat dilakukan mungkin terbatas pada pemeliharaan darurat atau lapangan. Dalam kondisi damai dan di pangkalan, pemeliharaan dapat dilaksanakan secara lebih lengkap dan terstruktur.
Raden Putri dan Khumar Mahendra turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Ledakan Amunisi Kedaluwarsa di Garut: Prosedur Standar Pemusnahan Amunisi