“`html
ABUJA, RAGAMUTAMA.COM – Setelah menyelesaikan kewajibannya kepada Dana Moneter Internasional (IMF), Nigeria ternyata masih dihadapkan pada biaya yang berkelanjutan, yaitu sekitar 30 juta dollar AS (setara dengan Rp 493 miliar) per tahun.
Menurut penjelasan dari pihak IMF, biaya tambahan ini muncul akibat adanya selisih antara jumlah aset cadangan internasional yang digunakan oleh IMF, yang dikenal sebagai Special Drawing Rights (SDR), dengan alokasi SDR yang diterima oleh Nigeria.
Pembayaran berkala ini akan terus berlangsung hingga posisi cadangan SDR Nigeria mencapai titik keseimbangan kembali.
Sebelumnya, Perwakilan Residen IMF untuk Nigeria, Christian Ebeke, telah mengkonfirmasi bahwa Nigeria telah melunasi utang pokok sebesar 3,4 miliar dollar AS (kurang lebih Rp 55 triliun) pada tanggal 30 April 2025.
Dana pinjaman tersebut sebelumnya dimanfaatkan untuk mengatasi dampak penurunan drastis harga minyak serta melemahnya aktivitas ekonomi yang terjadi selama masa pandemi COVID-19.
Namun, meskipun pinjaman pokok telah dilunasi, Nigeria tetap berkewajiban membayar biaya tambahan yang dikenal sebagai SDR charges selama empat tahun ke depan, yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Utang negara masih menggunung
Meskipun pelunasan utang kepada IMF ini dipandang sebagai sebuah prestasi oleh pemerintahan Presiden Bola Ahmed Tinubu, sejumlah pengamat ekonomi berpendapat bahwa hal ini belum serta-merta mencerminkan perbaikan yang signifikan dalam kondisi utang nasional secara keseluruhan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kantor Pengelola Utang (DMO), total utang publik Nigeria, yang meliputi gabungan utang dalam negeri dan luar negeri, telah mencapai angka yang mencengangkan, yaitu lebih dari 144 triliun naira (kira-kira Rp 1.468 triliun) per Desember 2024.
Angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan adanya defisit anggaran untuk tahun 2025 yang mencapai 13 triliun naira (sekitar Rp 132 triliun).
Para analis ekonomi memperingatkan bahwa dengan harga minyak mentah yang terus menunjukkan tren penurunan, pemerintah Nigeria berpotensi kembali mengambil pinjaman baru untuk menutupi kekurangan anggaran yang ada.
Saat ini, Nigeria masih memiliki sejumlah pinjaman aktif yang berasal dari berbagai lembaga keuangan internasional, termasuk World Bank, IMF, dan African Development Bank (AfDB).
Profesor Ndubisi Nwokoma, seorang ekonom senior, juga berpendapat bahwa pelunasan utang kepada IMF tidak secara otomatis mengubah keseluruhan gambaran perekonomian Nigeria yang kompleks.
Beliau menekankan bahwa Nigeria masih terus terbebani oleh utang dan menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan fiskal jangka panjang yang berkelanjutan.
“Situasi kita masih jauh dari ideal. Meskipun pelunasan ini memberikan sedikit keringanan dari sisi pembiayaan publik, terutama dengan adanya penghapusan subsidi BBM dan reformasi nilai tukar, faktanya utang luar negeri kita masih sangat tinggi dan ekonomi belum menunjukkan pemulihan yang signifikan,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Oluseye Ajuwon dari African School of Economics di Abuja memberikan perspektif yang sedikit lebih positif.
Beliau menyatakan bahwa hampir tidak ada negara di dunia ini yang benar-benar bebas dari utang, termasuk negara-negara maju yang perekonomiannya kuat.
Namun, beliau tetap menekankan pentingnya penggunaan utang secara bertanggung jawab, yaitu dengan memanfaatkannya untuk membiayai proyek-proyek yang memiliki potensi untuk menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk membayar kembali pinjaman tersebut.
Dr. Muda Yusuf, Direktur Eksekutif Centre for the Promotion of Private Enterprises (CPPE), menambahkan bahwa utang sebaiknya dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek yang produktif, khususnya pembangunan infrastruktur, dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.
Yusuf berharap bahwa reformasi pajak dan peningkatan efisiensi dalam perolehan pendapatan negara dapat membantu mengurangi ketergantungan Nigeria pada utang.
“`