Ragamutama.com – , Jakarta – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan kekerasan yang menimpa para jurnalis, yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian, pada perayaan Hari Buruh Internasional, Kamis, 1 Mei 2025. Koordinator KKJ Indonesia, Erick Tanjung, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan mengenai insiden kekerasan yang dialami jurnalis saat melakukan peliputan aksi demonstrasi di wilayah Jakarta dan Semarang.
Pilihan editor: Disiplin Militer untuk Siswa Nakal ala Dedi Mulyadi. Tepatkah?
Hingga saat ini, Komite Keselamatan Jurnalis terus mengumpulkan laporan dan melakukan verifikasi terkait insiden kekerasan yang menimpa jurnalis di berbagai kota lainnya. “Komite Keselamatan Jurnalis dengan tegas mengecam dan mengutuk segala bentuk intimidasi serta kekerasan terhadap jurnalis,” ujar Erick Tanjung dalam pernyataan tertulisnya pada hari Sabtu, 3 Mei 2025. “Tindakan intimidasi semacam ini jelas menghambat kerja jurnalis dalam mencari informasi, yang mana dilindungi oleh undang-undang.”
Di Jakarta, seorang jurnalis dari ProgreSIP menjadi korban pengeroyokan, ancaman, serta pemaksaan untuk menghapus hasil karya jurnalistiknya oleh sekelompok individu berpakaian preman yang dicurigai sebagai anggota kepolisian di area gerbang gedung DPR RI.
Sementara itu, di Semarang, seorang jurnalis dari media Tempo mengalami tindak kekerasan oleh sekelompok orang berpakaian sipil yang diduga merupakan anggota polisi, ketika sedang meliput aksi demonstrasi Hari Buruh di gerbang kantor Gubernur Jawa Tengah, serta di gerbang pintu Undip di kawasan Peleburan, Semarang.
Erick menekankan bahwa kekerasan terhadap jurnalis saat bertugas meliput demonstrasi merupakan praktik yang sangat disayangkan dan terus dibiarkan terjadi di lingkungan kepolisian. Intimidasi dan perampasan alat kerja merupakan tindakan melawan hukum yang secara langsung menghalangi atau menghambat pemenuhan hak pers.
Erick mengingatkan kembali bahwa pers memiliki hak yang dilindungi undang-undang untuk mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi, termasuk dalam proses pengamanan aksi unjuk rasa yang dilakukan secara tidak sesuai prosedur.
Komite Keselamatan Jurnalis berpendapat bahwa kasus ini merupakan pelanggaran serius terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik, sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan terhambatnya atau terhalanginya pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, termasuk penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat terhadap jurnalis saat menjalankan tugas peliputan, juga merupakan tindak pidana. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.
“KKJ mendesak pihak kepolisian untuk segera memproses secara hukum pidana dan kode etik aparat yang terbukti melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis,” tegas Erick.
KKJ juga mendesak Kapolri beserta seluruh jajarannya untuk menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan, serta kekerasan dalam bentuk apapun terhadap para jurnalis yang sedang bertugas meliput.
KKJ juga mendesak Panglima TNI untuk menarik mundur seluruh personelnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil, karena hal tersebut tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang.
Kapolri dan Panglima TNI juga harus segera membuka investigasi terkait praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi, dan penyerangan fisik yang menimpa jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan.
“Kami juga mengimbau kepada seluruh korban kekerasan untuk melaporkan segala bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan. Dan kami mengimbau kepada semua pihak untuk turut serta menjaga kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia,” kata Erick.
Personel kepolisian diduga melakukan pemukulan terhadap jurnalis Tempo yang sedang meliput demonstrasi Hari Buruh Internasional di Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis, 1 Mei 2025. Aksi peringatan hari pekerja sedunia tersebut berujung ricuh ketika polisi membalas tindakan massa yang merusak pagar Kantor Gubernur Semarang dengan tembakan gas air mata dan meriam air.
Jamal Abdun Nashr, seorang wartawan Tempo yang berada di lokasi kejadian, sedang meliput penangkapan massa aksi ketika diduga aparat kepolisian berpakaian preman berupaya menangkapnya. Peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 17.30 WIB.
Menurut Jamal, sejumlah orang berbadan tegap dengan pakaian sipil terlihat membawa pergi beberapa demonstran dari area kantor Gubernur Semarang, tempat aksi berlangsung.
Jamal menilai bahwa penangkapan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi, karena disertai dengan penyeretan dan aksi represif. “Saya coba merekam, mereka kan kalau direkam enggak mau, nah terus saya ditarik, dibawa, sambil mereka coba merebut handphone saya. Dipiting begitu,” ungkap Jamal melalui sambungan telepon pada Kamis malam.
Jamal baru berhasil melepaskan diri dari orang yang diduga aparat yang memitingnya setelah jurnalis lain meneriaki orang yang membawanya. Saat kejadian yang berlangsung selama beberapa menit tersebut, Jamal menggunakan tanda pengenal wartawan. Dia juga menjelaskan kepada orang yang memitingnya bahwa dirinya adalah seorang jurnalis yang sedang bertugas meliput.
Aksi kekerasan kedua terhadap Jamal terjadi sekitar pukul 21.00 WIB. Saat itu, menurutnya, aparat sedang mengepung massa aksi yang berada di Kampus Universitas Diponegoro, Pleburan, Semarang.
Gedung tersebut berlokasi kurang lebih 450 meter dari Kantor Gubernur Jawa Tengah. Aparat diduga mengepung gedung tersebut karena massa aksi menahan salah satu intel kepolisian.
Jamal bersama lima orang wartawan lainnya sedang memantau situasi tersebut dari depan gedung, ketika diduga aparat menggiring beberapa massa aksi keluar. Menurut Jamal, para demonstran tersebut mengalami pemukulan saat ditangkap.
Jamal dan rekan-rekannya kemudian berdiri untuk melaporkan penangkapan tersebut. “Kami otomatis berdiri melihat situasi seperti itu,” ujarnya.
Orang yang diduga aparat tersebut menangkap demonstran, lalu melarang wartawan mendekat. Mereka juga menghalangi jurnalis untuk mengambil gambar dan video. Jamal mengatakan bahwa situasi kemudian memanas. Orang-orang yang diduga aparat berpakaian preman menunjuk salah satu jurnalis dengan nada tinggi karena tidak mau direkam.
Jamal kemudian mengatakan bahwa mereka adalah wartawan. “Kami kemudian berusaha menetralkan situasi, tapi ternyata saya malah kena beberapa kali pukulan,” kata Jamal.
Menurut Jamal, dirinya menerima setidaknya tiga pukulan di area kepala. Saat pemukulan terjadi, menurutnya, ada seorang petinggi Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang berada di sampingnya. “Sedang merangkul saya, tapi saya tetap dipukulin,” ucapnya. Jamal mengatakan bahwa petinggi polisi tersebut tidak berusaha untuk menghentikan aksi kekerasan tersebut.
Hingga berita ini ditulis, Tempo masih berupaya untuk meminta konfirmasi kepada Kepolisian Daerah Jawa Tengah terkait kejadian kekerasan terhadap wartawan tersebut. Artanto belum memberikan tanggapan terhadap pesan singkat yang menanyakan soal insiden kekerasan tersebut.
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini