Chief Executive Officer (CEO) Nvidia, Jensen Huang, baru-baru ini membuat pernyataan yang menarik perhatian global. Ia secara terbuka mengakui bahwa mayoritas ilmuwan dan peneliti terkemuka di bidang kecerdasan buatan (AI) saat ini berasal dari China. Pernyataan ini diungkapkan Huang dalam beberapa kesempatan berbeda, menegaskan pandangannya tentang kontribusi signifikan China dalam membentuk ekosistem AI global. “Sebagian besar ilmuwan AI terbaik dunia berasal dari China. Itu kenyataan yang tidak bisa diabaikan,” tegas Huang, menyoroti realitas lanskap AI kontemporer.
Huang lebih lanjut menjelaskan bahwa kualitas sumber daya manusia di China dalam bidang sains dan teknologi berada pada level yang sangat tinggi. Keunggulan ini terutama terlihat pada disiplin ilmu inti seperti ilmu komputer, matematika, dan pembelajaran mesin (machine learning). Berkat keahlian mereka, banyak ilmuwan dan peneliti AI asal China kini menempati posisi kunci di berbagai laboratorium riset terkemuka, universitas bergengsi, dan perusahaan teknologi raksasa di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat.
Dominasi talenta AI dari China tidak hanya terlihat pada lembaga riset, tetapi juga tercermin jelas dalam struktur internal berbagai perusahaan teknologi raksasa. Sebagai contoh, Meta, yang sedang giat memperkuat divisi AI-nya, membentuk tim pengembangan model bahasa besar (LLM) generasi terbaru. Menariknya, tim riset AI di Meta saat ini mayoritas diisi oleh para ilmuwan dan insinyur beretnis China, baik dari kalangan diaspora maupun lulusan universitas terkemuka di China dan Amerika Serikat.
Meskipun menyoroti peran sentral ilmuwan China, Jensen Huang juga secara tegas menekankan bahwa kemajuan AI tidak mungkin dicapai secara eksklusif oleh satu negara saja. Baginya, kecerdasan buatan adalah sebuah proyek ilmiah yang bersifat global, sangat bergantung pada kolaborasi terbuka antarnegara. “AI adalah disiplin global. Tidak ada satu pun negara yang bisa membangun teknologi ini sendirian,” tegas Huang, menyoroti pentingnya sinergi internasional dalam inovasi AI.
Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa keterlibatan peneliti dari berbagai latar belakang dan kebangsaan merupakan kekuatan fundamental dalam mewujudkan pengembangan AI yang adil dan inklusif. Menurut Huang, segala bentuk pembatasan geopolitik terhadap aliran pengetahuan dan talenta justru berisiko tinggi menghambat laju inovasi dan memperlambat penyebaran manfaat teknologi AI bagi kemaslahatan masyarakat dunia.
Pernyataan Jensen Huang ini mengemuka di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China, khususnya dalam perebutan dominasi teknologi strategis, termasuk pengembangan chip canggih dan kecerdasan buatan. Pemerintah AS sendiri masih terus memberlakukan pembatasan ekspor terhadap chip Nvidia kelas atas, seperti seri H100 dan GH200, ke pasar China.
Meski demikian, Huang menegaskan kembali komitmennya bahwa komunitas ilmiah global harus tetap dijaga sebagai ruang kolaboratif yang melampaui batas-batas negara. Ia secara khusus menyoroti fakta penting bahwa banyak ilmuwan China saat ini berkarya di berbagai pusat riset di Amerika Serikat, memberikan kontribusi langsung dan signifikan terhadap kemajuan teknologi global.
Sebagai konteks, Nvidia saat ini telah menjadi perusahaan teknologi publik paling bernilai di dunia, dengan kapitalisasi pasar yang fantastis menembus angka 4 triliun dolar AS. Perusahaan ini merupakan pemasok utama infrastruktur inti yang krusial bagi berbagai aplikasi AI, mulai dari pelatihan AI generatif, komputasi ilmiah canggih, hingga pengembangan robotika.
Sebagai pemimpin tertinggi di Nvidia, Jensen Huang berkomitmen kuat untuk menjaga keterbukaan dalam distribusi teknologi dan secara aktif memperkuat kolaborasi riset global. Ia memiliki keyakinan teguh bahwa kecerdasan buatan harus berperan sebagai alat pemberdayaan yang melintasi batas-batas negara, bukan sekadar instrumen eksklusif untuk kekuasaan tertentu.