Gibran ditunjuk untuk selesaikan masalah di Papua – Apa yang Gibran perlu lakukan?

Avatar photo

- Penulis

Selasa, 8 Juli 2025 - 09:47 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemerintah sedang menggodok rencana penugasan kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk mengatasi sejumlah permasalahan di Papua, termasuk meningkatkan pembangunan. Arahan itu disebut datang langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Apakah langkah pemerintah ini berpeluang mengurai—sekaligus menyelesaikan—dinamika dan konflik di Papua?

Rencana tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, saat membuka peluncuran Laporan Tahunan Komnas HAM, Rabu (02/07) kemarin.

“Saya kira ini pertama kali presiden akan memberikan penugasan untuk menangani masalah Papua. Bahkan kantor wakil presiden juga akan ada di Papua, supaya wakil presiden itu bekerja dari Papua sembari menangani masalah Papua,” katanya.

Yusril berpandangan pemerintah pusat tidak sekadar fokus terhadap pembangunan fisik, melainkan pemenuhan HAM. Yusril turut menyorot isu pelibatan aparat keamanan yang sudah seharusnya menggunakan perhitungan HAM ketika menjalankan tugasnya di Papua.

Partisipasi publik, terang Yusril, begitu krusial untuk menentukan arah pembangunan di Papua demi terciptanya keadilan maupun penghormatan kepada hak-hak kultural serta sipil Orang Asli Papua (OAP).

Yusril menambahkan rencana ini merupakan komitmen pemerintah dalam mendengar aspirasi masyarakat di Papua yang tidak bisa lepas dari pusaran konflik.

Informasi rinci perihal bagaimana penunjukan khusus Gibran nanti akan dijalankan belum tersedia hingga artikel ini terbit. BBC News Indonesia telah menelusuri sumber-sumber primer di pemerintahan. Hasilnya nihil.

Sementara dua akademisi yang aktif meriset Papua menyatakan kunci penyelesaian konflik di Papua adalah dengan memulai dialog.

“Ketika di forum, ada, misalnya, permintaan masyarakat untuk tidak memperbanyak pos-pos tentara di Papua. Jadi, tentara dengar sendiri bagaimana masyarakat merasa tidak nyaman dengan kehadiran tentara dan sebagainya. Itu mereka dengar sendiri,” ucap salah seorang peneliti itu.

“Jadi itu, menurut saya, yang harus dibangun. Ini yang selalu saya ulang.”

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sembom, menegaskan apa pun keputusan pemerintah pusat soal Papua “akan berakhir percuma selama perundingan tidak dilakukan.”

“Dengan mengedepankan operasi militer, justru pemerintah Indonesia sendiri yang mempercepat Papua [untuk] merdeka,” imbuhnya.

Dua masyarakat adat Papua yang terdampak pembangunan dalam bendera Proyek Strategis Nasional (PSN) bercerita bahwa pemerintah tak memperhatikan nasib mereka. Tanpa diajak bermusyawarah, aku warga, pemerintah langsung tancap gas meratakan hutan-hutan ulayat (adat) di Papua.

“Setelah [satu hutan] digusur, pasti dia [pemerintah] akan gusur semuanya,” ujar salah satu warga terdampak.

‘Apa kualifikasinya untuk bisa selesaikan masalah di Papua?’

Penunjukan wakil presiden untuk mengurus masalah Papua bukan hal yang baru.

Pada 2022, wakil presiden saat itu, Ma’ruf Amin, memperoleh mandat memegang jabatan Ketua Badan Pengarah Percepatan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP). Ruang lingkup penugasan Ma’ruf Amin yakni memastikan keberlangsungan pembangunan dan otonomi khusus di Papua.

“Tolong dengar aspirasi mereka, dengar apa maunya mereka. Catat dan laporkan segera supaya kita dapat mencari solusi terbaik untuk Papua. Kalau ada usulan, saran, kita catat dan dengarkan,” kata Ma’ruf Amin.

Demi memperlihatkan keseriusan pemerintah ihwal Papua, Ma’ruf Amin bahkan berkantor di sana selama lima hari pada awal Oktober 2023. Pemerintah ingin mencari akar permasalahan yang menghambat kesejahteraan serta keamanan di Papua.

Agenda Ma’ruf Amin dalam lima hari itu diisi dengan dialog bersama pemuka agama, aktivis kemanusiaan, sampai tokoh olahraga maupun pemuda Papua.

“Proses damai di Papua harus menjadi fokus utama melalui langkah-langkah yang didukung dengan dialog-dialog konstruktif,” ujarnya di Jayapura.

Gibran, setelah menang Pilpres 2024 dan dilantik menjadi wakil presiden, belum pernah menginjakkan kaki di Papua. Januari lalu, Gibran sebetulnya dijadwalkan mengunjungi Merauke, Papua Selatan, selama dua hari. Agenda ini batal dengan alasan “ada tugas negara lainnya.”

Kedatangan Gibran ke Papua terjadi ketika kampanye pemilihan presiden, Januari 2024. Di Jayapura, Gibran mengutarakan “pemerataan pembangunan sangat penting dan akan menjadi atensi kami [bersama calon presiden Prabowo] ke depan.”

Gibran turut menggarisbawahi bahwa Papua tidak boleh ditinggal dan harus terus dibangun.

“Akses konektivitas jalan-jalan desa, jalan nasional, apa pun itu, wajib di Tanah Papua. Karena, sekali lagi, kalau belum terkoneksi dengan baik, kalau masih ada jalan berlubang belum diaspal, nanti harga pangan mahal. Jadi, penting sekali namanya konektivitas,” sambung Gibran.

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sembom, menyangsikan langkah pemerintah. Ia menyebut “percuma.”

“Apa kualifikasinya untuk selesaikan masalah di Papua? Tidak mungkin berhasil,” cetus Sebby merespons rencana penugasan kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk mengatasi sejumlah permasalahan di Papua.

Agar benang kusut permasalahan di Papua terurai, apalagi yang terkait keamanan, “pemerintah Indonesia harus berunding [negosiasi politik] dengan perwakilan Papua [TPNPB-OPM],” ungkap Sebby.

“Jika tidak melalui negosiasi, masalah akan semakin rumit,” tambahnya.

Pendekatan pemerintah di Papua: Pembangunan fisik dan keamanan

Pembangunan di Papua, sejauh ini, diupayakan dengan komando terpusat dari Jakarta dan pendekatan berbasis keamanan.

Papua sering kali dipersepsikan sebagai daerah ‘tertinggal’ di mana kehidupan masyarakatnya diselimuti kesusahan sebab pembangunan yang diharapkan tak menjangkaunya secara merata.

Sejarah mencatat semua presiden Indonesia mempunyai cara sendiri untuk ‘memajukan’ Papua. Dari penggunaan referendum, pemberian status otonomi khusus (otsus), sampai pembangunan lumbung pangan berskala besar, semua diklaim menjadi wujud kepedulian Jakarta—pemerintah pusat—kepada (masyarakat) Papua.

Namun, dari semua presiden yang pernah menjabat, tidak ada yang lebih getol membangun Papua daripada Joko Widodo, yang berkuasa selama dua periode, 2014-2024.

“Saya minta kerja kita fokus pada peningkatan akses serta kualitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini penting untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat Papua,” tuturnya, 2016 silam.

Sejak pertama kali terpilih menjadi orang nomor satu di republik, Jokowi, panggilan populernya, mencangkan kebijakan pembangunan yang tidak terpaku pada satu wilayah—Jawa—saja, dan ingin akses sekaligus efek atas pembangunan ini dirasakan semua penduduk Indonesia, termasuk Papua.

“Saya sampaikan bahwa pembangunan Indonesia sekarang bukan Jawa-sentris, tetapi Indonesia-sentris, dan Tanah Papua menjadi prioritas dari pembangunan yang kita lakukan,” papar Jokowi mengulang visi pemerintahannya, 2023 lalu.

Dalam paradigma pemerintahan Jokowi, ketika pembangunan absen di Papua, yang terjadi berikutnya yakni kian lebarnya kesenjangan, selain rendahnya kemampuan sumber daya manusia untuk bersaing.

Dengan kata lain, membangun Papua sama berarti dengan membangun manusia dan hal-hal krusial yang mengelilinginya.

Setahun usai dilantik pada masa pemerintahannya yang pertama, 2015, Jokowi membebaskan lima tahanan politik (tapol) yang dipenjara sejak 2003 melalui pemberian grasi (pengampunan).

Pada 2016, Jokowi meresmikan kebijakan satu harga BBM (Bahan Bakar Minyak) di Papua demi terciptanya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.

Konteks waktu itu ialah harga BBM di Papua yang berkali-kali lipat lebih tinggi ketimbang daerah lainnya. Meski Pertamina, selaku operator minyak negara, dibayangi kerugian Rp800 miliar per tahun jika langkah ini diambil, Jokowi tak mengurungkan niatnya.

“Ini bukan masalah untung dan rugi. Jumlah [kerugian] Rp800 miliar itu terserah dicarikan subsidi silang dari mana, itu urusan Pertamina,” tegasnya.

“Tapi, yang saya mau ada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga harganya sekarang di seluruh kabupaten yaitu Rp6.450 per liter untuk premium.”

Satu tahun berselang, Jokowi menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Inpres ini memerintahkan para menteri di kabinetnya untuk menyusun rencana aksi tahunan dalam rangka pembangunan di Papua, mencakup kesehatan, pendidikan, ekonomi lokal, hingga infrastruktur digital.

Implementasi dari gagasan pembangunan Jokowi selanjutnya dapat dilihat melalui anggaran yang digelontorkan ke Papua. Sepanjang 2014 sampai 2021, pemerintah pusat telah mentransfer dana otonomi khusus (otsus) ke Papua dengan total sebesar Rp42,89 triliun—atau lebih dari Rp5 triliun setiap tahunnya.

Pada periode 2022 sampai 2024, alokasi dana otsus cenderung mengalami kenaikan dari waktu sebelumnya, rata-rata Rp7 hingga Rp8 triliun per tahun.

Serupa dengan Papua, dana otsus untuk Provinsi Papua Barat disebut mengalami kenaikan signifikan, menyentuh Rp18,35 triliun—Rp2,29 triliun per tahunnya.

Baca Juga :  Rusia, Indonesia Jajaki Peluang Kerja Sama Migas Strategis!

Anggaran yang dialokasikan tidak cuma lewat otsus, melainkan bentuk lain seperti Dana Tambahan Infrastruktur (DTI), Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), atau belanja kementerian maupun lembaga pemerintah. Jumlahnya diyakini menyamai otsus: triliunan rupiah.

Di rezim Jokowi pula untuk pertama kalinya Papua dimekarkan. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah pusat membentuk empat provinsi baru: Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.

Lahirnya provinsi-provinsi baru di Papua itu diikuti penyaluran dana otsus dari Jakarta. Jumlahnya bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi lainnya. Kalau dirangkum, angkanya berada di rentang Rp300 miliar sampai Rp1 triliun.

Kebijakan pemekaran ini ditanggapi dengan kritik dari masyarakat sipil Papua. Mereka beranggapan pemerintah pusat tidak melakukan konsultasi maupun partisipasi dari publik di Papua.

Jokowi menampiknya. Dia menyatakan “mendengar permintaan-permintaan [pemekaran] dari [masyarakat] bawah.”

“Saya ke Merauke, [masyarakat] minta [pemekaran]. Saya ke Pegunungan Tengah, kelompok-kelompok datang ke saya minta itu, dan sudah tujuh tahun yang lalu, enam tahun yang lalu, lima tahun yang lalu, dan kami tindak lanjuti dengan pelan-pelan,” paparnya pada 2022.

“Sekali lagi, itu adalah permintaan dari bawah, bahwa ada pro dan kontra itu namanya demokrasi.”

Daerah otonomi baru, yang dilahirkan dari pemekaran, kata pemerintah, diharapkan mampu memudahkan dan memperluas jangkauan pelayanan kepada masyarakat, menimbang “kondisi geografis Papua yang sangat luas.”

Pemerintah melanjutkan, daerah otonomi baru “akan membuat pembangunan lebih fokus, rentang kendali lebih dekat, serta eksistensi masyarakat adat dapat diperkuat.”

Pembangunan Jokowi di Tanah Papua tidak lengkap tanpa menyebut sektor infrastruktur fisik. Pemerintahan Jokowi sudah merampungkan Jalan Trans Papua sepanjang lebih dari 3 ribu kilometer, di samping jalur darat di kawasan perbatasan dengan Papua Nugini—sekitar seribu kilometer.

Tak hanya itu, pembangunan infrastruktur di Papua juga menyentuh stadion, pelabuhan peti kemas, bandara, sampai penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Berbagai pembangunan ini, klaim Jokowi dan pemerintah, dimaksudkan untuk mempermudah alur barang dan jasa, mengurangi biaya, serta meningkatkan perputaran uang. Pendeknya, pemerintah ingin masyarakat Papua hidup secara ideal dan tak kesusahan.

Kehadiran pemerintah tidak cuma terlihat dari pembangunan fisik, tapi juga Jokowi sendiri. Sudah 18 kali Jokowi berkunjung ke Papua ketika dia berkuasa selama satu dekade—melebihi presiden yang lain.

Jokowi, tatkala bicara ihwal Papua, beberapa kali menegaskan, satu di antaranya, pentingnya membuka ruang keterlibatan masyarakat adat dalam pembangunan yang diselenggarakan pemerintah. Pembangunan di Papua, Jokowi meminta, harus berorientasi kepada nilai-nilai penegakan HAM.

“Masyarakat Papua harus dilibatkan dalam setiap proses pembangunan dan jangan sampai justru rakyat hanya menjadi penonton saja. Gunakan pendekatan budaya yang menghormati kearifan lokal, dan tempatkan rakyat Papua menjadi subjek yang penting dalam pembangunan di Tanah Papua,” tandasnya.

Namun, apakah pembangunan di Papua yang digencarkan Jokowi sudah benar-benar mendorong—dan menjunjung tinggi—partisipasi Orang Asli Papua seperti yang dia senantiasa kemukakan?

Arie Ruhyanto, pengajar di Fisipol UGM, dalam analisisnya berjudul “Jokowi’s Papua strategy: development above all else?” yang terbit pada 2021, mengatakan pembangunan rezim Jokowi di Papua melahirkan konsekuensi yang tidak kecil seperti degradasi lingkungan akibat ekspansi kapital yang ikut tumbuh.

Ini terjadi, sebagai contoh, di Boven Digoel, Papua Selatan, tatkala pemerintah mengeluarkan izin atas lahan seluas lebih dari 30.000 hektare untuk diubah menjadi perkebunan industri sawit. Izin tersebut bakal mengancam ekosistem di sana dan melahirkan deforestasi dengan angka yang besar.

Laporan Auriga Nusantara, organisasi lingkungan hidup, menerangkan sepanjang dua dekade terakhir, dari 2001 sampai 2019, tutupan hutan alam di Tanah Papua menyusut sebanyak lebih dari 600 ribu hektare. Sekitar 29% terjadi pada rentang 2001-2010 dan 71% muncul sepanjang 2011-2019.

Apabila dihitung secara rata-rata, setiap tahunnya terjadi deforestasi sebesar 34 ribu sekian hektare, dengan catatan tertinggi pada 2015: 89 ribu hektare hutan alam di Papua lenyap.

Periode pertama pemerintahan Jokowi, ternyata, mengutip laporan Auriga, menyumbang deforestasi paling banyak di antara rezim lainnya. Hampir 300 ribu hektare kena deforestasi dalam rentang 2015-2019.

Kerusakan ekologi bukan satu-satunya masalah yang menyeruak ke permukaan. Masyarakat di Tanah Papua, dalam sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, beradu dengan pembungkaman, imbas dari pendekatan keamanan yang diterapkan Jakarta.

Pembangunan Jokowi, sebut banyak akademisi, membutuhkan kestabilan politik. Artinya, siapapun yang dipandang mengusik kebijakan pemerintah, maka akan dihadapkan dengan aparat keamanan.

Di Papua, situasinya lebih pelik lantaran dibarengi aspirasi politik yang tumbuh dan berkembang: tuntutan kemerdekaan. Pihak yang menonjol menyuarakan ini adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Jokowi, tidak lama usai dilantik, memang membebaskan beberapa tahanan politik Papua. Walaupun begitu, pada masa kekuasaannya pula publik diperlihatkan betapa dia tidak segan memberangus siapa saja yang berhubungan dengan kemerdekaan Papua.

Data TAPOL, organisasi HAM yang aktif mengawal isu Papua, menunjukkan selama 2019 sampai 2023 terdapat lebih dari 300 orang Papua yang ditangkap aparat keamanan dengan tuduhan makar—melepaskan diri dari Indonesia.

Penangkapan secara masif terjadi pada awal Desember 2019 dengan 126 orang yang diringkus.

Pendekatan keamanan menghasilkan realita tidak sebatas penangkapan, tapi juga konflik bersenjata.

Dalam misi menumpas gerakan pembebasan, atau TPNPB-OPM, pemerintahan Jokowi mengerahkan militer dengan cukup intens ke Papua, tergambar melalui pengiriman ribuan tentara, operasi gabungan, hingga pendirian Komando Daerah Militer (Kodam) baru.

Konflik bersenjata di Papua telah menyebabkan gelombang pengungsi serta tewasnya sipil yang tidak terkoneksi dengan gerakan pembebasan.

Apa yang ditempuh Jokowi, kini, berpeluang besar diteruskan presiden berikutnya, Prabowo Subianto, tutur peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas.

Prabowo, ucap Cahyo, “akan melajutkan pembangunan ekstraktif terhadap sumber daya alam di Papua.”

“Dan dia melakukan eksploitasi sebesar-besarnya dengan pendekatan nasionalisme yang berbasis kepada militer, memberikan ruang sebesar-besarnya kepada militer,” tandas Cahyo kepada BBC News Indonesia.

Pendekatan militeristik dapat disimak melalui pengiriman tentara ke Papua untuk program lumbung pangan (food estate) yang bakal dibangun di atas lahan sebesar lebih dari dua juta hektare di Merauke, Papua Selatan.

Pemerintah menegaskan pelibatan tentara ditujukan guna mengatasi persoalan tenaga dan sumber daya manusia di program yang masuk bagian Proyek Strategis Nasional (PSN) ini.

Cahyo memandang pengerahan aparat keamanan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah di Papua adalah gambaran bagaimana negara menegakkan hegemoninya.

Dengan kehadiran tentara, Cahyo melanjutkan, warga yang tidak sepakat terhadap lumbung pangan tidak akan berani melayangkan penolakannya.

‘Kami seperti penonton’

Kaspar Kahol menghidupi keluarganya dengan berburu. Di hutan adat milik keluarganya, berlokasi di Wanam, Papua Selatan, dia sering memperoleh rusa, babi, atau ikan.

Hasil berburu lantas sebagian dia simpan, sisanya dijual langsung ke pasar terdekat.

“Karena [kebutuhan] kami sudah disediakan oleh hutan. Hari ini kami dapat, hari ini juga kami jual,” ungkap lelaki berusia 30 tahun ini.

Kini, Kaspar merasa tidak bisa leluasa melakukan rutinitasnya lagi.

Hutan adat milik keluarganya, marga Kahol, telah terdampak pembangunan lumbung pangan.

“Kami mau aktivitas cari makan ke mana? Kami berharap ke siapa?” katanya.

“Kalau sudah digusur semua, kami mau mencari ke mana? Setelah satu [hutan] digusur, pasti dia [pemerintah] akan gusur semuanya.”

Kahol menilai pemerintah tidak pernah mengajak berunding masyarakat di Wanam sehubungan proyek lumbung pangan.

Masyarakat setempat tiba-tiba mengetahui hutan adatnya sudah masuk area lumbung pangan, yang berarti bakal diratakan dengan mesin berat.

Bagi Kaspar, masyarakat hanya seperti penonton.

Senada dengan Kaspar, Yasinta Moiwend, perempuan adat dari Wanam, merasa “sakit hati dan kecewa karena tanah kami digusur begitu saja.”

Kok tiba-tiba masuk seperti pencuri?” tanya Yasinta.

Hutan, untuk Yasinta, punya peran penting. Hutan adalah tempat keramat, peninggalan leluhurnya yang harus dijaga. Hutan juga menyediakannya bahan makanan, selain obat-obatan.

Yasinta mengaku tidak berdaya.

“Kami mau mengadu ke siapa lagi? Kami sudah usahakan sampai ke Jakarta. Tapi tidak ada tanggapan,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Baca Juga :  Amran Sulaiman Curiga Mafia Pangan Manipulasi Stok Beras, Harga Naik?

“Yang sekarang kami pikir kami mau cari makan ke mana?”

Pemerintah, Yasinta menuturkan, tidak membuka diskusi untuk membahas program lumbung pangan.

Yasinta memandang pemerintah datang, tanpa mengentuk pintu, dan langsung mengerjakan lahan adat milik warga di Wanam.

Kehadiran masyarakat Papua tidak jarang diabaikan saat berbicara pembangunan yang digalakkan pemerintah, sebut pengajar sosiologi di Universitas Indonesia sekaligus peneliti BRIN yang aktif meriset tentang Papua, Cahyo Pamungkas.

Padahal, Cahyo meneruskan, dalam aspek ketatanegaraan dan legal standing, sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Di dalam beleid ini, perlindungan serta pengakuan hak-hak masyarakat adat Papua dijamin pemerintah.

Setiap pembangunan, misalnya, harus mengutamakan masyarakat adat, dapat direalisasikan dengan melibatkan mereka di setiap tahapan yang ada.

“Tapi, aturan mengenai otonomi khusus ini on the paper saja. Tidak didukung kebijakan lain seperti kebijakan peraturan perundang-undangan,” Cahyo mengatakan.

Cahyo mengungkapkan “tidak ada komitmen kuat dari pemerintah untuk melaksanakan undang-undang otonomi khusus.”

“Ini berarti tergantung dari rezim politik untuk berkomitmen kepada undang-undang otonomi khusus atau tidak,” tambah Cahyo.

“Dan kalau kita lihat dari zaman SBY [Susilo Bambang Yudhoyono] sampai ke Jokowi, implementasi otonomi khusus banyak berkutat di transfer dana dari pusat ke Papua.”

‘Pemerintah harus mendengar apa keberatannya orang Papua’

Dalam buku bertajuk Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2010) dijelaskan konflik di Papua setidaknya berakar pada empat isu.

Pertama, sejarah integrasi Papua, melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, terindikasi penuh kecurangan. Pemerintah Indonesia, kala itu, disinyalir memakai taktik-taktik kotor serta intimidasi aparat.

Kedua, pelanggaran HAM oleh pemerintah pusat dan aparat keamanan yang masih bertahan sampai sekarang. Ketiga, penyingkiran dan diskriminasi yang dialami Orang Asli Papua (OAP), yang sayangnya tidak terputus dari masa ke masa.

Dan keempat, terakhir, kegagalan pembangunan infrastruktur sosial di Papua, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, serta ekonomi rakyat.

Mantan Koordinator Tim Kajian Papua di BRIN (2004-2006) dan anggota Jaringan Damai Papua, Adriana Elisabeth, mengutarakan kunci dari penyelesaian masalah di Papua adalah dengan dialog.

“Kalau dari teori peace and conflict analysis, dialog itu cara yang sangat umum dilakukan untuk penyelesaian konflik. Dan prinsip saya, setiap konflik harus diselesaikan dengan cara damai. Nah, dialog itulah caranya,” tuturnya kepada BBC News Indonesia.

Dengan dialog, Adriana menambahkan, dua pihak duduk bersama dan bernegosiasi. Negosiasi, menurut Adriana, “bukan mencari menang dan kalah.”

“Negosiasi itu mendengar. Mendengar apa keberatannya orang Papua. Apa persoalannya? Kenapa negara melakukan ini? Kenapa orang Papua selalu menolak?” lanjutnya, seraya mengatakan “hal itu hanya muncul kalau kita berdialog.”

Pemerintah tidak pernah mengambil jalan itu, Adriana mengkritisi. Dari belasan kunjungan Jokowi ke Papua semasa menjadi presiden, misalnya, dia “hanya datang tanpa pernah dialog dengan masyarakat,” ucap Adriana.

Proses dialog tidak bisa dimungkiri akan mengambil waktu yang tidak sebentar.

Tatanan sosial di Papua terbangun berdasarkan suku dan marga. Maka dari itu, “semua harus diajak bicara,” tegas Adriana.

“Pemerintah tidak memahami representasi di Papua secara baik. Jika sudah bicara satu klan atau marga, dianggapnya beres,” ucapnya.

“Di Papua tidak bisa seperti itu. Harus bicara dengan semua klan yang ada di tanah itu.”

Karena level pemahaman tentang masyarakat Papua yang rendah, maka ini berujung di tataran penerapan di lapangan. Adriana menyodorkan masalah tanah di Papua. Negara kerap menganggap tanah di Papua kosong, tidak bertuan.

Alhasil, negara lantas mengeklaim tanah di Papua sebagai aset. Negara, kata Adriana, “lupa bahwa sebelum Indonesia terbentuk sudah ada orang di Papua.”

“Mereka kemudian memanfaatkan tanah di Papua tanpa berkomunikasi dengan masyarakat adat. Ini yang selalu menjadi kontradiksi dalam perspektif pembangunan,” katanya.

Adriana sendiri, bersama tim di BRIN, pernah intensif mengupayakan dialog lewat forum-forum informal pada 2011 sampai 2016 sebanyak setidaknya sembilan kali.

Forum tersebut mempertemukan berbagai pihak, dari masyarakat adat, tentara, sampai aliansi sipil.

Awalnya, Adriana mengakui, proses dialog tidak berjalan mudah. Masing-masing pihak “sama-sama curiga,” kenang Adriana.

“Tapi, lama-lama, di end of the meeting, saya selalu bertanya, ‘Kita mau bikin forum lagi tidak?’ Peserta menjawab, ‘Mau, Ibu.’ Oke, kalau begitu kita bikin lagi,” Adriana mengisahkan.

“Dan itu banyak hal yang mereka bisa memahami satu sama lain.”

Contohnya, berdasarkan keterangan Adriana, tentara mendengar langsung kekhawatiran masyarakat adat mengenai banyaknya pos militer yang didirikan di sekitar perkampungan.

Cerita dari forum lalu disebarkan dari mulut ke mulut, dari orang ke orang, tidak terkecuali ke anggota TPNPB-OPM yang berada di hutan.

Upaya dialog yang diusahakan Adriana dan tim di BRIN mengalami babak akhir pada 2017 setelah tidak ada lagi pendanaan.

“Jadi tidak ada orang yang mau berdamai dengan paksaan. Itu tidak bisa. Kalau dialog itu tercapai, apa pun hasilnya, situasi akan berangsur membaik,” pungkasnya.

Bagi Yasinta Moiwend, warga asli Wanam, Papua Selatan, meski pemerintah sudah menghancurkan hutan-hutan adat miliknya, juga masyarakat, untuk lumbung pangan, dia akan terus menolak.

Yasinta masih mencari keadilan, memasang harapan bahwa suaranya, sebagai Orang Asli Papua (OAP), didengar para pembuat kebijakan.

“Sampai kapan pun, saya akan melawan. Saya akan melawan. Dan kami tidak akan rela untuk berikan tanah kami,” Yasinta menegaskan.

“Kami tetap tolak.”

Apakah dengan Gibran yang nantinya ditugaskan “menyelesaikan” masalah di Papua, suara Yasinta, dan masyarakat Papua secara keseluruhan, dapat didengar?

  • Merince Kogoya dicoret dari Miss Indonesia karena bendera Israel – Bagaimana sejarah dan akar pandangan orang asli Papua tentang Israel?
  • Video serangan drone beredar di media sosial – Benarkah terjadi di Papua dan siapa pelakunya?
  • ‘Lihat langsung hutan, hak dan kehidupan kami direbut paksa’ – Masyarakat adat Merauke minta pelapor khusus PBB datang ke Papua
  • Perusahaan terbatas pertama milik masyarakat adat didirikan di Papua – ‘Kami harus mandiri dengan aset dan potensi kami’
  • Gereja Katolik dan kisah orang-orang asli Papua – ‘Mengapa kedukaan kami jarang dibicarakan di atas altar?’
  • Kisah para jurnalis internasional meliput di Indonesia – ‘Sebelumnya sudah represif, sekarang lebih represif lagi’
  • ‘Mereka adu domba kami’ – Masyarakat adat Solidaritas Merauke deklarasi menolak Proyek Strategis Nasional
  • Aksi protes MBG terus berlanjut di Papua – ‘Kami menolak makan bergizi gratis’
  • ‘Perusahaan masuk tanpa penjelasan, jadi kami anggap mereka sebagai pencuri’ – Apakah pertambangan sejahterakan orang asli Papua?
  • Prabowo berencana beri amnesti kepada kelompok pro-kemerdekaan Papua – Apa itu amnesti dan apa pengaruhnya bagi penyelesaian konflik di Papua?
  • ‘Kado Natal terburuk untuk orang Papua’ – Ratusan warga Pegunungan Bintang mengungsi usai pengerahan militer, bagaimana kronologinya?
  • Militer dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke, masyarakat adat ‘ketakutan’ – ‘Kehadiran tentara begitu besar seperti zona perang’
  • Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk food estate di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah’
  • ‘Kami mau makan dari mana? Alam kami sudah rusak habis’
  • Wawancara eksklusif Egianus Kogoya – Perselisihan internal OPM, tuduhan terima suap, dan ancaman ‘akan terus bikin pusing Indonesia’
  • Mengapa gizi buruk masih menghantui Asmat? – Cerita dari kampung terpencil di pedalaman Papua Selatan
  • Konflik bersenjata di Papua, ribuan warga sipil Paniai mengungsi – ‘Roh Kudus, berkati kami agar bisa selamat’
  • TNI kembali pakai istilah OPM, Polri masih sebut KKB – ‘Kebijakan saling bertentangan, masyarakat Papua jadi korban’
  • ‘Orang asli Papua akan semakin takut’ – Mengapa Polri berencana rekrut 10.000 polisi baru di Papua?
  • Nestapa pengungsi Nduga: Bertahun-tahun ‘diusir’ dari rumah dan kini hak suara mereka di Pemilu 2024 ‘direnggut paksa’
  • Konflik Papua: Pengungsi Maybrat hidup dalam ketakutan – ‘Rindu pulang tapi cemas dimata-matai’

Berita Terkait

Momen Prabowo Tampil di Barisan Terdepan saat Foto Resmi KTT BRICS 2025 Brasil
RI Bisa Kena Tarif Tambahan Trump karena Masuk BRICS, Ini Kata Sri Mulyani
Trump Kirim Surat ke Prabowo, Tetap Kenakan Tarif Impor 32 Persen untuk Indonesia
Prabowo Tampil di BRICS: Disambut Hangat hingga Bicara Dukungan ke Palestina
Wamenlu: Prabowo Usulkan South-South Economic Compact di KTT BRICS
Borok Pejabat di Luar Negeri: Staf KBRI Bongkar Minta Fasilitas!
Prabowo: BRICS Bisa Dongkrak Ekonomi Negara Berkembang!
Tarif Trump 10% ke BRICS: Indonesia Terancam? Cek Faktanya!

Berita Terkait

Selasa, 8 Juli 2025 - 12:11 WIB

Momen Prabowo Tampil di Barisan Terdepan saat Foto Resmi KTT BRICS 2025 Brasil

Selasa, 8 Juli 2025 - 11:41 WIB

RI Bisa Kena Tarif Tambahan Trump karena Masuk BRICS, Ini Kata Sri Mulyani

Selasa, 8 Juli 2025 - 09:47 WIB

Gibran ditunjuk untuk selesaikan masalah di Papua – Apa yang Gibran perlu lakukan?

Selasa, 8 Juli 2025 - 09:10 WIB

Trump Kirim Surat ke Prabowo, Tetap Kenakan Tarif Impor 32 Persen untuk Indonesia

Selasa, 8 Juli 2025 - 07:40 WIB

Prabowo Tampil di BRICS: Disambut Hangat hingga Bicara Dukungan ke Palestina

Berita Terbaru

finance

Kimia Farma Rugi Rp 842 Miliar di 2024: Kok Bisa?

Selasa, 8 Jul 2025 - 14:17 WIB

finance

Trading Emas: Tips Cuan Harian & Swing untuk Day Trader

Selasa, 8 Jul 2025 - 14:11 WIB

finance

Apindo Dorong Langkah Strategis Hadapi Tarif AS 32 Persen

Selasa, 8 Jul 2025 - 13:58 WIB

finance

Uganda Jadi Destinasi Baru untuk Investasi dan Wisata Alam

Selasa, 8 Jul 2025 - 13:46 WIB