Ragamutama.com, Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) memproyeksikan bahwa pengembangan energi terbarukan dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan potensi peningkatan hingga 8 persen per tahun pada 2029. Selain membawa dampak positif terhadap perekonomian, pemanfaatan energi bersih ini juga berpotensi besar dalam menciptakan lapangan kerja baru yang signifikan.
Berdasarkan kajian mendalam IESR, Fabby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif IESR mengungkapkan bahwa transisi menuju energi terbarukan dapat membuka 3,6 juta lapangan kerja hijau atau green jobs hingga tahun 2050. Ia menjelaskan, sektor energi terbarukan membutuhkan tenaga kerja yang memiliki pemahaman mendalam tentang teknologi dan komponen pengoperasian sistem energi bersih.
Fabby memaparkan bahwa energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan biomassa, terbukti lebih hemat dibandingkan pembangkit konvensional yang selama ini mendominasi di Indonesia. Tak hanya itu, IESR juga menyoroti potensi penghematan devisa negara yang mencapai US$ 15-20 miliar setiap tahun apabila Indonesia beralih sepenuhnya ke energi terbarukan. “Dana yang dihemat ini, jika dialihkan ke sektor lain, akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan bahkan penguatan ekonomi daerah,” ujar Fabby dalam acara peluncuran studi pengembangan pulau berbasis 100 persen energi terbarukan, pada Senin, 30 Juli 2025.
Dalam rekomendasinya, IESR mendorong pemerintah untuk mempercepat pemanfaatan energi bersih, terutama melalui pengembangan pembangkit listrik tenaga surya. Fabby menilai bahwa harga komponen pembangkit surya kini jauh lebih terjangkau dibandingkan satu dekade lalu. Ia juga menambahkan bahwa teknologi penyimpanan baterai saat ini telah mumpuni untuk menjaga pasokan listrik yang stabil, bahkan di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil.
Namun demikian, IESR juga menyoroti tantangan besar berupa dominasi energi konvensional berbasis bahan bakar fosil yang masih masif di Indonesia. Fabby menjelaskan bahwa sumber energi ini tidak hanya mahal, tetapi juga rentan terhadap gangguan cuaca dan sangat bergantung pada infrastruktur distribusi yang ekstensif.
Kondisi ketergantungan ini, menurutnya, mengakibatkan distribusi energi yang tidak merata di seluruh pelosok negeri. “Inilah yang hari ini sedang terjadi. Beberapa pulau kecil di Indonesia, seperti Pulau Enggano, mengalami krisis listrik karena ketersediaannya hanya 12 jam saja. Situasi ini secara langsung telah menimbulkan dampak ekonomi yang merugikan di pulau tersebut,” ucap Fabby.
Pilihan editor: Kenapa Standar Kemiskinan Indonesia Perlu Diperbarui