Ragamutama.com – , Jakarta – Kasus seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS, yang ditetapkan sebagai tersangka terkait unggahan meme yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo, menuai sorotan. Sejumlah elemen masyarakat sipil dan pakar hukum pidana mendesak Polri untuk menghentikan proses hukum terhadap mahasiswa tersebut.
Meskipun Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menangguhkan penahanan SSS, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, berpendapat bahwa Polri seharusnya mengakhiri penyelidikan kasus ini secara keseluruhan.
“Kami mendesak pihak kepolisian untuk menghentikan kasus ini. Alih-alih hanya memberikan penangguhan penahanan, sebaiknya segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3),” tegas Isnur saat dihubungi pada hari Senin, 12 Mei 2025.
Menurut Isnur, penahanan terhadap SSS merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan kritik, yang dilakukan dengan menjerat yang bersangkutan menggunakan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi Teknologi dan Elektronik (UU ITE).
Isnur berargumen bahwa meme yang menggambarkan Prabowo dan Jokowi berciuman tidak memenuhi unsur kesusilaan yang dimaksud dalam undang-undang, seperti hubungan seksual, ketelanjangan, atau menampilkan alat kelamin. “Dalam konteks kritik politik, penggunaan gambar ciuman antar kepala negara adalah hal yang lazim dilakukan oleh aktivis di berbagai belahan dunia,” jelasnya.
Lebih lanjut, Isnur menilai bahwa polisi tidak dapat serta merta menjerat kritik yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI) dengan pasal pencemaran nama baik. Ia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatasi penggunaan pasal tersebut untuk mencegah pemerintah atau korporasi melakukan kriminalisasi secara sewenang-wenang.
Alasan lain yang mendasari desakan penghentian kasus ini adalah karena polisi dinilai tidak menerapkan pendekatan yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) UU ITE yang telah disepakati oleh Polri, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Tidak ada proses pemanggilan atau klarifikasi sebelum dilakukan penangkapan dan penahanan. Ini jelas menunjukkan adanya tindakan yang berlebihan dan sewenang-wenang dari Bareskrim Polri,” ungkap Isnur. Ia menekankan bahwa penggunaan UU ITE sebagai dasar pidana seharusnya menjadi upaya terakhir.
Selain YLBHI, Ketua Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga menyerukan kepada polisi untuk menghentikan penyelidikan terhadap kasus SSS. Usman Hamid berpendapat bahwa penangguhan penahanan terhadap mahasiswa tersebut tetap merupakan tindakan yang keliru.
“Penangguhan tersebut secara implisit mengandung pesan bahwa perbuatan mahasiswi ITB tersebut dianggap salah secara hukum, namun proses hukumnya ditangguhkan karena memicu kontroversi,” ujar Usman saat dihubungi pada Senin, 12 Mei 2025.
Usman meyakini bahwa kritik yang disampaikan melalui meme tersebut bukanlah sebuah tindak pidana. Oleh karena itu, penangkapan terhadap mahasiswa perempuan dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Menurut Usman, tindakan yang seharusnya diambil oleh polisi adalah membebaskan mahasiswa SSS tanpa syarat apapun. Pembebasan tersebut, kata Usman, harus didasarkan pada fakta bahwa tidak ada tindakan kriminal yang ditemukan dalam aktivitas digital SSS yang dijadikan sebagai bukti penahanan.
Senada dengan itu, kalangan akademikus juga berpendapat bahwa polisi seharusnya menghentikan penyelidikan terhadap SSS. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, meyakini bahwa penangguhan penahanan terhadap SSS adalah tindakan yang tidak tepat. “Yang bersangkutan harus dibebaskan tanpa syarat. Prosedurnya bisa melalui penerbitan SP3,” katanya saat dihubungi pada Senin.
Ia meyakini bahwa penahanan mahasiswa SSS, yang dijerat dengan pasal kesusilaan dalam UU ITE, tidak memiliki alasan yang memadai. Herdiansyah juga mendorong penegak hukum untuk melihat meme Prabowo-Jokowi berciuman tersebut sebagai sebuah karya seni.
Mengingat SSS adalah mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Herdiansyah mendesak agar polisi menggali lebih dalam intensi yang dimaksudkan oleh SSS, alih-alih menjeratnya dengan pasal kesusilaan yang dinilai melanggar UU ITE.
“Ciuman Jokowi dan Prabowo dalam konteks karya seni dapat diinterpretasikan sebagai wujud kebebasan berekspresi, yang bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada publik mengenai adanya keintiman yang berlebihan dan tidak wajar,” ucapnya memberikan analisis.
Bareskrim Polri menangkap mahasiswa SSS di tempat kosnya di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, pada hari Selasa, 6 Mei 2025. Polisi kemudian menahannya sejak 7 Mei 2025 dengan menjeratnya dengan pasal kesusilaan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Polisi mengenakan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1).
Bareskrim kemudian menangguhkan penahanan tersebut pada 11 Mei 2025 atas dasar permohonan dari SSS, orang tua, kuasa hukum, serta pihak ITB. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, juga mengajukan diri sebagai penjamin agar SSS tidak lagi ditahan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan bahwa tersangka telah menyesali perbuatannya dan memiliki iktikad baik untuk tidak mengulangi tindakan serupa. “Tersangka dan keluarga juga telah menyampaikan permohonan maaf kepada Bapak Prabowo dan Bapak Jokowi,” kata Trunoyudo di Gedung Bareskrim, Jakarta, Ahad malam.
Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Cara Kerja Biometrik Mata Worldcoin untuk Dompet Digital