Cek Fakta: Bagaimana Kenali Berita yang Dihasilkan AI?

Avatar photo

- Penulis

Sabtu, 12 Juli 2025 - 05:11 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Video yang dihasilkan aplikasi kecerdasan buatan atau AI semakin sulit dikenali – dan membanjiri media sosial dengan konten bernada hasutan dan propaganda. Bagaimana mengenali informasi dan berita palsu buatan AI?

Dalam satu video TikTok, seorang reporter dengan mikrofon di tangan terlihat berdiri di jalan di London dengan bendera Inggris berkibar di latar depan. Dia bertanya kepada seorang pejalan kaki wanita, siapa yang akan dipilihnya pada pemilu mendatang. “Reformasi,” jawab wanita itu. “Saya hanya ingin merasa menjadi orang Inggris lagi, kan.”

Seorang pengguna berkomentar di bawah video itu: “Saya bertanya-tanya berapa banyak mereka membayarnya untuk mengatakan hal itu.” Tetapi adegan ini tidak pernah terjadi di dunia nyata. Wawancara itu sepenuhnya palsu. Reporter itu diciptakan oleh kecerdasan buatan. Dan jika Anda perhatikan lebih dekat, ada petunjuk halus: tanda air samar di sudut dengan kata “Veo”, tanda aplikasi baru pembuat video yang canggih dari Google DeepMind.

Video berdurasi 8 detik ini bukanlah kasus yang terisolasi. Dari TikTok hingga Telegram, siaran berita sintetis — video buatan AI yang meniru tampilan dan nuansa segmen berita — membanjiri media sosial. Mereka meminjam bahasa visual jurnalisme: pelaporan lapangan, grafik di layar, reporter yang berwibawa. Akan tetapi, sering kali semuanya sepenuhnya dibuat-buat untuk memancing kemarahan, memanipulasi opini, atau sekadar menjadi viral.

“Kalau Anda berselancar cepat di media sosial, itu akan terlihat seperti berita, terdengar seperti berita,” ujar Hany Farid, profesor di University of California, Berkeley, yang berspesialisasi dalam forensik digital, kepada DW. “Dan itulah bahayanya.”

Tim cek fakta DW telah berulang kali mengamati bagaimana klip-klip semacam itu berulangkali muncul selama masa krisis — seperti kerusuhan atau peristiwa berita besar — yang digunakan kembali untuk menebar kebingungan atau secara keliru mengisyaratkan eskalasi dramatis.

Konsekuensinya jauh melampaui media sosial

Selama eskalasi konflik terbaru antara Israel dan Iran, TikTok dan platform lainnya dibanjiri konten buatan AI, termasuk siaran berita palsu yang membuat klaim palsu — seperti Rusia yang diduga bergabung dalam perang, Iran menyerang AS, atau Iran menembak jatuh pesawat pengebom B-2 AS.

Baca Juga :  Kepergok Unfollow Matthew Gilbert di Medsos, Nikita Mirzani Akhirnya Jawab Soal Dugaan Dirinya Dituding Putus

Pada tahun 2024, peneliti Taiwan menandai siaran berita buatan AI di platform lokal yang secara keliru menuduh politisi pro-independen melakukan korupsi. Klip-klip tersebut tidak hanya menyebarkan misinformasi — tetapi juga menabur ketidakpercayaan, merusak kredibilitas semua media berita menjelang pemilu di negara tersebut.

Namun sebagian pengguna juga beralih ke siaran berita AI untuk efek parodi atau komik. Salah satu TikTok yang viral menunjukkan seorang pembawa berita sintetis melaporkan kejadian di depan lubang jalan yang begitu dalam hingga sepeda motor pun masuk ke dalamnya. Yang lain membuat avatar yang menyatakan, “Saya saat ini di perbatasan, tapi tidak ada perang. Bu, Ayah, ini terlihat nyata — tapi ini semua AI.”

Bagaimana mendeteksi mana yang palsu?

Aplikasi seperti Veo, Synthesia dan beberapa yang lain memberi tanda yang disebut watermark pada video mereka, meskipun labelnya terkadang samar, dipotong, atau diabaikan. Tetapi bahkan klip yang ditandai dengan jelas pun sering kali dibanjiri komentar pengguna yang bertanya: “Apakah ini nyata?”

Siaran berita palsu merupakan salah satu konten hasil rekayasa AI yang paling canggih dan lebih sulit dikenali. Namun petunjuk tetap ada. Perhatikan gerakan mata dan mulut. Avatar sintetis sering kali berkedip secara tidak wajar atau kesulitan melakukan sinkronisasi bibir yang realistis. Gigi mungkin terlihat terlalu halus atau berkilau secara tidak alami. Bentuknya bahkan mungkin berubah di tengah kalimat. Gerakan dan gerak wajah cenderung terlalu seragam, tidak memiliki variasi alami seperti pada manusia nyata.

Teks juga bisa menjadi petunjuk. Teks atau spanduk di layar sering kali mengandung frasa yang tidak bermakna atau ada salah ketik. Hany Farid menjelaskan, tantangan dalam menemukan konten sintetis adalah target yang terus berubah. “Apa pun yang saya sampaikan kepada Anda hari ini tentang cara mendeteksi AI palsu mungkin tidak relevan lagi dalam enam bulan,” katanya.

Baca Juga :  Samsat Keliling Bali Rabu Ini, Cek Jadwal & Lokasi Terdekat!

AI makin murah dan makin cepat menghasilkan uang

Teknologi AI telah berkembang secara dramatis. Aplikasi seperti Veo kini memungkinkan siapa saja — tanpa pelatihan media — membuat video berkualitas ala siaran hanya dengan beberapa ratus euro per bulan. Avatar bisa berbicara dengan lancar, bergerak secara realistis, dan dapat dimasukkan ke hampir semua adegan dengan beberapa perintah yang diketik. “Anda tidak butuh studio. Anda bahkan tidak butuh fakta,” kata Hany Farid.

Sebagian besar klip ini dirancang untuk interaksi maksimum. Mereka menyentuh topik-topik yang sangat memecah belah, seperti imigrasi, perang di Gaza, Ukraina, dan Donald Trump, untuk memancing reaksi emosional yang kuat dan mendorong pengguna berbagi.

Program monetisasi juga semakin memberi insentif kepada kreator: Semakin banyak tayangan video, semakin banyak uang yang dapat dihasilkan. Lingkungan ini telah memunculkan jenis baru pembuat “AI slop”: pengguna yang menghasilkan konten sintetis berkualitas rendah yang terkait dengan topik yang sedang tren hanya untuk mendapatkan penayangan.

Akun seperti ini—dengan sekitar 44.000 pengikut—sering kali langsung menyampaikan berita terkini sebelum jurnalis dapat mengonfirmasi fakta. Banyak video TikTok menampilkan avatar AI yang berpakaian seperti reporter CNN atau BBC, menyiarkan berita palsu atau „laporan saksi mata” yang direkayasa.

Pada saat terjadi situasi breaking news — ketika pengguna secara aktif mencari informasi — konten AI yang tampak realistis menjadi cara yang sangat efektif untuk menarik klik dan mendapatkan perhatian publik. “Platform telah menjauh dari moderasi konten,” kata Hany Farid kepada DW. “Saya bisa membuat konten, saya bisa mendistribusikannya, dan ada audiens yang bersedia mempercayainya.”

Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris Diadaptasi oleh: Hendra Pasuhuk Editor: Rizki Nugraha

ind:content_author: Monir Ghaedi, Adnan Sidibe

Berita Terkait

AI Google Flow Tersedia di Indonesia, Bisa Bikin Video Sinematik dari Teks dan Foto
Cara Membatasi Cache Google Chrome agar Penyimpanan Komputer Lebih Hemat
5 Negara dengan Pengguna Google Terbanyak di Dunia, Ada Indonesia
Peluang Cuan Puluhan Juta dari Platform TikTok: Benarkah Bisa Mengalahkan YouTube?
Preorder Samsung Galaxy Z Fold7 & Z Flip7: Cashback Rp3 Juta di Blibli!
Veo 3: Foto Jadi Video, Google Perkaya Fitur Suara
Skor AnTuTu Galaxy Z Fold 7 & Z Flip 7 Terungkap! Seberapa Gahar?
Xiaomi 15 Ultra vs Z Flip7: Adu Spek & Harga, Siapa Unggul?

Berita Terkait

Sabtu, 12 Juli 2025 - 10:28 WIB

AI Google Flow Tersedia di Indonesia, Bisa Bikin Video Sinematik dari Teks dan Foto

Sabtu, 12 Juli 2025 - 10:22 WIB

Cara Membatasi Cache Google Chrome agar Penyimpanan Komputer Lebih Hemat

Sabtu, 12 Juli 2025 - 08:22 WIB

5 Negara dengan Pengguna Google Terbanyak di Dunia, Ada Indonesia

Sabtu, 12 Juli 2025 - 06:17 WIB

Peluang Cuan Puluhan Juta dari Platform TikTok: Benarkah Bisa Mengalahkan YouTube?

Sabtu, 12 Juli 2025 - 05:11 WIB

Cek Fakta: Bagaimana Kenali Berita yang Dihasilkan AI?

Berita Terbaru