Bank Indonesia (BI) menunjukkan kewaspadaan terhadap potensi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tanah air. Situasi ini, terutama di tengah dinamika perang dagang global, berpotensi menekan daya beli masyarakat dan selanjutnya memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Erwin Gunawan Hutapea, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter & Aset Sekuritas (DPMA) BI, menyoroti bahwa dampak PHK yang dilakukan oleh berbagai perusahaan, khususnya yang berorientasi ekspor, akan semakin terasa di tengah eskalasi tensi perdagangan internasional.
“Dampak yang paling signifikan adalah terhadap pertumbuhan ekonomi. PHK secara langsung akan memengaruhi kemampuan masyarakat untuk berbelanja, yang pada gilirannya berdampak pada konsumsi. Kita semua menyadari bahwa perdagangan global saat ini tengah menghadapi tantangan, sehingga kinerja ekspor juga tidak akan semudah sebelumnya,” ungkapnya dalam forum Taklimat Media BI, Rabu (7/5).
Erwin menegaskan bahwa BI akan terus melakukan kajian mendalam terhadap dampak PHK ini terhadap stabilitas fundamental ekonomi. Hasil kajian ini akan menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan kebijakan.
“Isu PHK ini tentu menjadi perhatian kementerian terkait. Dari sudut pandang Bank Indonesia, fokus utama adalah menjaga stabilitas ekonomi. Kami akan terus melakukan assessment secara berkelanjutan, karena setiap keputusan yang diambil didasarkan pada data yang komprehensif,” jelasnya.
Menurutnya, seiring dengan proses negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat terkait penerapan tarif resiprokal, para eksportir akan berupaya mencari alternatif pasar ekspor. Namun, tidak semua komoditas dapat dengan mudah menemukan pengganti pasar selain AS.
“Komoditas yang sulit menemukan pasar pengganti membutuhkan waktu adaptasi. Implikasinya adalah, apakah kondisi keuangan korporasi masih memungkinkan untuk bertahan dengan penurunan penjualan? Jika tidak, maka layoff menjadi opsi yang mungkin diambil,” jelas Erwin.
Dia berpendapat bahwa selain dampak terhadap pertumbuhan ekonomi akibat penurunan daya beli, fenomena PHK juga dapat memberikan dampak tidak langsung pada pergerakan nilai tukar rupiah.
Menurutnya, hal ini dapat terjadi jika pelaku pasar atau investor melihat adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akibatnya, BI akan mempertimbangkan kondisi ini dalam mengambil langkah-langkah intervensi yang diperlukan.
“Keputusan akan diambil dengan mempertimbangkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi demi kemaslahatan masyarakat. Ini akan menjadi fokus utama. Dampak indirect dapat muncul jika investor melihat pertumbuhan yang melambat, yang dapat mengurangi minat terhadap investasi di negara tersebut,” tutur Erwin.
Data hingga 23 April 2025 mencatat bahwa total jumlah pekerja yang terkena PHK telah mencapai 24.036 orang. Angka ini dinilai cukup signifikan, mencapai sekitar sepertiga dari total PHK sepanjang tahun 2024 yang mencapai 77.965 orang.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan bahwa sektor industri pengolahan mencatat jumlah korban PHK terbanyak, yaitu mencapai 16.801 orang.
“Tiga sektor yang paling terdampak adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta aktivitas jasa lainnya,” ungkap Yassierli dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Senin (5/5).
Selain industri pengolahan, sektor lain yang juga mengalami dampak signifikan adalah perdagangan besar dan eceran dengan 3.622 orang terkena PHK, dan aktivitas jasa lainnya dengan 2.012 orang.