Ragamutama.com, JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih menghadapi tantangan berat. Keterbatasan pasokan dolar AS di pasar dalam negeri dan dinamika ekonomi global terus menjadi faktor yang memengaruhi pergerakannya.
Situasi ini diperburuk oleh periode repatriasi dividen yang terjadi setiap bulan Mei, ditambah siklus pembayaran utang luar negeri yang mencapai puncaknya di bulan Juni.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, repatriasi dividen di bulan Mei dan pembayaran utang luar negeri yang intensif di bulan Juni berpotensi memberikan tekanan tambahan pada nilai rupiah dalam jangka pendek. Peningkatan permintaan mata uang asing untuk keperluan pembayaran dividen kepada investor asing dan kewajiban utang dalam valuta asing akan mengurangi ketersediaan dolar AS di pasar domestik.
Perang Dagang Memberikan Dampak Negatif pada Pergerakan Rupiah Minggu Ini
Kondisi ini semakin diperparah dengan catatan net outflow modal portofolio sebesar US$ 2,27 miliar pada bulan April. Selain itu, cadangan devisa juga mengalami penurunan signifikan sebesar US$ 4,6 miliar, menjadi US$ 152,5 miliar, yang mengindikasikan adanya intervensi aktif dari Bank Indonesia (BI) di pasar valuta asing.
"Tekanan-tekanan ini dapat mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah, terutama jika tidak diimbangi dengan masuknya aliran valuta asing dari kegiatan ekspor atau investasi langsung," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (8/5).
Josua juga menyoroti beberapa faktor lain yang turut membebani rupiah, termasuk ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintahan Trump. Hal ini memicu sentimen risk-off, yang mendorong investor untuk menarik diri dari aset-aset di pasar berkembang (emerging market), termasuk Indonesia.
Selain itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi China juga berdampak negatif, mengurangi prospek ekspor Indonesia dan menurunkan aliran investasi portofolio. Kemudian, terjadi pula outflow Surat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang mencapai US$ 1,42 miliar pada bulan April, yang menunjukkan penurunan minat investor terhadap instrumen jangka pendek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Nilai Tukar Rupiah Spot Ditutup Melemah 0,11% ke Level Rp 16.520 per Dolar AS pada Hari Jumat (9/5)
Mengenai cadangan devisa, Josua menjelaskan bahwa level saat ini masih dalam kondisi yang memadai, setara dengan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang. Angka ini jauh melampaui standar kecukupan internasional yang ditetapkan, yaitu 3 bulan.
Namun, ruang untuk melakukan intervensi akan semakin terbatas jika tekanan terhadap rupiah terus berlanjut dan cadangan devisa terus menyusut. "Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu menggabungkan intervensi dengan kebijakan-kebijakan struktural, termasuk upaya memperkuat arus masuk dari ekspor dan investasi langsung," tambahnya.
Dia berpendapat bahwa Bank Indonesia (BI) dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing secara terukur dengan memanfaatkan cadangan devisa, terutama untuk meredam gejolak (volatilitas) yang ekstrem. Selain itu, optimalisasi operasi moneter yang pro-market, termasuk penawaran SRBI dengan tenor dan yield yang kompetitif, dapat dilakukan untuk menarik kembali minat investor asing.
Selanjutnya, penguatan kebijakan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) perlu dilakukan, dengan memastikan repatriasi valuta asing secara disiplin dan mengurangi ketergantungan pasar terhadap aliran modal portofolio.
"Kemudian, diperlukan pula kebijakan makroprudensial dan komunikasi yang efektif, untuk menjaga kepercayaan pelaku pasar terhadap stabilitas moneter dan fiskal," paparnya.
Josua memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah masih akan berada dalam kisaran Rp 16.400 – Rp 16.600 per dolar AS pada akhir semester I-2025, dengan fluktuasi yang dipengaruhi oleh sentimen pasar global, hasil pertemuan FOMC di bulan Juni, dan realisasi arus modal portofolio.
"Level ini mencerminkan tekanan struktural dan siklikal yang masih ada, namun juga memperhitungkan potensi rebound jika The Fed mulai menurunkan suku bunga di kuartal III dan ketegangan perdagangan mereda," pungkasnya.