AI Mengancam Pekerjaan: Saatnya Kita Bertindak?

Avatar photo

- Penulis

Kamis, 29 Mei 2025 - 02:04 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Lius (nama samaran) tak menampik kekhawatirannya soal potensi perangkat kecerdasan buatan (AI) yang bisa saja menggantikan posisinya. Sebagai seorang ilustrator, ia pun menaruh perhatian pada hasil kreasi AI generatif (Gen-AI) yang sulit dilacak keaslian dan hak ciptanya.

“Sisi negatifnya, pihak operasional dan manajemen yang berorientasi pada kapitalisme mungkin melihat AI sebagai cara untuk memangkas jumlah pegawai dan biaya produksi,” ungkapnya kepada Tirto, Rabu (28/5/2025).

Padahal, dari perspektif kreativitas, hasil kerja AI seringkali tidak konsisten. Karya AI pun acapkali memerlukan penyempurnaan. “Banyak orang awam mengira AI bisa menghasilkan desain akhir yang siap pakai. Namun, dalam praktik profesional, hasil AI generatif masih memiliki banyak kekurangan,” imbuh Lius.

Pengalamannya menunjukkan bahwa perbaikan detail seperti anatomi, perspektif, hingga rendering teks masih membutuhkan sentuhan manual. Terkadang, waktu yang dihabiskan untuk merevisi karya AI justru lebih lama daripada memulai dari awal.

Kekhawatiran yang dirasakan Lius bukanlah anomali. Survei yang dilakukan UMN dan Sindikasi menunjukkan bahwa mayoritas pekerja di sektor media dan kreatif merasa cemas akan potensi tergantikannya peran mereka oleh teknologi otomatisasi. Dalam survei tersebut, 92,6 persen pekerja media dan kreatif menyatakan ‘sangat setuju’ dan ‘setuju’ bahwa pekerjaan mereka berisiko terdampak oleh AI.

Kendati demikian, Lius tidak menolak pemanfaatan AI sepenuhnya. Ia bahkan telah mengintegrasikan teknologi ini sebagai alat bantu dalam pekerjaannya. Contohnya, untuk membuat suara latar (voice over, vo), atau terjemahan dan takarir, yang membantu ekspansi pasar tanpa merugikan pihak mana pun.

Pada tingkatan tertentu, penggunaan AI memang berpotensi mempercepat proses kerja dan memberikan ruang untuk fokus pada tugas yang lebih kompleks.

Jofie (32), seorang pekerja di media massa, merasakan dampak ini. Proses kerja jurnalistik di tempatnya kini semakin mengintegrasikan pemanfaatan AI.

Untuk penulisan artikel ringkasan atau siaran pers singkat, AI membantu prosesnya. Meski begitu, peran manusia tetap esensial, hanya saja fokusnya bergeser ke verifikasi dan peninjauan konteks.

“Sumbernya berasal dari siaran pers dan berita dari media lain yang kemudian diolah oleh AI. Namun, ada editor yang bertugas memeriksa dan memublikasikan berita-berita tersebut,” jelasnya kepada Tirto, Rabu (28/5/2025).

Di tempat Jofie bekerja, implementasi AI sejauh ini dinilai cukup tepat sasaran. Alih-alih menjadi ancaman, AI justru membantu tugas jurnalis sepertinya untuk fokus pada pemberitaan mendalam dan konten eksklusif. Namun, berdasarkan pengalamannya, AI tetap memiliki keterbatasan, sehingga kehadiran manusia belum tergantikan sepenuhnya.

“Keterbatasannya seperti tadi, dalam penulisan berita terkadang masih ada informasi yang kurang tepat. Ide judul dan saran perbaikan artikel juga tidak selalu relevan dan sesuai dengan preferensi penulis. Jadi, keputusan akhir tetap di tangan manusia,” lanjutnya.

Sejalan dengan Jofie, Ilham (27), seorang peneliti di sebuah lembaga think tank di Jakarta, berpendapat bahwa kehadiran AI saat ini tak terelakkan. Bahkan, AI telah menjadi alat penting yang mempermudah berbagai aspek pekerjaannya. Bagi Ilham, mesin-mesin otomatisasi bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian integral dari cara ia bekerja sehari-hari.

“Dulu, kalau ada rekaman diskusi atau wawancara narasumber yang durasinya berjam-jam, saya harus transkrip sendiri sampai capek. Sekarang, dengan adanya tools transkripsi dari AI, pekerjaan jadi jauh lebih mudah,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (27/5/2025)

Ilham tidak khawatir posisinya sebagai peneliti akan digantikan oleh AI. Bukan karena ia merasa lebih unggul, melainkan karena ia melihat bahwa dalam bidang riset, terutama terkait ilmu sosio humaniora yang ia tekuni, peran manusia sangat krusial.

Menurutnya, menggantikan peneliti sepenuhnya dengan AI belum memungkinkan saat ini. Minimal, tetap dibutuhkan manusia untuk mengoperasikan dan mengarahkan teknologi tersebut.

Baca Juga :  Misteri Jutaan Aplikasi Android Hilang dari Google Play Store: Penyebab dan Dampaknya

“Sebagai peneliti, ketika mengambil data, bukan sekadar ‘mengambil data’. Tapi kita juga mengamati interaksi manusia dengan manusia lainnya,” jelas Ilham tentang peran manusia yang tidak dapat digantikan AI.

Meski begitu, ia mengakui bahwa saat ini atau di masa depan, ada sejumlah pekerjaan di bidang akademik dan riset yang akan terdampak oleh kehadiran AI. Dampak tersebut bisa berupa pengurangan tenaga kerja yang digantikan oleh sistem otomatisasi.

Isu yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika AI digunakan secara berlebihan, tanpa proses pengecekan atau validasi dari manusia. Di titik itulah risiko terbesar muncul, bukan dari AI itu sendiri, melainkan dari cara kita memanfaatkannya,” tegas Ilham.

Siapkah SDM Tenaga Kerja di Indonesia Mengadopsi AI? Head of Research Center for Digital and Society (CfDS), Hafiz Noer, mencatat bahwa sejauh ini belum ada laporan signifikan mengenai PHK di Indonesia yang disebabkan oleh otomatisasi AI. Meskipun demikian, ia menekankan pentingnya melihat tren ini dalam perspektif historis.

“Respons terhadap teknologi AI ini mirip dengan respons industri terhadap teknologi lainnya, termasuk saat teknologi pertama kali masuk ke sektor manufaktur,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (27/5/2025).

Hafiz mencontohkan perusahaan teknologi global seperti Google—atau lebih tepatnya induk perusahaannya, Alphabet—yang melakukan PHK terhadap ribuan karyawan pada awal 2023. Meskipun jumlah tersebut tidak sampai 10 persen dari total pegawai, keputusan PHK tersebut didasari oleh alasan efisiensi dan investasi dalam pengembangan AI.

“Artinya, investasi di bidang AI membutuhkan dana yang signifikan. Bahkan Alphabet harus melakukan PHK terhadap sekitar 12 ribu karyawan untuk berinvestasi di bidang AI,” tambahnya.

Meskipun belum ada kasus PHK massal akibat adopsi AI di Indonesia, ia mengingatkan agar Indonesia tetap waspada dan bersiap. “Di satu sisi, ada pengurangan 5 ribu posisi, tetapi di sisi lain perusahaan dapat membuka 2 ribu posisi baru yang khusus di bidang AI. Tantangannya adalah apakah SDM kita siap mengisi posisi baru tersebut?,” ujarnya.

Direktur Regulasi dan Etika Indonesian AI Society (IAIS), Henke Yunkins, menyatakan bahwa Indonesia saat ini menghadapi kesenjangan keterampilan (skill gap) yang cukup signifikan dalam proses adopsi AI.

“Industri mencari talenta dengan keahlian berbasis AI, sedangkan sistem pendidikan dan pelatihan belum sepenuhnya menyiapkan tenaga kerja untuk tugas-tugas tersebut,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (27/5/2025)

Pria yang juga menjabat sebagai CEO Phire Studio ini menambahkan bahwa kesenjangan keterampilan menjadi salah satu tantangan ekonomi dalam gelombang transformasi otomatisasi di dunia kerja. Selain itu, risiko PHK dan pengangguran struktural, serta dominasi perusahaan besar yang menguasai data dan pasar AI, turut memperumit transisi menuju ekosistem kerja berbasis teknologi.

Di tengah pesatnya perkembangan AI, kesiapan sumber daya manusia (SDM) Indonesia menjadi perhatian utama. Berdasarkan dokumen UNESCO AI Readiness Assessment Methodology (AI RAN), Indonesia dinilai belum sepenuhnya siap mengadopsi AI di semua tingkat keterampilan. Penilaian ini mencakup tiga level kemampuan: pemula, menengah, dan lanjutan—dan Indonesia masih tertinggal di ketiganya.

Jika ditelusuri lebih dalam, isu ini berkaitan erat dengan kesenjangan antara kebutuhan industri dan ketersediaan talenta digital dalam negeri. Data dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kominfo—sekarang Komdigi, menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar 458 ribu talenta digital per tahun untuk periode 2023-2030.

Namun, pada tahun 2023, jumlah talenta digital yang tersedia hanya sekitar 6 juta orang. Padahal, total talenta digital yang dibutuhkan mencapai 10,6 juta.

Pemerintah Siapkan Blueprint yang Jelas Associate Professor Digital Strategy and Data Science Monash University Indonesia, Arif Perdana, menilai bahwa AI menawarkan potensi besar bagi Indonesia secara keseluruhan. Namun, AI juga menghadirkan ancaman serius terhadap lapangan kerja.

Baca Juga :  HP Xiaomi, Oppo, Vivo Terancam: Apa Dampaknya Tanpa Google?

“Tantangan etis seperti bias algoritma dan pelanggaran privasi semakin kompleks, sementara ketimpangan digital memperburuk eksklusi sosial,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (27/5/2025)

Lebih lanjut, Arif menyoroti rendahnya tingkat kesiapan tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi era kecerdasan buatan. Selain itu, sistem perlindungan bagi pekerja juga belum siap mengantisipasi dampak otomatisasi skala besar.

Oleh karena itu, menurut Arif, Indonesia membutuhkan cetak biru yang komprehensif yang mencakup kompetensi teknis, soft skills, dan pelatihan sektoral agar transisi kerja lebih adaptif dan berdaya saing di tengah disrupsi teknologi.

“Pemerintah harus menyusun regulasi AI yang adaptif dan mendukung program reskilling dengan target terukur,” sambungnya.

Dari sisi dunia usaha, Arif menekankan perlunya mengintegrasikan pelatihan karyawan sebagai bagian dari strategi implementasi AI mereka. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkuat daya saing, tetapi juga menjaga keberlanjutan tenaga kerja di tengah perubahan teknologi yang cepat.

Pemerintah sendiri tengah menyiapkan sejumlah strategi konkret untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satu langkah yang ditempuh adalah kolaborasi strategis antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) dalam peningkatan keterampilan digital tenaga kerja.

Beberapa peluang kerja sama yang digagas antara Kemnaker dan Kemkomdigi mencakup: Kolaborasi dalam penyelenggaraan pelatihan keterampilan digital, seperti literasi digital, pemrograman, analisis data, kecerdasan buatan (AI), dan keamanan siber; Harmonisasi regulasi ketenagakerjaan dengan dinamika ekonomi digital, termasuk perlindungan bagi pekerja di sektor gig economy dan pekerja lepas; dan kerja sama dalam memberikan dukungan bagi wirausaha dan UMKM untuk memanfaatkan teknologi digital melalui program inkubasi startup dan peningkatan kapasitas SDM.

“Dengan kolaborasi ini, diharapkan tenaga kerja Indonesia lebih berdaya saing dan siap menghadapi tantangan era digital di pasar global,” pungkas Menaker Yassierli, Jumat (21/5/2025).

Menyeimbangkan Peran Manusia dan Teknologi Persiapan kemampuan tenaga kerja yang sejalan dengan pertumbuhan AI, sebaiknya tidak berlebihan. Dalam menghadapi transformasi ini, Hafiz dari CfDS berpendapat bahwa penting bagi industri maupun pemerintah untuk tidak terjebak pada paradigma teknodeterministik. Paham bahwa segala hal harus diselesaikan dengan teknologi itu bisa berbahaya.

“Pendekatannya bukan semua-semua harus pakai AI, tetapi bagaimana menempatkan manusia atau SDM dalam adopsi AI atau teknologi digital, baik di industri maupun di sektor publik,” ujarnya.

Hafiz mencontohkan penerapan AI dalam pengambilan keputusan, misalnya sistem AI yang digunakan untuk memindai dokumen identitas. Meskipun tingkat akurasinya tinggi, masih ada kemungkinan kesalahan seperti membaca tanggal lahir secara keliru. Di sinilah peran manusia sebagai verifikator menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil AI tetap sesuai dengan kenyataan.

“Mungkin manusia tidak akan mengurus dapur atau pekerjaan kotor, tetapi ia berfungsi sebagai ‘pembersih’ di akhirnya. Jadi, AI memudahkan manusia untuk bekerja. Bukan manusianya yang dihilangkan karena AI, tetapi manusianya yang memverifikasi apakah pekerjaan AI sudah betul atau belum,” terangnya.

Sementara itu, Henke dari IAIS menyebutkan bahwa pendekatan ideal terhadap gelombang perubahan yang diciptakan AI dalam dunia kerja adalah dengan menyeimbangkan antara AI-enabled growth dan human-centered transition.

Artinya, inovasi perlu terus didorong, namun di sisi lain, perlindungan terhadap pekerja juga harus menjadi prioritas.

“Ini membutuhkan koordinasi kebijakan yang terintegrasi dan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan perwakilan pekerja,” ucapnya.

Berita Terkait

Bahaya Malware di TikTok: Waspada Video Sesat yang Sebar Virus
Huawei Nova Y73 Resmi Meluncur: Spesifikasi Mirip Huawei Enjoy 80
Akhir Penantian 15 Tahun: WhatsApp Akhirnya Bisa Diinstal di iPad
Infinix GT 30: Smartphone Gaming AI Terbaik di Kelasnya, Pilihan Tepat Para Gamer
Galaxy S25: AI Canggih untuk Produktivitas Maksimal Pengguna
Kecerdasan Buatan: Riset UMN Ungkap Peran Kreatif Manusia Tetap Tak Tergantikan
Fitur Kamera Terbaru iPhone: Mengadopsi Teknologi Android?
Laptop Xiaomi Redmi Book 14 Ryzen: Spesifikasi, Harga, dan Keunggulan

Berita Terkait

Jumat, 30 Mei 2025 - 08:59 WIB

Bahaya Malware di TikTok: Waspada Video Sesat yang Sebar Virus

Jumat, 30 Mei 2025 - 08:23 WIB

Huawei Nova Y73 Resmi Meluncur: Spesifikasi Mirip Huawei Enjoy 80

Jumat, 30 Mei 2025 - 08:00 WIB

Akhir Penantian 15 Tahun: WhatsApp Akhirnya Bisa Diinstal di iPad

Jumat, 30 Mei 2025 - 07:32 WIB

Infinix GT 30: Smartphone Gaming AI Terbaik di Kelasnya, Pilihan Tepat Para Gamer

Jumat, 30 Mei 2025 - 07:16 WIB

Galaxy S25: AI Canggih untuk Produktivitas Maksimal Pengguna

Berita Terbaru

technology

Bahaya Malware di TikTok: Waspada Video Sesat yang Sebar Virus

Jumat, 30 Mei 2025 - 08:59 WIB