Skandal Pengadaan Laptop Chromebook Rp 9,9 T: ICW Ungkap Indikasi Persaingan Tidak Sehat dan Korupsi Era Nadiem Makarim
Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) melontarkan dugaan serius terkait pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun oleh Kementerian Pendidikan selama periode 2019 hingga 2022. Menurut ICW, proyek ambisius ini sarat dengan indikasi praktik persaingan usaha tidak sehat yang berpotensi merugikan negara.
Dalam kajian mendalam yang dilakukan ICW bersama Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia pada tahun 2021, terungkap bahwa spesifikasi teknis yang secara sengaja dipaksakan dalam regulasi kementerian telah secara drastis mempersempit peluang bagi para vendor. Hal ini, menurut ICW dalam siaran persnya yang diterima Tempo pada Kamis, 5 Juni 2025, secara eksklusif menguntungkan segelintir perusahaan saja. “Spesifikasi yang mewajibkan perangkat Chromebook dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) secara signifikan telah mempersempit persaingan usaha, lantaran hanya segelintir perusahaan yang mampu memenuhi kriteria sebagai penyedia,” jelas ICW.
Investigasi ICW menunjukkan bahwa hanya enam entitas bisnis yang memenuhi kriteria spesifikasi yang dipatok, meliputi PT Zyrexindo Mandiri Buana (Zyrex), PT Supertone, PT Evercoss Technology Indonesia, Acer Manufacturing Indonesia, PT Tera Data Indonesia (Axio), dan PT Bangga Teknologi Indonesia (Advan). Fenomena pengurangan jumlah kompetitor secara sengaja ini, tegas ICW, jelas-jelas mencederai semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Lebih lanjut, ICW menemukan anomali dalam proses pengadaan laptop yang dilakukan melalui metode e-purchasing. Meskipun menggunakan sistem elektronik, pengadaan ini justru tidak tercatat dalam aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP), sehingga menyulitkan publik untuk mengakses data penting terkait pengadaan dan mekanisme pemilihan penyedia. Sorotan lain dari ICW adalah penetapan spesifikasi sistem operasi Chrome OS dalam Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021. Keputusan ini dinilai mengabaikan hasil uji coba tahun 2019 yang secara tegas menyatakan perangkat Chromebook tidak efektif untuk program digitalisasi pendidikan, terutama di daerah dengan infrastruktur internet yang masih terbatas.
ICW secara lugas menilai bahwa skema pengadaan yang cenderung tertutup dan penerapan spesifikasi yang terlalu sempit ini secara nyata membuka lebar celah bagi terjadinya permufakatan jahat antara pembuat kebijakan dan pihak penyedia. Mereka menegaskan, “Pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan dan terkesan dipaksakan seringkali berakar dari permufakatan jahat, yang pada akhirnya bermuara pada praktik korupsi dalam berbagai modus, mulai dari mark-up harga, penerimaan *kickback* dari penyedia, hingga pungutan liar dalam proses distribusi barang.”
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, ICW mendesak Kejaksaan Agung untuk segera menelusuri kemungkinan keterlibatan berbagai pihak, termasuk para vendor yang disebut, serta meminta Kejagung untuk menguak informasi sejelas-jelasnya mengenai bentuk dugaan korupsi dan estimasi potensi kerugian negara.
Menanggapi desakan publik dan potensi adanya indikasi kejahatan, Kejaksaan Agung telah mengambil langkah progresif dengan menggeledah kediaman tiga staf khusus mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop ini memang terjadi pada masa kepemimpinan Nadiem. Ketiga staf khusus yang rumahnya digeledah tersebut adalah Jurist Tan, Fiona Handayani, dan Ibrahim Arif. Penggeledahan di kediaman Ibrahim Arif, yang dilakukan pada 23 Mei 2025, menghasilkan penyitaan sejumlah barang bukti elektronik, termasuk gawai dan laptop. Dua hari sebelumnya, pada 21 Mei 2025, penyidik juga telah menggeledah rumah Jurist dan apartemen Fiona. Dari apartemen Fiona, tim penyidik menyita satu unit laptop dan tiga unit ponsel, sedangkan dari rumah Jurist, jaksa berhasil mengamankan dua *hard disk* eksternal, satu *flashdisk*, satu laptop, dan lima belas buku agenda.
Penyidik Kejaksaan Agung mengindikasikan adanya kongkalikong atau permufakatan jahat yang secara sistematis mengarahkan tim teknis pengadaan untuk merekayasa kajian demi mengunggulkan pengadaan laptop dengan sistem operasi Chromebook. Padahal, sebuah uji coba yang melibatkan 1.000 unit Chromebook pada 2018-2019 telah menyimpulkan bahwa perangkat tersebut tidak efisien dan tidak tepat untuk kondisi jaringan internet yang belum merata di Indonesia, dan merekomendasikan penggunaan laptop dengan sistem operasi Windows. Namun, rekomendasi tersebut kemudian diubah, dan Kemendikbudristek secara kontroversial justru membuat kajian baru yang secara spesifik mengunggulkan pengadaan Chromebook. Proyek masif ini, yang merupakan bagian integral dari program digitalisasi pendidikan pada masa jabatan Nadiem, menelan anggaran fantastis hingga Rp 9,9 triliun, dengan Rp 6,3 triliun di antaranya berasal dari dana alokasi khusus (DAK). Meskipun demikian, hingga saat ini, Kejaksaan Agung belum menetapkan satu pun tersangka dalam kasus yang menyita perhatian publik ini.