Ragamutama.com JAKARTA. Relaksasi tensi dalam dinamika perdagangan global memicu prospek positif bagi instrumen reksadana dengan profil risiko yang lebih tinggi. Hal ini tercermin dalam pertumbuhan Nilai Aktiva Bersih (NAB) yang menggembirakan pada bulan April 2025.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa NAB reksadana mengalami peningkatan sebesar 1,65% secara bulanan (MoM), mencapai Rp 505,83 triliun pada April 2025. Pertumbuhan ini menandai kelanjutan tren positif selama tiga bulan terakhir.
Menurut CEO Pinnacle Investment, Guntur Putra, meredanya ketegangan perang tarif, khususnya penundaan implementasi kebijakan tarif oleh Amerika Serikat (AS) selama 90 hari ke depan, telah menghidupkan kembali minat investor, terutama dari kalangan ritel. Investor mulai melihat potensi pertumbuhan imbal hasil di tengah harapan pemulihan ekonomi global dan domestik yang semakin kuat.
Dari dalam negeri, stabilitas makroekonomi yang terjaga, termasuk inflasi yang terkendali dan kebijakan suku bunga yang relatif stabil, juga memberikan sentimen positif bagi para investor. Selain itu, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menunjukkan penguatan setelah mengalami koreksi yang cukup signifikan di awal April, turut memicu optimisme.
Arah Suku Bunga BI Menentukan Prospek Reksadana
Sebagai konsekuensinya, terjadi aliran dana yang signifikan ke instrumen reksadana, yang pada akhirnya mendorong peningkatan NAB. Hal ini terbukti dari kenaikan jumlah unit penyertaan reksadana.
Pada April 2025, OJK mencatat jumlah unit penyertaan reksadana mencapai 396,50 miliar unit, meningkat 0,45% dari 394,71 miliar unit pada Maret 2025. Jika dibandingkan dengan akhir Januari, terjadi peningkatan sebesar 1,54%.
“Dengan demikian, kenaikan NAB tidak hanya disebabkan oleh kenaikan harga aset dasar (underlying), tetapi juga didorong oleh adanya aliran dana masuk,” jelasnya kepada Kontan.co.id pada hari Minggu (18/5).
Lebih lanjut, pertumbuhan NAB reksadana ini dipimpin oleh jenis reksadana dengan tingkat risiko yang lebih tinggi. Sukuk Based Fund mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 4,1% MoM, diikuti oleh ETF sebesar 3,5% MoM, reksadana saham sebesar 3,46% MoM, dan reksadana indeks sebesar 3,11% MoM.
Guntur berpendapat bahwa penurunan sentimen perang dagang telah mendorong investor untuk kembali berinvestasi pada instrumen reksadana yang lebih berisiko. Terlebih lagi, adanya koreksi pasar yang cukup dalam pada awal April menjadi momentum menarik.
“Sehingga investor memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk atau melakukan average down pada reksadana maupun ETF berbasis saham,” paparnya.
Ada Peluang Bank Sentral Pangkas Bunga, Begini Strategi Manajer Investasi Reksadana
Ia juga memprediksi bahwa dengan kondisi pasar saat ini, reksadana saham dan reksadana indeks memiliki potensi untuk mencatatkan kinerja yang cukup baik. Beberapa faktor pendukungnya antara lain potensi penurunan suku bunga oleh bank sentral pada semester II.
Selain itu, potensi pemulihan ekonomi domestik pasca-pemilu dan stabilitas politik, serta arus masuk dana asing ke pasar modal Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, juga menjadi katalis positif. “Kedua jenis reksadana ini paling sensitif terhadap pemulihan pasar saham, sehingga menawarkan potensi imbal hasil yang tertinggi,” ujarnya.
Namun, Guntur juga mengingatkan adanya beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Risiko tersebut mencakup ketidakpastian kebijakan di era pemerintahan Donald Trump, arah kebijakan The Fed, serta dinamika geopolitik global.
Kemudian, volatilitas harga komoditas dan nilai tukar rupiah, serta perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama seperti China, juga dapat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. “Oleh karena itu, bagi investor yang mengutamakan stabilitas, reksadana pasar uang dan pendapatan tetap tetap relevan, terutama jika volatilitas pasar meningkat,” pungkas Guntur.
NAB Reksadana Lanjutkan Pertumbuhan pada April 2025, Ini Pendorongnya