Ragamutama.com – , Jakarta – Rencana pemerintah untuk menghentikan impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura menuai berbagai tanggapan dari sejumlah pengamat energi. Mulyanto, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), berpendapat bahwa kebijakan ini kemungkinan besar dipicu oleh dinamika negosiasi tarif perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia.
Mulyanto menambahkan, langkah ini sejalan dengan pernyataan pemerintah sebelumnya yang ingin meningkatkan volume impor minyak dan gas (migas) dari Amerika Serikat. “Saya menduga, sumber impor tidak hanya dialihkan dari Singapura, tetapi juga bergeser ke Amerika Serikat, mengikuti logika timbal balik tarif,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dirilis pada hari Rabu, 14 Mei 2025.
Menurut Mulyanto, penurunan impor migas dari negara-negara yang selama ini menjadi pemasok adalah konsekuensi yang tak terhindarkan jika Indonesia ingin meningkatkan pembelian migas dari Amerika Serikat. Sebagai mantan anggota Komisi Energi DPR RI periode 2019-2024, ia menekankan pentingnya pengkajian mendalam terhadap rencana ini, baik dari sudut pandang teknis maupun ekonomis.
“Peningkatan impor migas dari Amerika Serikat jangan sampai menciptakan ketergantungan baru, terutama untuk komoditas LPG yang menjadi bahan baku utama gas melon 3 kilogram bersubsidi,” tegas Mulyanto.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengumumkan rencana penghentian impor minyak dari Singapura pada hari Kamis, 8 Mei 2025, saat berbicara di DPP Partai Golkar, Jakarta.
Bahlil menjelaskan bahwa saat ini, sekitar 54 persen impor minyak Indonesia berasal dari Singapura. “Singapura bukanlah negara penghasil minyak, namun kita justru membeli dari sana,” ungkapnya.
Bahlil juga berpendapat bahwa harga beli minyak dari Singapura setara dengan harga beli dari wilayah Timur Tengah. Oleh karena itu, pemerintah berencana untuk mengalihkan impor minyak ke Timur Tengah. “Jauh lebih terhormat jika kita mendapatkan minyak dari middle east,” kata Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Senada dengan Mulyanto, Fahmy Radhi, Dosen Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), meyakini bahwa rencana ini adalah imbas dari tekanan perdagangan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat, terutama sejak era Presiden Donald Trump.
Menurutnya, Amerika Serikat berupaya menekan defisit perdagangan dengan Indonesia. “Karena sulit untuk meningkatkan impor mobil atau produk manufaktur, maka minyak menjadi target utama,” jelas Fahmy saat dihubungi pada hari Senin, 12 Mei 2025.
Namun demikian, Fahmy menilai bahwa menghentikan impor minyak dari Singapura adalah langkah yang kurang tepat. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini tidak rasional secara ekonomi dan berpotensi merugikan Indonesia. Rencana ini juga mengabaikan realitas rantai pasokan dan efisiensi energi.
Fahmy menjelaskan bahwa BBM yang diimpor dari Singapura telah melalui proses *blending* di kilang-kilang mereka, sehingga sesuai dengan kebutuhan domestik, terutama jenis seperti Pertalite yang tidak diperdagangkan secara global. “Jika kita impor dari Amerika Serikat atau negara lain, belum tentu spesifikasinya sesuai, apalagi biaya pengirimannya pasti lebih mahal,” imbuhnya.
Hendrik Yaputra dan Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Target Swasembada Energi Prabowo Sulit Tercapai. Mengapa?