Kardinal Robert Francis Prevost dari Amerika Serikat terpilih menjadi Paus ke-267 pada hari Kamis, sebuah peristiwa penting yang menandai babak baru dengan terpilihnya seorang warga Amerika untuk pertama kalinya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Tokoh berusia 69 tahun kelahiran Chicago, Illinois, ini memutuskan untuk menggunakan nama Paus Leo XIV, demikian laporan dari Hindustan Times.
Sekitar 70 menit setelah kepulan asap putih membubung dari cerobong asap Kapel Sistina—sebuah penanda tradisional terpilihnya paus baru—Paus Leo XIV tampil di balkon Basilika Santo Petrus. Pengangkatannya secara resmi diumumkan oleh Kardinal Dominique Mamberti dari Prancis melalui proklamasi dalam bahasa Latin, “Habemus Papam,” yang berarti “Kita memiliki seorang Paus.”
Dalam pidato pelantikannya di hadapan umat yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Prevost menyapa mereka dengan kalimat, “Damai beserta kamu.” Ia menjelaskan bahwa frasa tersebut adalah cerminan dari salam pertama Kristus yang bangkit, gembala yang baik yang telah menyerahkan diri-Nya bagi Allah. Ia menyampaikan harapannya bahwa pesan damai ini akan menyentuh hati setiap individu dan keluarga di seluruh dunia.
Makna di Balik Sebuah Nama
Meskipun agenda awal Paus Leo XIV belum sepenuhnya terungkap, pilihan namanya mengundang perhatian khusus. Matteo Bruni, juru bicara Vatikan, menjelaskan bahwa nama “Leo” merupakan referensi langsung kepada Paus Leo XIII, yang mencetuskan doktrin sosial baru di penghujung abad ke-19, menurut laporan Al Jazeera.
Pada tahun 1891, Paus Leo XIII menulis sebuah ensiklik—atau surat kepausan—yang dikenal dengan judul Rerum Novarum. Surat tersebut menyerukan kepada umat Katolik untuk mengatasi “kemelaratan” yang dihadapi oleh kelas pekerja, di tengah gejolak industrialisasi dan perubahan politik yang signifikan, seperti penyatuan Italia.
Ensiklik tersebut menandai pendekatan radikal yang segar terhadap isu-isu yang dihadapi para pekerja, dan memicu pendirian surat kabar Katolik, koperasi sosial, dan lembaga keuangan—sebuah gerakan sosial yang terus berkembang hingga saat ini.
Bruni menjelaskan bahwa pilihan nama Paus Leo XIV secara sengaja membangkitkan kenangan akan Paus Leo XIII, menghubungkan kepausan saat ini dengan era transformasi teknologi yang mendalam, terutama kemunculan kecerdasan buatan. Ini bukanlah sekadar referensi biasa, melainkan sebuah penghormatan yang disengaja kepada para pekerja dan buruh di era yang didorong oleh kecerdasan buatan saat ini.
Robert Orsi, seorang profesor studi agama di Northwestern University, berpendapat bahwa nama Leo XIV juga menyampaikan pesan historis yang lebih luas. Leo XIII secara tegas menentang “Amerikanisme,” sebuah gerakan nasionalistik dalam agama Katolik yang menekankan identitas nasional yang terpisah untuk gereja-gereja. Dengan memilih nama Leo XIV, paus yang baru ini tampaknya menekankan kembali pentingnya Katolik yang universal dan global, daripada kecenderungan nasionalistik.
Wartawan Philip Pullella menyoroti bahwa Paus Leo XIV menyebut umatnya di Peru, namun secara khusus menghindari penekanan pada hubungan dengan Amerika Serikat. Ia tidak mengidentifikasi dirinya sebagai “berasal dari Amerika” atau berbicara dalam bahasa Inggris, yang oleh Pullella diinterpretasikan sebagai indikasi yang jelas bahwa Paus tidak ingin mengidentifikasi dirinya dengan kepentingan AS. Sikap ini sejalan dengan kritik Leo XIV sebelumnya terhadap kebijakan mantan Presiden AS Donald Trump terkait nasionalisme dan migrasi, yang serupa dengan pandangan mendiang Paus Fransiskus.
Terlepas dari potensi ketegangan ini, Orsi memperkirakan bahwa Vatikan di bawah kepemimpinan Paus Leo XIV akan mengadopsi pendekatan yang halus dan penuh pertimbangan dalam berinteraksi dengan Trump dan isu-isu politik terkait di tahun-tahun mendatang.
Mengapa Pemilihan Nama Begitu Penting?
Nama yang dipilih oleh seorang Paus mengandung makna historis, spiritual, dan simbolis yang mendalam. Nama tersebut mencerminkan visi, prioritas, dan nada yang ingin ia sampaikan selama masa kepausannya, baik di dalam Gereja maupun di panggung global.
Setelah konklaf para kardinal memilih paus baru dan ia menerima jabatan tersebut, Gereja mengumumkan “Habemus Papam”—frasa Latin yang berarti “Kita memiliki seorang Paus.” Pada saat itu, paus yang baru mengadopsi nama kepausan, yang berbeda dari nama kelahirannya (misalnya, Paus Fransiskus lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio). Tidak ada aturan formal yang mengatur pemilihan nama ini; semuanya tergantung pada kebijaksanaan paus terpilih.
Bagaimana Tradisi dan Tren Nama-nama Kepausan?
Selama hampir satu milenium, para paus baru secara tradisional memilih nama-nama untuk menghormati para Santo Katolik. Namun, mereka juga dapat memilih nama untuk menghormati paus-paus sebelumnya, menggabungkan nama-nama orang suci atau pendahulu mereka, atau, dalam kasus yang jarang terjadi, menciptakan nama regnal baru—sebuah praktik yang hanya terjadi dua kali dalam lebih dari 1.100 tahun.
Secara historis, nama Yohanes telah menjadi nama kepausan yang paling populer, dipilih oleh 21 paus sebagai penghormatan kepada Yohanes Penginjil. Meskipun tradisi mengaitkan Yohanes dengan Injil dan Kitab Wahyu, para ahli memperdebatkan keaslian penulisannya. Nama-nama lain yang sering dipilih termasuk Gregorius dan Benediktus.
Hal yang menarik adalah tidak ada paus yang pernah menggunakan nama Petrus II, sebagai bentuk penghormatan yang mendalam kepada Santo Petrus, paus pertama.
Pilihan Editor: Para Pemimpin Eropa Menyambut Paus Leo XIV, Mengharapkan Perdamaian