Ragamutama.com, MALANG — Terjadi penurunan dalam jumlah kunjungan wisatawan ke Jawa Timur (Jatim) jika dibandingkan tahun sebelumnya. Data menunjukkan, pada kuartal I tahun 2024, Jatim menerima 63.765 wisatawan, sementara pada kuartal I tahun 2025, angka tersebut turun menjadi 56.971 wisatawan. Penurunan ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk indikasi adanya titik jenuh pada destinasi wisata yang ditawarkan.
Joko Budi Santoso, seorang ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, berpendapat bahwa penurunan ini bukan hanya fenomena yang terjadi di Jatim. Ia menjelaskan bahwa kunjungan wisatawan ke Jawa secara keseluruhan, termasuk Jawa Timur, pada kuartal I tahun 2025 mengalami penurunan yang disebabkan oleh beberapa faktor utama.
“Di awal tahun 2025, implementasi kebijakan efisiensi [anggaran] oleh pemerintah memiliki dampak signifikan pada penyesuaian perjalanan dinas serta penyelenggaraan berbagai kegiatan di daerah-daerah seperti Kota Batu, Kota Malang, dan Surabaya. Hal ini secara langsung memengaruhi mobilitas orang ke berbagai destinasi wisata,” jelasnya pada hari Senin, 5 Mei 2025.
: Ekspor Jatim Tembus US$2,09 Miliar pada Februari 2025
Lebih lanjut, Joko Budi Santoso menambahkan bahwa promosi wisata yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga mengalami pembatasan akibat kebijakan efisiensi anggaran tersebut.
Faktor lainnya adalah, sektor pariwisata di Jawa tampaknya sedang mengalami semacam titik jenuh, yang disebabkan oleh kurangnya eksposur terhadap spot-spot baru atau Daerah Tujuan Wisata (DTW) baru yang sedang populer. Di samping itu, biaya perjalanan juga mengalami peningkatan akibat kenaikan harga tiket pesawat, tarif masuk destinasi wisata, serta biaya akomodasi.
: : Realisasi Transfer ke Daerah di Jatim Tembus Rp19 Triliun
Meskipun pemerintah sempat menerapkan kebijakan penurunan tarif tiket pesawat untuk periode mudik Lebaran 2025, menurutnya, hal ini tidak memberikan dampak signifikan. Antusiasme masyarakat untuk mudik menurun karena banyak orang tua yang telah meninggal dunia di kampung halaman, dan periode mudik berdekatan dengan musim liburan Natal dan Tahun Baru. Selain itu, ada beberapa isu negatif yang mencuat terkait destinasi wisata unggulan, seperti Bromo.
Joko juga menyoroti faktor lain, yaitu semakin terjangkaunya perjalanan wisata ke luar negeri, seperti ke Singapura dan Malaysia. Harga tiket pesawat yang lebih kompetitif dibandingkan dengan perjalanan domestik, serta trend health tourism yang terus meningkat ke kedua negara tersebut, berdampak pada penurunan kunjungan wisatawan ke Jatim.
Menurut datanya, jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Malaysia pada tahun 2024 mencapai 4,1 juta, meningkat dari 3,2 juta pada tahun sebelumnya. Sementara itu, jumlah wisatawan Indonesia ke Singapura mencapai 2,49 juta, juga meningkat dibandingkan dengan 2,3 juta pada tahun 2023.
“Dalam konteks ini, pemerintah perlu berupaya meningkatkan connecting flight, serta menjalin sinergi dengan berbagai pihak untuk mempermudah aksesibilitas dan konektivitas dari bandara, stasiun, maupun terminal menuju destinasi wisata,” ungkapnya.
Ia menyarankan agar pemerintah pusat mempertimbangkan pemberian insentif fiskal sebagai upaya untuk mendorong tarif pesawat agar lebih kompetitif. Selain itu, inovasi dalam promosi wisata juga harus terus dilakukan melalui media sosial dan dengan menggandeng para influencer berpengaruh.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur, Dwi Cahyono, juga memberikan penegasan bahwa penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke Jatim terutama disebabkan oleh kebijakan efisiensi yang diterapkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Awalnya, kebijakan ini diharapkan dapat dilokalisasi dampaknya. Tujuannya adalah agar kebijakan tersebut hanya berdampak pada pasar dari pemerintah dalam bentuk Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE).
Namun, menurutnya, kenyataannya kebijakan tersebut berdampak lebih luas. Hal yang selama ini kurang dipahami adalah bahwa aktivitas swasta sangat bergantung pada kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
“Artinya, swasta ikut mendompleng. Contohnya, ketika ada kegiatan Apeksi, maka swasta juga ikut menggelar kegiatan yang berdampak pada keramaian dan kunjungan wisatawan,” jelasnya.
Dengan tidak adanya kegiatan pemerintah, maka sektor swasta juga tidak banyak menggelar kegiatan, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan tingkat kunjungan wisatawan.
Situasi semakin diperparah dengan adanya kebijakan populis dari beberapa kepala daerah yang melarang kegiatan wisata bagi siswa.
“Contohnya, larangan wisata yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat, itu jelas berdampak bagi Jatim karena tujuan wisata siswa dari sana kebanyakan adalah ke Jatim. Selain Jawa Barat, Jatim juga banyak dikunjungi oleh siswa dari DKI Jakarta,” tambahnya.
Dengan kondisi seperti ini, kinerja hotel mengalami penurunan signifikan setelah pandemi Covid-19. Tingkat hunian tidak pernah mencapai angka 25% setelah pandemi.
“Di sisi lain, kami diminta oleh pemerintah daerah untuk tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebagai solusi, kami terpaksa menerapkan sistem penggiliran jam kerja karyawan,” ujarnya.
Padahal, pajak yang dibayarkan dari kegiatan industri pariwisata seharusnya juga dikembalikan ke industri tersebut agar dapat terus berkembang.
“Jika sektor ini ingin kembali pulih, maka kuncinya adalah relaksasi anggaran. Kebijakan efisiensi perlu dilonggarkan agar sektor pariwisata bisa kembali bergerak,” pungkasnya. (K24)