Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengkhawatirkan adanya 17 dugaan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan yang berpotensi terjadi dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang direncanakan pada tahun 2025. Sebaran kasus yang terdeteksi di 10 provinsi ini menjadi sorotan utama BPOM dalam upaya menjaga keamanan pangan.
Keterangan ini disampaikan oleh Kepala BPOM, Taruna Ikrar, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada hari Rabu, 14 Mei lalu.
“Data yang kami himpun menunjukkan adanya potensi 17 kejadian luar biasa keracunan pangan yang terkait dengan implementasi MBG di 10 provinsi. Ini menjadi perhatian serius kami,” ungkap Taruna dalam rapat tersebut.
Meskipun demikian, Taruna tidak memberikan rincian lokasi spesifik terjadinya dugaan KLB tersebut. Namun, ia menyebutkan bahwa kasus keracunan terbaru terjadi di wilayah Bogor, Jawa Barat.
Taruna menjelaskan bahwa sumber kontaminasi umumnya berasal dari kualitas bahan mentah, kondisi lingkungan tempat pengolahan makanan, serta ketidaktepatan dalam proses pendistribusian makanan.
“Dalam konteks ini, kami menemukan bahwa kontaminasi awal pangan berasal dari bahan mentah yang kurang berkualitas serta lingkungan pengelola dan penjamin yang tidak memenuhi standar. Pengalaman ini menjadi pembelajaran penting agar kejadian serupa tidak terulang,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa beberapa kasus terjadi akibat proses memasak yang terlalu cepat dan distribusi yang terlambat, kondisi yang memungkinkan pertumbuhan bakteri berbahaya.
“Sebagai contoh, beberapa jenis makanan dimasak terlalu terburu-buru, kemudian distribusinya tertunda, sehingga memicu timbulnya kejadian luar biasa atau poisoning yang merugikan kesehatan anak-anak,” tutur Taruna.
Selain itu, Taruna juga menekankan pentingnya perbaikan sanitasi dapur sebagai faktor krusial untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
“Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah kegagalan dalam pengendalian keamanan pangan yang berkaitan erat dengan sanitasi air yang buruk. Kami perlu menjelaskan hal ini karena sebagian besar dapur perlu dievaluasi dan diperbaiki secara menyeluruh,” jelasnya lebih lanjut.
Dalam presentasinya, Taruna menekankan perlunya evaluasi parameter uji pangan dan penerapan standar Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) secara optimal.
“Parameter uji yang kurang spesifik juga menjadi perhatian kami dan akan kami sampaikan kepada Badan Gizi agar menjadi prioritas. Penerapan CPPOB yang belum optimal juga menjadi masalah. Artinya, kondisi dapur atau cara pembuatan pangan menurut evaluasi kami masih belum memenuhi standar yang ditetapkan,” tegasnya.
Sebagai langkah antisipasi, BPOM telah mengambil berbagai langkah penguatan, termasuk penandatanganan MoU dengan Badan Gizi Nasional (BGN) dan memberikan pembekalan kepada ribuan tenaga penggerak pembangunan gizi.
“BPOM turut berpartisipasi aktif dalam mempersiapkan tenaga ahli tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2024-2025, telah dibentuk 750 narasumber, termasuk dari BPOM, dan telah dilaksanakan 24 pembekalan SPPI. Total dukungan yang telah kami berikan mencapai 2.000 orang SPPI,” jelas Taruna.
Taruna menegaskan komitmen penuh BPOM untuk terus memperkuat kolaborasi lintas lembaga dalam rangka memastikan kualitas dan keamanan pangan dalam program MBG.
Sebelumnya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, memberikan penjelasan mengenai kasus keracunan yang menimpa siswa penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Bosowa Bina Insani, Bogor, Jawa Barat. Dinas Kesehatan Kota Bogor telah menetapkan kasus ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Dadan mengungkapkan bahwa hasil uji laboratorium menunjukkan adanya kontaminasi bakteri Salmonella dan E. coli pada air, serta pada bahan baku seperti telur dan sayuran.
“Saya juga sudah berdiskusi dengan para korban, dan tidak ada hal yang mencurigakan dalam proses konsumsi makanan tersebut. Mereka menikmati makanan tersebut dengan lahap,” imbuhnya.
Dadan menyebutkan bahwa kejadian ini menjadi peringatan penting bagi BGN. Ia menyatakan keprihatinannya atas kejadian tersebut.
“Saya sangat prihatin dengan kejadian ini karena Badan Gizi menargetkan nol kejadian serupa. Kami juga mendorong agar sekolah lebih aktif dalam penyelenggaraan program makan bergizi ini,” tuturnya dengan nada prihatin.
Sebagai tindak lanjut, BGN mengambil sejumlah langkah korektif yang diperlukan. “Kami akan lebih selektif dalam pemilihan bahan baku, memperpendek waktu pengolahan dan pengiriman makanan, serta memperketat rentang waktu antara pengiriman dan konsumsi,” pungkasnya.