Jakarta – Pemerintahan Prabowo Subianto diperkirakan akan terus mengandalkan utang untuk menutupi defisit anggaran. Prediksi ini disampaikan oleh ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 yang masih mempertahankan sasaran defisit anggaran yang lebar.
“Ketika belanja negara lebih besar dari pendapatan, defisit anggaran tak terhindarkan. Solusinya? Pembiayaan, yang sayangnya, masih akan sangat bergantung pada utang,” jelas Awalil dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 30 Mei 2025.
Dalam KEM-PPKF, pemerintah menetapkan target defisit 2026 pada kisaran 2,48 hingga 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Proyeksi jangka menengah untuk 2027-2029 juga tidak jauh berbeda, dengan batas bawah rata-rata 2,35 persen dan batas atas 2,44 persen dari PDB.
Menurut Awalil, target ini hampir menyamai era awal pemerintahan Joko Widodo (2015-2019) yang mencatatkan rata-rata defisit 2,32 persen. “Artinya, strategi pengelolaan defisit di era Jokowi kemungkinan besar akan dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo,” imbuhnya. Sebagai konteks, pada periode 2005–2014, rata-rata rasio defisit hanya sebesar 1,19 persen.
Lebih lanjut, Awalil mengungkapkan bahwa kebutuhan utang pemerintahan Prabowo tidak hanya sebatas menutupi defisit. Dana pinjaman juga diperlukan untuk membayar pokok utang yang jatuh tempo, menciptakan siklus di mana defisit hanya bisa ditambal dengan utang baru.
Selain itu, pemerintah tampaknya masih berencana untuk menambah pengeluaran di luar belanja rutin. Ini termasuk investasi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investasi ke badan usaha lainnya, serta pemberian pinjaman kepada pemerintah daerah dan BUMN.
Akibatnya, pembiayaan utang seringkali melebihi angka defisit anggaran. Sebagai ilustrasi, APBN 2025 merencanakan defisit sebesar Rp 616,19 triliun, tetapi pembiayaan utang justru mencapai Rp 775,87 triliun. Perlu dipahami bahwa pembiayaan utang adalah selisih antara penarikan utang baru dan pembayaran pokok utang lama.
Sayangnya, Awalil menyoroti bahwa tabel postur makro fiskal KEM-PPKF hanya menyajikan rasio pembiayaan anggaran, bukan rasio pembiayaan utang. Angka pembiayaan utang hanya dinarasikan tanpa menyebutkan besaran yang jelas. “Namun, berdasarkan data satu dekade terakhir, pembiayaan utang diperkirakan akan tetap lebih besar dari defisit anggaran,” tegasnya.
Implikasinya, posisi utang pemerintah dipastikan akan terus bertambah hingga 2029. Meskipun demikian, pemerintah berjanji untuk menjaga rasio utang terhadap PDB pada level tertentu.
Target rasio utang pemerintah pada periode 2026-2029 adalah sebagai berikut: batas bawah 39,69 persen (2026), 39,43 persen (2027), 39,05 persen (2028), dan 38,55 persen (2029). Sementara batas atasnya adalah 39,85 persen (2026), 39,62 persen (2027), 39,29 persen (2028), dan 38,64 persen (2029).
Awalil berpendapat bahwa pemerintah berupaya keras agar rasio utang tidak melampaui “batas psikologis” 40 persen. Pada era Jokowi, batas psikologis ini adalah 30 persen, yang kerap kali disebut dalam dokumen kebijakan. Namun, batasan ini akhirnya terlampaui pada tahun 2018 dan 2029, masing-masing mencapai 30,31 persen dan 30,23 persen.
Pada tahun 2024, realisasi rasio utang mencapai 39,75 persen. Target APBN 2025 adalah menurunkannya menjadi 39,43 persen. Namun, dengan melihat realisasi hingga April dan ambisi program-program baru yang membutuhkan biaya besar, Awalil memperkirakan rasio utang berpotensi menembus angka 40 persen pada akhir 2025.
Sebagai perbandingan, di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rasio utang berhasil dikurangi sebesar 31,92 persen poin, dari 56,60 persen pada 2004 menjadi 24,68 persen pada 2014. Sebaliknya, era Joko Widodo mencatatkan peningkatan 15,07 persen poin, dari 24,68 persen pada 2014 menjadi 39,75 persen pada 2024.