Kontroversi Izin Tambang PT Gag Nikel di Raja Ampat: Antara Perlindungan Lingkungan dan Klaim Pemerintah
Keputusan pemerintah untuk tidak mencabut izin operasi PT Gag Nikel di Raja Ampat telah mencuatkan gelombang kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan pegiat lingkungan. Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, secara lugas menyatakan kekhawatirannya, menilai langkah ini sebagai preseden buruk yang mengancam perlindungan pulau-pulau kecil dari aktivitas pertambangan.
Menurut Fahmy, keberadaan PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, secara terang-terangan melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Regulasi tersebut dengan jelas melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 km², sementara Pulau Gag sendiri hanya memiliki luas sekitar 60 km². “Aktivitas PT Gag jelas melanggar undang-undang,” tegas Fahmy dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 12 Juni 2025.
Tak hanya itu, Fahmy juga menyoroti aspek diskriminasi dalam keputusan pemerintah. Ia membandingkan nasib PT Gag Nikel dengan empat perusahaan tambang lain yang izinnya dicabut karena dinilai melanggar kaidah lingkungan hidup. Padahal, menurut Fahmy, aktivitas pertambangan di Pulau Gag juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem setempat. “Ini akan menjadi batu kerikil dalam sepatu Prabowo,” ujarnya, mengisyaratkan potensi masalah politik di masa depan.
Senada dengan Fahmy, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, turut menyuarakan keprihatinannya. Ia menekankan bahwa Pulau Gag adalah komponen krusial dari keanekaragaman hayati Raja Ampat yang mendunia. “Jika satu bagian rusak, cepat atau lambat akan berdampak pada keseluruhan ekosistem,” kata Kiki kepada Tempo, Selasa, 11 Juni 2025, menyoroti efek domino yang mungkin terjadi.
Tim Greenpeace di lapangan menemukan bukti nyata deforestasi besar-besaran di Pulau Gag. Pembukaan hutan akibat aktivitas pertambangan menyebabkan sedimen dan material tanah mudah tergerus air hujan, yang kemudian mengalir ke laut dan mencemari ekosistem terumbu karang yang rapuh di sekitarnya.
Selain itu, Kiki Taufik juga menyoroti potensi kerusakan lingkungan laut akibat pengangkutan hasil tambang. Tongkang-tongkang berukuran besar yang digunakan untuk mengangkut material dari Pulau Gag menuju Indonesia Weda Industrial Park di Maluku Utara, menurut Kiki, secara langsung dapat merusak terumbu karang yang dilewatinya. “Tidak cukup hanya meninjau satu hari, pengamatan harus dilakukan menyeluruh, terutama saat musim hujan,” sarannya, menyerukan pengawasan yang lebih komprehensif.
Menanggapi gelombang kritik ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya telah berjanji akan memperketat pengawasan terhadap operasional PT Gag Nikel. PT Gag Nikel, yang merupakan anak perusahaan PT Antam, kini menjadi satu-satunya pemegang izin tambang di wilayah Raja Ampat setelah pemerintah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik perusahaan lain, yaitu PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham.
“Sekalipun izin PT Gag tidak ikut dicabut, atas perintah Presiden, kami akan melakukan pengawasan khusus terhadap pelaksanaannya,” tegas Bahlil dalam konferensi pers yang disiarkan langsung dari Istana Negara, Selasa, 10 Juni 2025, menunjukkan komitmen pemerintah untuk memantau ketat.
Bahlil juga memastikan bahwa evaluasi analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) di Pulau Gag akan diperketat secara signifikan. Ia menekankan pentingnya proses reklamasi yang ketat dan memastikan tidak ada kerusakan terhadap terumbu karang. “Jadi kami akan mengawasi ketat segala kegiatan pertambangan PT Gag di Raja Ampat,” imbuhnya, menggarisbawahi prioritas perlindungan lingkungan.
Sebelumnya, Bahlil telah memberikan penjelasan mengapa izin PT Gag Nikel tidak dicabut. Keputusan tersebut didasari oleh pertimbangan aspek legal, historis, serta hasil verifikasi lapangan. Ia menjelaskan bahwa PT Gag Nikel memiliki status hukum yang berbeda sebagai pemegang kontrak karya yang telah berlaku sejak tahun 1998, bahkan eksplorasi awalnya telah dimulai sejak tahun 1972.
Alasan lain adalah, hanya PT Gag Nikel yang mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tahun 2025, sementara empat perusahaan lain tidak melakukannya. Lebih lanjut, Bahlil mengklaim bahwa keberadaan PT Gag Nikel tidak menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem laut di Raja Ampat.
Menurut Bahlil, Pulau Gag yang menjadi lokasi pertambangan tidak termasuk dalam kawasan konservasi. “Pulau Gag itu juga tidak berada di dalam kawasan Geopark Raja Ampat,” ujar Ketua Umum Partai Golkar ini, seraya menambahkan bahwa letaknya sekitar 42 km dari Piaynemo, pusat wisata utama di Raja Ampat, dan secara geografis justru lebih dekat ke Maluku Utara.