Eskalasi Konflik Memanas: Kronologi Serangan Donald Trump ke Fasilitas Nuklir Iran
Ragamutama.com, Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, telah memicu ketegangan global dengan melancarkan serangan bom masif terhadap tiga lokasi yang diklaim sebagai fasilitas nuklir di Iran. Melalui platform Truth Social, Donald Trump mengonfirmasi bahwa serangan yang terjadi pada Sabtu malam, 21 Juni 2025, ini berhasil “menghancurkan” fasilitas penting Iran di Fordow, Isfahan, dan Natanz. Aksi militer ini sontak memperparah eskalasi konflik yang sudah memanas antara Israel dan Iran.
Dalam pernyataannya, Trump secara tegas mengancam akan melancarkan lebih banyak serangan untuk melumpuhkan kapasitas pengayaan nuklir Iran apabila Teheran “tidak berdamai”. Di sisi lain, Iran mengakui adanya serangan tersebut dan menyatakan bahwa personel mereka yang bekerja di lokasi-lokasi nuklir itu telah berhasil dievakuasi sebelum serangan terjadi, menunjukkan adanya persiapan dini menghadapi kemungkinan terburuk.
Serangan gencar Amerika Serikat ini terjadi lebih dari sepekan setelah Israel secara mendadak melancarkan serangan terhadap Iran, yang kemudian dibalas Teheran dengan serangan rudal yang masif. Aksi saling serang yang dramatis ini telah mengakibatkan ratusan korban jiwa dan luka-luka di kedua belah pihak. Lantas, apa sebenarnya motif di balik keputusan Donald Trump untuk menyerang fasilitas nuklir di Iran?
Mengungkap Alasan Serangan Donald Trump ke Iran
Melansir laporan dari *Hindustan Times*, keputusan Trump ini diambil setelah serangkaian upaya diplomatik yang gagal. Saat menghadiri pertemuan puncak G7 di Kanada, Trump sempat berkoordinasi dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoan untuk menjembatani pembicaraan potensial antara pejabat AS dan Iran di Istanbul. Ia bahkan menunjukkan keseriusannya dengan bersiap mengirim Wakil Presiden J.D. Vance dan utusan Gedung Putih Steve Witkoff, atau bahkan menghadiri langsung pembicaraan krusial tersebut.
Namun, harapan akan terobosan diplomatik itu sirna. Pertemuan yang direncanakan gagal terwujud karena Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, tidak dapat dihubungi. Lebih jauh lagi, serangkaian serangan udara yang dilancarkan Israel di wilayah tersebut membuat perjalanan para pejabat Iran menjadi terlalu berbahaya untuk dilakukan, secara efektif menggagalkan setiap prospek negosiasi.
Seiring berjalannya minggu, Trump menyadari bahwa pintu diplomasi telah tertutup. Ia kemudian memberikan perintah langsung kepada Pentagon untuk memfinalisasi rencana serangan. Pada hari Jumat, setelah sempat menyarankan penundaan, Trump akhirnya memberi lampu hijau kepada Menteri Pertahanan Pete Hegseth untuk meluncurkan pesawat pengebom.
Kelompok penyerang, yang terdiri dari pesawat-pesawat pengebom strategis, terbang dari Missouri menuju Iran, dengan beberapa pesawat bertindak sebagai umpan untuk mengalihkan perhatian. Donald Trump memberikan persetujuan terakhirnya dari klub golfnya di New Jersey, tepat saat para pengebom mencapai “titik tak bisa kembali”. Setelah itu, ia segera kembali ke Washington untuk memantau operasi dari Ruang Situasi, merasa semakin yakin karena laporan media masih menggambarkannya sebagai sosok yang belum memutuskan.
Serangan ini terkoordinasi secara erat dengan Israel, yang sebelumnya telah menerima “lampu hijau” dari Trump untuk melancarkan serangannya sendiri terhadap situs nuklir Iran. Meskipun secara terbuka Amerika Serikat menjauhkan diri dari operasi militer Israel, di balik layar, kedua negara bekerja sama secara intensif untuk melemahkan kemampuan nuklir Iran. Washington menegaskan bahwa serangan ini hanya terbatas pada program nuklir Iran dan tidak bertujuan untuk mengganti rezim, sambil mendesak Teheran untuk kembali ke meja negosiasi diplomatik pasca-serangan.
Di tengah persiapan serangan, laporan *NBC News* yang dikutip *News.com.au* mengungkapkan adanya ancaman serius dari Iran. Teheran disebut-sebut mengancam akan mengaktifkan jaringan sel tidur untuk melancarkan serangan teror di wilayah Amerika jika Trump melancarkan serangan terhadap situs nuklir mereka. Ancaman ini kabarnya disampaikan kepada Trump melalui jalur diplomatik tidak langsung, hanya beberapa hari sebelum serangan udara terjadi.
Informasi tentang ancaman tersebut muncul di tengah berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Kanada, di mana Trump sempat bertemu dengan sejumlah pemimpin dunia. Laporan menyebutkan bahwa Presiden AS itu mendadak membatalkan pertemuan dengan beberapa pemimpin penting, termasuk Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, sebuah langkah yang diduga kuat berkaitan dengan meningkatnya ketegangan dengan Iran.
Secara rinci, serangan terhadap fasilitas Fordow dilakukan menggunakan enam bom penghancur bunker yang dijatuhkan oleh pesawat pembom siluman B-2. Sementara itu, fasilitas Natanz dan Isfahan dihantam dengan 30 rudal jelajah Tomahawk yang diluncurkan dari kapal selam. Presisi dan skala serangan ini menunjukkan tingkat perencanaan militer yang tinggi.
Aksi militer ini menandai eskalasi signifikan dalam konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat, yang telah berlangsung sejak 13 Juni. Serangan-serangan tersebut memicu respons keras dari Iran, yang membalas dengan peluncuran rudal ke wilayah Israel. Menurut data dari otoritas Israel, serangan balasan dari Iran menyebabkan sedikitnya 25 korban jiwa dan ratusan orang terluka. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan Iran melaporkan bahwa serangan Israel telah menewaskan lebih dari 430 warga Iran dan melukai sekitar 3.500 orang, menggambarkan dampak kemanusiaan yang mengerikan dari konflik ini.
Klaim Amerika Serikat untuk Perdamaian
Melansir laporan dari *Antara* dan *Axios*, Donald Trump mengklaim tidak ingin melanjutkan serangan terhadap Iran dan berniat mengupayakan kesepakatan damai dengan Teheran setelah serangan terhadap fasilitas nuklir Iran. Seorang pejabat Amerika yang dikutip *Axios* pada Minggu, menyatakan bahwa Trump segera menghubungi kepala otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, sesaat setelah serangan, memberitahukan hasilnya, dan menegaskan bahwa tujuan berikutnya adalah mengejar kesepakatan damai dengan Iran.
“Presiden tidak ingin melanjutkan serangan. Ia siap jika Iran melakukan serangan balasan, tetapi ia sudah menyampaikan kepada Netanyahu bahwa ia menginginkan perdamaian,” kata pejabat tersebut, menggarisbawahi niat Trump. Seorang pejabat Israel juga mengonfirmasi sikap tersebut, menyatakan, “Amerika sudah menyampaikan dengan jelas bahwa mereka ingin mengakhiri putaran ini. Mereka tidak keberatan jika kami melanjutkan serangan, tapi untuk mereka, sudah cukup.” Pernyataan ini menunjukkan keinginan kedua belah pihak untuk meredakan ketegangan, setidaknya untuk saat ini.
Artikel ini dikontribusikan oleh Ida Rosdalina dan Sita Planasari.