Pasar Kripto Bergejolak: Inflasi AS dan Kebijakan Tarif Trump Bayangi Prospek Bitcoin
Dinamika pasar kripto kembali diuji oleh serangkaian faktor makroekonomi yang kompleks. Setelah rilis data inflasi konsumen (CPI) Amerika Serikat (AS) untuk Mei 2025 yang menunjukkan kenaikan 0,1% secara bulanan, kekhawatiran pelaku pasar semakin diperparah oleh pernyataan tegas Presiden AS Donald Trump terkait rencana kenaikan tarif.
Laporan inflasi AS mencatat angka 2,4% secara tahunan, dengan inflasi inti—yang tidak memasukkan komponen makanan dan energi—berada di level 2,8%. Meskipun angka-angka ini menunjukkan tekanan yang relatif terkendali saat ini, Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menggarisbawahi bahwa potensi lonjakan inflasi patut diwaspadai dalam beberapa bulan mendatang.
Potensi lonjakan inflasi tersebut, menurut Fahmi, akan semakin terasa seiring berlakunya kebijakan tarif impor baru yang diusung oleh pemerintahan Trump. Ia menjelaskan, “Dampak tarif saat ini belum sepenuhnya terasa karena banyak peritel masih menjual stok lama sebelum tarif diberlakukan.” Meski demikian, tekanan terhadap perusahaan-perusahaan besar untuk menahan laju kenaikan harga sedang digalakkan oleh pemerintah AS. Para ekonom pun memperkirakan bahwa efek dari kebijakan tarif ini akan terjadi secara bertahap namun signifikan, berpotensi mendorong laju inflasi ke level yang lebih tinggi.
Ancaman dari kebijakan tarif baru ini menjadi sorotan utama yang berpotensi mengguncang stabilitas pasar. Presiden Trump kembali mempertegas niatnya untuk memberlakukan tarif unilateral terhadap mitra dagang utama AS dalam satu hingga dua pekan ke depan. Kebijakan ini dijadwalkan akan jatuh tempo pada 9 Juli 2025, yang merupakan batas waktu bagi puluhan negara untuk kembali menghadapi tarif tinggi. Fahmi Almuttaqin memperingatkan, “Hal ini dapat semakin menekan pasar.”
Meskipun demikian, ia juga menekankan ketidakpastian seputar konsistensi Trump dalam memenuhi jadwal yang diumumkannya, mengingat beberapa tenggat waktu sebelumnya kerap ditunda atau tidak direalisasikan. “Namun, ketidakpastian itu sendiri sudah cukup membebani pasar dan membatasi dampak positif dari sentimen yang ada,” tambahnya, menyoroti bagaimana situasi ini menghambat penguatan aset kripto. Kondisi ini, seperti dicatat Fahmi, menyebabkan penguatan harga aset kripto masih terbatas, meskipun inflasi menunjukkan tren yang relatif moderat. Data *real-time* dari Coinmarketcap pada Sabtu (14/6) pukul 12.11 WIB menunjukkan Bitcoin hanya menguat tipis 0,93% dalam 24 jam terakhir, mencapai US$105.372,77. Sementara itu, Ethereum menunjukkan kenaikan 1,62% ke level US$2.550,95.
Selain inflasi dan kebijakan tarif, fokus investor juga tertuju pada arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) yang akan dibahas dalam pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pekan depan. Konsensus pasar secara luas memperkirakan The Fed akan mempertahankan suku bunga acuannya, sambil menanti perkembangan data inflasi lebih lanjut. Fahmi Almuttaqin berpendapat, “Jika inflasi tetap terkendali, peluang penurunan suku bunga pada bulan September masih terbuka lebar.”
Namun, ia turut menyoroti dilema yang dihadapi The Fed: tekanan kuat dari Presiden Trump untuk segera memangkas suku bunga, di sisi lain, berbenturan dengan risiko inflasi yang berpotensi meningkat akibat efek tarif yang tertunda. Situasi ini bisa semakin rumit apabila negosiasi dagang antara AS dan Tiongkok tidak menghasilkan kesepakatan positif hingga bulan Agustus mendatang.
Di tengah carut-marut ketidakpastian yang menyelimuti pasar, Fahmi Almuttaqin menyarankan investor untuk tetap waspada namun menghindari reaksi berlebihan. Ia merekomendasikan pendekatan akumulasi secara bertahap, khususnya pada aset-aset kripto yang diyakini memiliki prospek cerah dalam jangka panjang. “Strategi *Dollar Cost Averaging* (DCA), yaitu membeli aset secara berkala dengan jumlah tetap, adalah pilihan yang rasional dan efektif untuk menavigasi volatilitas pasar saat ini,” pungkas Fahmi, memberikan panduan bagi para investor.