DEPOK — SMAN 10 Depok saat ini menampung 46 siswa per kelas, sebuah angka yang lebih rendah dari target awal 50 siswa sesuai dengan kebijakan program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) dari Gubernur Jawa Barat. Penurunan jumlah siswa ini terjadi karena keputusan sejumlah orang tua untuk menarik anak mereka sebelum tahun ajaran baru dimulai, memilih opsi pendidikan lain yang dianggap lebih sesuai.
Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMAN 10 Depok, Erwan, menjelaskan bahwa pada awalnya pihak sekolah mengajukan target 50 siswa per kelas, sesuai pedoman dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Namun, dalam proses pendataan dan penjaringan melalui program PAPS, SMAN 10 Depok hanya menerima pendaftar dari dua kategori program: Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM) dan domisili terdekat. Padahal, program PAPS sebetulnya mencakup empat kategori, yakni KETM, anak panti asuhan, domisili terdekat, dan korban bencana.
Erwan menambahkan bahwa data awal menunjukkan ada sekitar 120 siswa baru yang masuk dalam program ini. Akan tetapi, saat proses daftar ulang berlangsung, banyak orang tua yang memutuskan untuk mundur. Alasan utama mundurnya pendaftar adalah karena anak mereka diterima di sekolah lain. Selain itu, beberapa orang tua juga merasa khawatir jika jumlah siswa mencapai 50 per kelas, perhatian guru terhadap setiap siswa tidak akan maksimal, yang berpotensi memengaruhi kualitas pembelajaran.
Wakil Kepala Sekolah SMAN 10 Depok, Erwan. – (Republika/mg160)
Jumlah siswa yang banyak di dalam satu kelas turut menimbulkan tantangan tersendiri bagi para guru dalam proses belajar mengajar. Erwan mengakui sulitnya mengenali setiap siswa secara personal. “Ini 46 (siswa), dua kali ketemu ini belum hafal, mungkin harapannya mungkin setahun nanti hafal ya 46 anak,” katanya. Menurutnya, memanggil siswa dengan nama akan membuat mereka merasa lebih dihargai dan diperhatikan oleh guru.
Untuk mengatasi kepadatan, pihak sekolah juga melakukan penyesuaian pada kondisi ruang kelas. Awalnya, SMAN 10 Depok menggunakan meja dan kursi produksi lama yang membuat jarak antar bangku sangat sempit, bahkan ada siswa yang hanya berjarak 60 cm dari papan tulis. Namun, berkat pengadaan mebel baru dengan desain yang lebih efisien, kini jarak antara papan tulis dan barisan bangku terdepan sekitar 2 meter, memberikan ruang gerak yang lebih longgar.
Rasya Caesar Riza, siswa kelas X SMAN 10 Depok, mengaku sudah mengetahui kebijakan ini sebelum tahun ajaran baru. “Memang pas saya mengetahui kebijakan itu, saya langsung berpikir tuh, wah ini kelas bakal jadi lebih padat, lebih ramai, lebih akan susah diatur,” ujarnya. Meski demikian, ia menambahkan bahwa mayoritas siswa masih relatif dapat dikendalikan dan pembelajaran tetap kondusif. Namun, Rasya mengeluhkan fasilitas penunjang di kelasnya. “Saya ingin menyampaikan kalau maksimal itu sekitar 50 orang, itu harus ditunjangi dengan fasilitas yang lebih baik, misalkan seperti ditambahkan kipas angin yang lebih banyak karena memang di kelas saya sendiri untuk kipas anginnya walaupun ada satu, namun dalam kondisi mati,” keluhnya.
Siswa lain, Muhammad Parid Azmiansyah, tidak terlalu terkejut dengan kebijakan ini. Parid mengungkapkan bahwa ia adalah lulusan pesantren, di mana jumlah siswa di kelasnya saat SMP jauh lebih banyak. “Menurut saya nyaman-nyaman saja karena banyak teman juga kan enak,” katanya. Namun, ia menyadari bahwa bagi guru, kondisi ini bisa menjadi tantangan. “Sering berisik, tapi kalau lagi ada guru ya pada diam,” tutupnya.
Menyikapi pengalaman ini, Erwan berharap pelaksanaan program PAPS dapat terus diperbaiki agar jangkauannya lebih tepat sasaran. “Program ini diadakan sangat bagus dengan tujuannya yang sangat mulia, tinggal nanti ada perbaikan-perbaikan di berbagai macam sisi saja terkait dengan teknis supaya masyarakat juga bisa lebih tahu program tersebut ditujukannya kepada siapa,” pungkasnya.