Dunia di Ambang Ketidakpastian: Serangan AS ke Fasilitas Nuklir Iran, Potensi Perang Global dan Dampak Ekonomi ke Indonesia
Pada Sabtu malam, 21 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh serangan militer Amerika Serikat yang menargetkan tiga fasilitas nuklir utama Iran: Isfahan, Natanz, dan Fordow. Tindakan unilateral Washington ini segera memicu kekhawatiran global akan eskalasi konflik, dengan dampak berpotensi merembet hingga ke negara-negara seperti Indonesia.
Muhammad Syaroni Rofii, analis kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI), menyoroti bahwa serangan sepihak AS ini semakin menjerumuskan dunia ke dalam ketidakpastian mendalam. Menurut Syaroni, Iran selama ini memandang AS sebagai mediator utama dalam isu nuklir mereka. Namun, aksi unilateral tanpa restu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini secara fundamental telah merusak kredibilitas AS sebagai pemimpin global yang patut dipercaya.
Serangan tersebut, lanjut Syaroni, telah memancing reaksi keras dari Teheran. “Petinggi Iran sempat menyinggung akan menargetkan aset militer AS di kawasan, jika negara itu sampai ikut campur. Yang pasti Iran tidak akan tinggal diam,” ungkap Syaroni saat dihubungi di Jakarta pada Ahad, 22 Juni 2025, seperti dikutip dari *Antara*. Konsekuensi langsungnya adalah gejolak tak terhindarkan di kawasan Timur Tengah. “Sekutu AS di kawasan tentu berharap pendekatan diplomatik yang diutamakan. Namun dengan peristiwa ini, potensi eskalasi di berbagai titik menjadi sangat nyata,” jelasnya. Di tingkat global, insiden ini memicu kekhawatiran serius karena para aktor tampaknya kian mengabaikan hukum internasional dan konsensus. Dampak ekonomi menjadi yang paling terasa: harga minyak berpotensi meroket dan rantai pasok global terancam terganggu jika eskalasi terus berlanjut.
Peringatan lebih keras datang dari Ezza Habsyi, pengamat Timur Tengah dari Universitas Ibnu Chaldun. Ia menegaskan bahwa serangan AS ke Iran bukan sekadar eskalasi militer biasa, melainkan berpotensi menjadi “lonceng perang” yang dapat menyulut krisis regional menjadi konflik global. Bagi Iran, balasan militer kini bukan sekadar kemungkinan, melainkan sebuah keniscayaan politik. “Dalam doktrin strategisnya, serangan terhadap infrastruktur nuklir adalah deklarasi perang,” ujar Ezza ketika dikonfirmasi di Jakarta pada Senin, 23 Juni 2025.
Implikasinya mengerikan: pangkalan-pangkalan militer AS di Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Yordania kini seketika berubah menjadi sasaran potensial. Tak heran jika pasukan Iran telah bersiaga penuh di Selat Hormuz, jalur vital ekspor minyak dunia. Jika Selat Hormuz ditutup, konsekuensinya tak hanya membakar Tel Aviv, tetapi juga mengguncang seluruh pasar global dengan lonjakan harga energi, inflasi, dan kepanikan finansial yang meluas. Lebih jauh, Ezza mengingatkan tentang “arsitektur poros resistensi” – sebuah istilah yang digunakan banyak analis untuk menggambarkan jaringan kelompok yang siap menimbang dan merespons tekanan. Kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, milisi Syiah di Irak dan Suriah, hingga kelompok Houthi di Yaman, akan siap menjadi instrumen Teheran untuk menyerang kepentingan Amerika dan Israel di berbagai lini. Dengan keterlibatan langsung AS dalam serangan situs nuklir Iran, eskalasi besar-besaran di Timur Tengah nyaris terjamin. “Perang dunia bukan tidak mungkin, tetapi masih berada dalam kerangka skenario terburuk dan akan sangat bergantung pada langkah selanjutnya dari Rusia dan Tiongkok,” pungkas Ezza. Rantai eskalasi dapat menjalar dengan cepat jika konflik ini tidak segera diredam, terutama jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz dan melancarkan serangan balasan terhadap pangkalan-pangkalan Amerika.
Sementara itu, dampak serangan ini terhadap perekonomian Indonesia secara spesifik dianalisis oleh Thomas Ola Langoday, pengamat Ekonomi dari Universitas Widya Mandira. Menurutnya, konflik yang kini melibatkan AS ini akan sangat memengaruhi distribusi dan konsumsi di Tanah Air. Meskipun Indonesia tidak memiliki hubungan ekonomi langsung dengan Israel, keterkaitan dengan Iran dan mitra dagang kedua negara seperti AS, Jerman, serta negara-negara Arab, jelas akan terganggu.
Thomas menjelaskan, perang selalu mengganggu keamanan produksi. Manajemen rantai pasok barang dan jasa ke negara-negara yang berperang dan mitranya pasti terhambat, dan Indonesia adalah salah satu yang terdampak. Selain itu, keamanan distribusi juga terganggu; aktivitas impor dan ekspor barang dan jasa dengan negara-negara yang berkonflik dan mitranya akan terhambat parah. “Perang ini mengganggu banyak negara yang mempunyai hubungan dagang,” ujar mantan Wakil Bupati Lembata, Nusa Tenggara Timur itu. Dari sisi konsumsi, kebutuhan barang dan jasa seperti sektor pariwisata, pendidikan, kesehatan, dan jasa lainnya turut terganggu. Perang, kata Thomas, secara fundamental menghambat pertumbuhan ekonomi negara mana pun. “Hanya dua negara yang berperang tetapi dampak negatifnya bagi semua negara mitra. Tidak ada ekonomi yang tumbuh di masa perang. Karena perang hanya menghabiskan semua sumber daya,” tambahnya dengan tegas. Oleh karena itu, Thomas mengimbau pemerintah Indonesia untuk senantiasa memelihara manajemen rantai pasok yang selama ini telah berjalan baik. Selain itu, menjalankan politik luar negeri bebas aktif menjadi krusial. “Pemerintah Indonesia sebaiknya fokus saja mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, dan memacu daya beli masyarakat,” pungkasnya.
Artikel ini disadur dan disempurnakan dari laporan *Antara*.