Kontroversi Kebijakan Dedi Mulyadi: Pro-Kontra Aturan Masuk Sekolah Pukul 06.00 WIB di Jawa Barat
Wacana pemberlakuan kebijakan masuk sekolah pukul 06.00 WIB yang digagas oleh mantan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali mencuat dan menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Aturan ini, yang rencananya akan disatukan dengan regulasi jam malam bagi pelajar serta sistem pembelajaran Senin hingga Jumat, tertuang dalam surat edaran Gubernur Jabar Nomor 51/PA.03/Disdik. Meski Dedi Mulyadi mengklaim kebijakan ini pernah sukses ia terapkan saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta tanpa kendala berarti, publik, mulai dari organisasi masyarakat sipil, orang tua murid, hingga perkumpulan guru, ramai-ramai menyuarakan keberatannya.
Visi Dedi Mulyadi di Balik Aturan Pagi Hari
Politikus Partai Gerindra ini berpendapat bahwa aktivitas belajar yang dimulai pada pukul 06.00 pagi bertujuan mulia: menciptakan suasana kondusif bagi tumbuh kembang generasi muda. Secara spesifik, kebijakan ini diyakini mampu mendorong terwujudnya “Generasi Jawa Barat Gapura Panca Waluya.” Konsep ini mencakup nilai-nilai inti seperti “cageur” (sehat), “bageur” (berbudi pekerti), “bener” (berintegritas), “pinter” (berpengetahuan), dan “singer” (cekatan). Dedi berharap, para bupati dan wali kota di Jawa Barat akan sejalan dengan visinya ini.
Suara Orang Tua Murid: Antara Logistik dan Kesehatan
Namun, di lapangan, kebijakan masuk sekolah pukul 06.00 WIB ini disambut dengan kritik tajam dari para orang tua murid. Chyntia, ibu dari seorang siswa kelas 2 madrasah ibtidaiyah, secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya. Ia khawatir, aturan ini akan berdampak buruk pada kesehatan ibu, terutama bagi mereka yang juga bekerja dan tidak memiliki asisten rumah tangga. “Kebijakan ini tidak mendukung kesehatan mental dan fisik seorang ibu, bukan hanya ibu yang bekerja, tapi ibu yang *full* sebagai ibu rumah tangga juga,” keluhnya. Ia mempertanyakan efisiensi kebijakan tersebut, terutama terkait pengaturan waktu persiapan anak dan bolak-balik mengantar.
Senada dengan Chyntia, Santi, seorang pekerja lepas di Bandung, juga menganggap aturan jam masuk sekolah pukul 6 pagi kurang bijak. “Menata ulang jadwal-jadwal harian anak agak susah ya,” ujarnya. Ia membayangkan kerepotan yang akan dihadapi saat harus menyiapkan segala sesuatu lebih pagi dari biasanya, mulai dari memasak, menyiapkan sarapan, hingga bekal sekolah. “Belum kalau kami juga sama-sama kerja, kan repot,” tambah Santi, menggambarkan beban ganda yang harus dipikul orang tua.
Respons Parlemen: Kajian Mendalam Sebelum Kebijakan Diterapkan
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyatakan bahwa parlemen belum dapat mengambil sikap definitif terkait penerapan kebijakan masuk sekolah jam 6 pagi ini. Pihaknya berencana melakukan kajian mendalam untuk menimbang secara cermat dampak positif dan negatif yang mungkin timbul. Hetifah juga menyoroti fakta bahwa inisiatif serupa pernah diterapkan di Nusa Tenggara Timur tahun lalu, namun pada akhirnya dibatalkan.
Menurut Hetifah, jika kebijakan Dedi Mulyadi ini mendapatkan sambutan positif dari masyarakat dan dinilai lebih banyak manfaatnya, maka patut dipertimbangkan. Sebaliknya, apabila menimbulkan banyak pro-kontra, Hetifah menyarankan agar niat tersebut diurungkan. “Karena tidak akan berkelanjutan kalau suatu kebijakan tidak mendapatkan penerimaan dari semua pihak termasuk orang tua,” tegasnya, mengakui realitas banyak orang tua yang juga memiliki pekerjaan.
Protes dari Kalangan Pendidik: Beban Tambahan bagi Guru
Kritik terhadap kebijakan masuk sekolah dini juga datang dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menekankan perlunya kajian lebih lanjut sebelum aturan ini diimplementasikan. Ia menilai, ketiadaan kajian dan petunjuk teknis yang matang justru berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. “(Membuat kebijakan) tidak hanya berdasarkan *common sense* saja, harus berbasiskan kajian,” kata Iman.
Sebagai seorang guru, Iman menyoroti kesulitan yang akan dihadapi para tenaga pendidik. Guru membutuhkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan materi pembelajaran sebelum kelas dimulai. Selain itu, kondisi ini akan sangat merepotkan guru-guru yang berdomisili jauh dari sekolah dan mengandalkan transportasi umum, mempersulit mereka untuk datang tepat waktu.
Kesehatan Siswa: Potensi Gangguan Fisik dan Mental
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melalui Koordinator Nasionalnya, Ubaid Matraji, secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya. Menurut Ubaid, jika kebijakan ini dipaksakan, berpotensi serius mengganggu kesehatan fisik dan mental siswa. Ia menilai, kegiatan belajar mengajar yang dimulai pukul 6 pagi terlalu dini untuk pelajar, terutama karena mereka membutuhkan asupan gizi yang cukup sebagai energi untuk menerima pembelajaran.
“Tanpa asupan nutrisi yang cukup, konsentrasi dan fokus belajar anak pasti terganggu. Ini bisa berdampak negatif terhadap suasana hati dan kemampuan belajar mereka sepanjang hari,” jelas Ubaid. Ia menekankan bahwa persiapan asupan nutrisi yang memadai membutuhkan waktu yang tidak sedikit bagi pelajar, yang bisa terabaikan dengan jadwal masuk sekolah yang terlalu pagi.
Kontribusi penulisan artikel ini oleh Novali Panji, Ervana Trikanaputri, dan Antara.