Jakarta, RAGAMUTAMA.COM – Wall Street tengah dirundung kekhawatiran mendalam terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) anggaran Amerika Serikat (AS) yang memuat klausul pajak baru bagi para investor asing. Ketentuan yang tertuang dalam pasal 899 tersebut dipandang berpotensi mengurangi daya tarik investasi global terhadap aset-aset keuangan AS, seperti obligasi pemerintah dan mata uang dolar.
Para analis keuangan menggarisbawahi risiko terjadinya pergeseran signifikan dalam aliran modal global sebagai konsekuensi dari penerapan pajak progresif hingga mencapai 20 persen terhadap pendapatan pasif yang diterima oleh investor asing, mencakup dividen dan royalti. RUU ini telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kini menanti keputusan akhir dari Senat, sebuah situasi yang memicu keresahan di kalangan pelaku pasar keuangan.
Trump Media Siapkan Dana 2,5 Miliar Dolar AS untuk Bitcoin
Trump Media Siapkan Dana 2,5 Miliar Dolar AS untuk Bitcoin
1. Pajak baru mengancam daya pikat aset-aset AS
RUU yang tengah menjadi sorotan tersebut menetapkan pengenaan pajak hingga sebesar 20 persen bagi investor asing yang berasal dari negara-negara yang dianggap menerapkan kebijakan perpajakan yang tidak adil. Menurut perhitungan Congressional Budget Office, aturan ini berpotensi meningkatkan penerimaan negara hingga mencapai 116 miliar dolar AS (setara dengan Rp1,8 kuadriliun) dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang. Kendati demikian, dampak yang mungkin timbul terhadap stabilitas dan kinerja pasar keuangan AS menjadi perhatian utama.
George Saravelos, selaku kepala riset valuta asing di Deutsche Bank, menyampaikan pandangannya bahwa kebijakan ini berpotensi mengubah eskalasi konflik dagang menjadi konflik modal. “Kebijakan ini membuka peluang bagi Amerika Serikat untuk memulai perang modal,” tegasnya.
Pajak baru ini dikhawatirkan akan menekan permintaan terhadap surat utang negara (Treasuries) dan mata uang dolar AS. Michael Zezas dari Morgan Stanley memperkirakan bahwa investor dari negara-negara Uni Eropa, Inggris, India, Brasil, dan Australia dapat terkena dampak signifikan karena negara-negara tersebut dianggap menerapkan kebijakan diskriminatif oleh AS. Sampai saat ini, Gedung Putih belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait isu ini.
2. Implikasi pada pasar obligasi dan nilai tukar dolar AS
Kecemasan yang melanda pasar tercermin dari meningkatnya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS dengan tenor panjang. Yield obligasi dengan tenor 30 tahun mencapai angka 5,13 persen—level tertinggi sejak Oktober 2023—setelah lelang obligasi dengan tenor 20 tahun gagal menarik minat investor, sebagaimana dilansir oleh CNBC.
“Pasar obligasi memberikan sinyal negatif terhadap kebijakan fiskal yang tengah digodok ini,” ungkap Sam Stovall, kepala strategi investasi di CFRA Research, seperti dikutip dari CNN.
Ia menambahkan bahwa tingkat yield yang tinggi berpotensi meningkatkan biaya pinjaman secara luas di berbagai sektor. “Kami mengamati adanya tren percepatan aksi jual menjelang pemungutan suara di Senat,” ujar Naomi Fink dari Nikko Asset Management.
Trump Temui Powell di Gedung Putih Bahas Ekonomi
Trump Temui Powell di Gedung Putih Bahas Ekonomi
3. Ketidakpastian defisit dan respons pasar
RUU anggaran ini diperkirakan akan menambah beban utang federal sebesar 3,8 triliun dolar AS (atau setara dengan Rp61,9 kuadriliun) dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, sehingga meningkatkan total utang menjadi 36,2 triliun dolar AS (atau sekitar Rp589,6 kuadriliun). Kekhawatiran semakin meningkat setelah penurunan peringkat kredit AS oleh Moody’s pada tanggal 16 Mei 2025, yang menyoroti masalah defisit fiskal dan beban bunga yang tinggi.
Brian Nick dari NewEdge Wealth berpendapat bahwa pasar saat ini khawatir Senat akan mengurangi pemotongan anggaran dan justru meningkatkan stimulus.
“Jika defisit semakin membesar, yield berpotensi untuk tetap tinggi dalam jangka panjang,” jelas Nick.
Situasi ini berpotensi memicu volatilitas di pasar keuangan. Akan tetapi, Morgan Stanley melihat adanya peluang bagi sektor industri, komunikasi, dan energi karena adanya pemotongan pajak dalam RUU tersebut. Meskipun demikian, tanpa pertumbuhan ekonomi yang memadai, manfaat dari pemotongan pajak tersebut dapat tertutupi oleh lonjakan utang.
Elon Musk Mundur dari Pemerintahan Donald Trump, Ada Apa?
Elon Musk Mundur dari Pemerintahan Donald Trump, Ada Apa?