Wacana Ukuran Minimal Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Menuai Polemik: Antara Kemanusiaan dan Keterbatasan Lahan
Wacana pemerintah untuk memperkecil ukuran bangunan rumah tapak subsidi menjadi minimal 18 meter persegi menuai kritik tajam. Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menegaskan bahwa ukuran tersebut jauh dari standar kelayakan dan berpotensi mengancam aspek “housing caring” atau kesejahteraan penghuni. Menurutnya, luas bangunan minimal 30 meter persegi adalah ukuran paling manusiawi, jauh melampaui standar ruang gerak 9 meter persegi per orang yang sering dijadikan acuan.
“Tipe 18 meter persegi tidak memperhatikan aspek *housing caring*. Ini kurang manusiawi. Rumah bukan sekadar hitungan rasional luas, tapi juga ruang kehidupan yang harus menunjang kesejahteraan individu,” tegas Yayat ketika dihubungi Tempo pada Rabu, 18 Juni 2025. Aspek *housing caring* sendiri merujuk pada berbagai faktor dalam perumahan yang esensial untuk mempengaruhi kesejahteraan dan kualitas hidup penghuninya.
Yayat menilai, idealnya ukuran rumah subsidi dipatok minimal 36 meter persegi. Angka ini didasarkan pada asumsi bahwa satu rumah akan dihuni oleh keluarga dengan dua orang anak, sehingga memenuhi standar ruang gerak yang proporsional bagi setiap individu. Bahkan, untuk memenuhi standar *housing caring* yang lebih komprehensif, luas bangunan bisa diatur hingga 60 meter persegi. Luasan ini akan menyediakan ruang yang cukup untuk penyimpanan, pengembangan kamar baru, atau kebutuhan lain. “Ini akan menjadi lebih proporsional dan manusiawi,” tambahnya.
Polemik ini muncul seiring dengan rancangan aturan baru. Dalam aturan yang masih berlaku, yaitu Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023, luas tanah rumah tapak subsidi ditetapkan minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi, dengan luas bangunan minimal 21 meter persegi hingga 36 meter persegi. Namun, melalui draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Kepmen PKP) Nomor/KPTS/M/2025, terjadi pemangkasan signifikan, dengan luas tanah dikurangi menjadi minimal 25 meter persegi dan luas bangunan minimal 18 meter persegi.
Merespons draf tersebut, Yayat mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini secara menyeluruh. Alih-alih memaksakan aturan minimal 18 meter persegi dengan dalih keterbatasan lahan di perkotaan, ia menyarankan pemerintah untuk mengembangkan solusi hunian vertikal. Meskipun konsep rumah susun atau hunian vertikal mungkin masih terkendala kebiasaan masyarakat, Yayat menekankan pentingnya pemberian insentif yang menarik agar masyarakat tertarik dan beralih. “Ini jauh lebih manusiawi. Daripada menyiksa masyarakat dengan keterbatasan ruang, lebih baik diarahkan ke rumah susun,” ujarnya.
Di sisi lain, Menteri PKP Maruarar Sirait, atau akrab disapa Ara, menjelaskan bahwa rancangan aturan ukuran rumah subsidi minimal 18 meter persegi dirancang untuk mendorong pembangunan rumah subsidi di tengah tantangan keterbatasan lahan di perkotaan. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan lebih banyak pilihan rumah murah yang terjangkau bagi masyarakat. Namun, Ara mengklaim bahwa belum ada keputusan final terkait rancangan aturan baru tersebut. “Ini masih tahapan masukan, berupa draf. Kritik dan saran tentu sangat kami perkenankan,” kata Ara, Selasa, 17 Juni 2025.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, berpandangan bahwa rumah dengan luas 18 meter persegi masih memungkinkan untuk dibangun, terutama jika mengacu pada standar minimal ruang gerak 9 meter persegi per orang. Menurutnya, rumah dengan ukuran ini masih cocok untuk pasangan yang baru menikah atau keluarga tanpa anak. Meskipun demikian, Bambang menyarankan pemerintah agar penerapan aturan ukuran minimal 18 meter persegi ini diterapkan secara terbatas. “Misalnya, hanya boleh dibangun sampai radius 20 kilometer dari pusat kota. Selebihnya, tetap minimal 21 meter persegi,” pungkas Bambang kepada Tempo pada Selasa, 17 Juni 2025.