Gunung Rinjani, destinasi pendakian yang memukau di Indonesia, kerap menjadi magnet bagi para petualang. Namun, di balik keindahan alamnya yang luar biasa, tersembunyi pula risiko keselamatan yang tak bisa dianggap remeh. Terutama di beberapa titik jalur pendakian menuju puncak, jurang dalam di sisi selatan yang langsung mengarah ke kaldera menjadi ancaman serius bagi para pendaki.
Kecelakaan tragis yang menimpa Juliana Marins, seorang turis asal Brasil yang kehilangan nyawa setelah terjatuh ke jurang sedalam 600 meter, menjadi pengingat pahit akan bahaya ini. Insiden seperti ini kembali memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa tidak ada helikopter yang selalu siaga di kawasan Gunung Rinjani untuk keperluan penyelamatan, padahal keberadaannya dapat mempercepat respons tim SAR dan secara signifikan memperbesar peluang keselamatan korban?
Disyon Toba, pendiri merek perlengkapan outdoor ternama Consina, mengungkapkan bahwa gagasan pengadaan helikopter untuk misi penyelamatan dan penanganan kebakaran hutan di Gunung Rinjani sebenarnya sudah pernah diajukan. Usulan tersebut, yang dilontarkannya sekitar tahun 2020, bahkan telah mendapatkan dukungan dari seorang donatur yang bersedia menyumbangkan unit helikopter.
Menurut Disyon, helikopter yang dimaksud memiliki kemampuan terbang hingga ketinggian 7.000 meter dan sangat ideal untuk mengangkut alat evakuasi serta menjalankan misi penyelamatan di medan ekstrem seperti Rinjani. “Indonesia sudah ada helikopter yang bisa naik sampai ketinggian 5.000 meter, sebenarnya helikopter itu untuk Rinjani,” ujarnya.
Namun, ambisi mulia ini harus kandas di tengah jalan. Hambatan serius muncul, terutama terkait perizinan pembangunan titik pendaratan atau helipad. Ironisnya, helikopter sebetulnya tidak selalu memerlukan lahan khusus yang rumit; ia bisa mendarat di area yang cukup rata. “Helikopter itu enggak perlu dibikinin helipad, bisa mendarat di mana saja asal rata sedikit. Tapi waktu itu izinnya sulit sekali,” jelas Disyon.
Disyon juga menekankan pentingnya tidak hanya ketersediaan helikopter, tetapi juga kesiapsiagaan penuh. Ini mencakup pelatihan mendalam bagi pilot serta pengenalan medan yang komprehensif, didukung oleh operasi helikopter yang rutin agar pilot familier dengan jalur-jalur masuk dan keluar yang aman. Kesiapan semacam ini sangat vital agar saat terjadi kecelakaan pendakian, tim penyelamat tidak kesulitan beradaptasi dengan kondisi medan yang menantang.
Visi Disyon bahkan melampaui sekadar penyelamatan darurat. Ia sempat mengusulkan adanya layanan helikopter eksklusif berbayar bagi turis asing yang ingin menuju Rinjani. Ide ini bertujuan untuk mendukung keberadaan dan perawatan helikopter tersebut secara berkelanjutan, menciptakan model operasional yang mandiri. Namun, tanpa dukungan regulasi dan operasional yang memadai, rencana komprehensif ini pun tak dapat terwujud.
Kondisi ini menyisakan keprihatinan mendalam. “Sudah kecelakaan baru mau cari helikopter, ya susah, apalagi itu di pinggir tebing, sangat riskan,” pungkas Disyon, menegaskan kembali pentingnya proaktif dalam menyediakan fasilitas keselamatan, daripada baru bertindak setelah tragedi terjadi.