Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, ketegangan memuncak menjadi bentrokan sengit antara ratusan mahasiswa dan warga dengan aparat kepolisian pada Selasa (19/08). Aksi demonstrasi massa ini dipicu oleh penolakan keras terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dinilai memberatkan masyarakat.
Aksi damai yang diinisiasi Aliansi Masyarakat Bone Bersatu bermula di depan Kantor Bupati Bone pada pukul 14.00 Wita. Namun, suasana berubah tegang sekitar pukul 17.00 Wita, kala Bupati Bone, Andi Asman Sulaiman, tak kunjung menemui para pengunjuk rasa. Koordinator aksi, Rafli Fasyah, mengungkapkan kekecewaan mendalam atas absennya pemimpin daerah. “Kami datang jauh-jauh ke sini, bahkan rela meninggalkan pekerjaan hanya untuk menyampaikan aspirasi. Tapi bupati dan wakil bupati tidak mau menemui rakyatnya. Di mana tanggung jawab mereka sebagai pemimpin?” ujar Rafli, seperti dilansir Tribunnews.com. Ia melanjutkan dengan nada tegas, “Seharusnya mereka berdiri di depan rakyat, bukan bersembunyi di balik aparat. Kebijakan yang mereka keluarkan sudah menyengsarakan, tapi saat rakyat protes justru tidak mau mendengar langsung.”
Situasi semakin memanas ketika kepolisian meluncurkan gas air mata sekitar pukul 18.30 Wita dalam upaya membubarkan kerumunan. Namun, bukannya mundur, massa justru membalas dengan lemparan botol air mineral dan batu, sebagaimana dilaporkan oleh wartawan Darul Amri untuk BBC News Indonesia. Eskalasi mencapai puncaknya saat pengunjuk rasa nekat menerobos masuk ke halaman Kantor Bupati Bone, menjebol kawat berduri dan merobohkan pagar. Aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Satpol PP segera membentuk barikade dengan tameng, berupaya keras menghalau massa agar tidak memasuki gedung kantor bupati. Akibat insiden ini, sejumlah pihak baik dari massa aksi, kepolisian, maupun anggota Satpol PP mengalami luka-luka dan beberapa di antaranya harus dilarikan ke rumah sakit untuk penanganan medis. Hingga pukul 22.20 Wita, bentrokan sporadis masih terus berlangsung dan meluas ke jalan-jalan alternatif serta gang-gang kecil di sekitar kantor bupati. Kondisi belum juga kondusif hingga pukul 23.10 Wita, seperti dikonfirmasi oleh Zul, seorang aktivis mahasiswa di Kabupaten Bone, kepada Darul Amri.
Tanggapan Pemerintah Kabupaten Bone
Menanggapi kericuhan tersebut, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Bone, Anwar, menjelaskan bahwa Bupati dan Wakil Bupati saat kejadian sedang tidak berada di kota. Anwar juga secara tegas membantah isu yang beredar mengenai kenaikan PBB-P2 hingga 300 persen. “Kenaikan PBB-P2 di Bone itu tidak mencapai 300%, itu hoaks. Kenaikannya hanya 65 persen,” ungkap Anwar, meluruskan informasi yang beredar di masyarakat.
Kenaikan PBB-P2 di Berbagai Daerah
Fenomena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang memicu protes di Bone bukanlah kasus tunggal. Sebelumnya, beberapa daerah lain juga mengalami gejolak serupa. Di Pati, Jawa Tengah, unjuk rasa menolak kenaikan PBB-P2 bahkan berujung pada tuntutan agar Bupati Sudewo mundur dari jabatannya. Sementara itu, di Cirebon, Jawa Barat, kelompok yang menamai diri Paguyuban Pelangi Cirebon telah aktif menolak kenaikan PBB-P2 sejak tahun 2024, melakukan berbagai langkah mulai dari rapat dengar pendapat dengan parlemen, demonstrasi jalanan, hingga mengajukan judicial review dan melaporkan langsung ke Presiden Prabowo Subianto serta Kementerian Dalam Negeri.
Sejumlah pakar mengaitkan kenaikan PBB-P2 yang drastis ini dengan pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat. Herman Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), berpendapat bahwa kondisi ini memaksa pemerintah daerah mencari sumber pendapatan baru. “Cara yang paling gampang untuk mencari pendapatan ya menaikkan pajaknya,” jelas Herman. Pemerintah pusat sendiri diketahui telah melakukan efisiensi anggaran tahun ini, termasuk memangkas TKD sebesar Rp50,29 triliun, yang dialokasikan untuk program-program yang dianggap “berdampak langsung pada masyarakat” seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, serta perbaikan sektor kesehatan.
Namun, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) sekaligus juru bicara presiden, Prasetyo Hadi, menampik anggapan bahwa kenaikan PBB-P2 di daerah disebabkan oleh kurangnya alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Menurut Prasetyo, “Tidak ada penyebabnya karena itu, bukan ya [kurang anggaran dari pusat]. Itu kan memang kebijakan-kebijakan setiap pemerintah daerah, dan memang berbeda-beda antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lainnya,” tegasnya.