Mengupas Kinerja Saham Second Liner di Tengah Perkasa IHSG: Analisis Mendalam dan Rekomendasi
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan performa yang mengesankan belakangan ini, membuka peluang bagi saham-saham lapis kedua atau *second liner* untuk ikut menanjak. Pada penutupan perdagangan Rabu (28/5), IHSG berhasil bertengger di level 7.175. Kenaikan signifikan 7,44% dalam sebulan terakhir dan penguatan 1,35% secara *year-to-date* (YTD) menjadi bukti ketangguhannya.
Namun, di tengah euforia ini, kinerja indeks yang merepresentasikan saham *second liner* justru menunjukkan arah yang berbeda. IDX SMC Composite terpantau naik 1,64% YTD per 28 Mei 2025, sementara IDX SMC Liquid justru melemah 0,17% YTD. Disparitas ini tentu memicu pertanyaan di kalangan investor.
Menurut Indy Naila, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, perbedaan performa kedua indeks tersebut berasal dari perbedaan pandangan pasar terhadap prospek emiten konstituennya. Pasar cenderung lebih mengapresiasi kinerja konstituen IDX SMC Composite, didorong oleh optimisme terhadap pertumbuhan fundamental mereka di masa mendatang, terutama yang memiliki eksposur pada sektor-sektor strategis seperti komoditas dan ritel.
Sebaliknya, pergerakan konstituen di IDX SMC Liquid lebih rentan terhadap aksi *profit taking* dari investor. Indy menambahkan bahwa sebagian investor institusi pun memilih untuk melakukan rotasi portofolio ke saham-saham *big caps* atau emiten berbasis pertumbuhan (*growth stocks*), meninggalkan sementara saham *second liner* di indeks ini.
Menambahkan perspektif, Oktavianus Audi, VP Marketing, Strategy & Planning Kiwoom Sekuritas, menjelaskan bahwa perbedaan kinerja ini dipicu oleh dua faktor utama. Pertama, bobot konstituen terhadap indeks secara keseluruhan. Audi menggarisbawahi, faktor ini menjadikan pergerakan IDX SMC Liquid menjadi lebih sensitif terhadap perubahan.
Kedua, dukungan indeks yang lebih beragam dan tematik. Kinerja emiten konstituen IDX SMC Composite, misalnya, ditopang oleh sektor teknologi, barang baku, dan perbankan. Audi mencontohkan, saham PT PAM Mineral Tbk (NICL) melonjak 440,38% YTD, PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) menguat 390,24% YTD, PT Bank Permata Tbk (BNLI) naik 157,14% YTD, dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) melesat 103,93% YTD. Lebih lanjut, emiten yang mendominasi IDX SMC Composite pun mayoritas berasal dari sektor barang baku, energi, dan infrastruktur. Contohnya, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang naik 44,39% YTD, PT PP Tbk (PTPP) 35,12% YTD, dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) menguat 25,47% YTD.
Indy juga mengingatkan bahwa saham *second liner* memiliki tingkat fluktuasi atau volatilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan *big caps*, mengingat kapitalisasi pasar yang cenderung menengah-kecil serta volume perdagangan yang lebih rendah. Ke depan, pergerakan emiten lapis kedua ini akan sangat dipengaruhi oleh ekspektasi pemulihan ekonomi, insentif pemerintah di sektor-sektor tertentu, serta pengawasan ketat terhadap kinerja keuangan masing-masing emiten. Apabila IHSG terus menguat, saham-saham dengan fundamental yang solid berpotensi turut menanjak, baik dari segi profitabilitas maupun likuiditas. Sebaliknya, jika IHSG mengalami koreksi, likuiditas saham *second liner* bisa ikut tertekan akibat peningkatan aksi jual.
Untuk prospek tahun 2025, Indy memproyeksikan emiten *second liner* dari sektor komoditas minyak, perbankan, dan ritel berpotensi menjadi jawara. Sentimen positif ini didukung oleh proyeksi normalisasi harga komoditas, potensi penurunan suku bunga acuan, serta berbagai insentif dari pemerintah. Ia menekankan pentingnya bagi investor untuk mencermati fundamental dan valuasi perusahaan, di samping memantau kondisi makroekonomi yang dapat memengaruhi kinerja keuangan emiten. Berdasarkan analisisnya, saham ACES, TAPG, BNGA, dan BBYB layak dicermati investor dengan target harga masing-masing Rp 700, Rp 1.020, Rp 1.900, dan Rp 300 per saham.
Di sisi lain, Audi berpandangan bahwa beberapa saham emiten *second liner* justru menunjukkan performa yang *outperformed* atau lebih unggul dibandingkan dengan *big caps*. Keunggulan ini didorong oleh ekspansi emiten yang menjanjikan proyeksi positif pada kinerja keuangan, lonjakan harga komoditas terutama bahan baku yang memicu spekulasi pasar, serta kinerja positif emiten di kuartal I 2025 di tengah gejolak ketidakpastian global. Ia menambahkan, pergerakan saham *big caps* cenderung lebih sensitif terhadap kebijakan dan ketidakpastian ekonomi global, khususnya bagi sektor keuangan yang mendominasi kapitalisasi pasar terbesar.
Kendati demikian, Audi juga menyoroti adanya beberapa sentimen kuat yang berpotensi memicu rotasi kembali dari *second liner* ke saham-saham *big caps*. Pertama, kemungkinan penghapusan tarif Amerika Serikat (AS) menyusul keputusan pengadilan federal AS yang memblokir kebijakan tarif resiprokal era Presiden Donald Trump. Kedua, sinyal *dovish* dari The Fed dengan target pemangkasan suku bunga acuan sebesar 25-50 basis poin (bps) hingga Desember 2025. Ketiga, stabilitas ekonomi makro domestik, yang tercermin dari penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS dan terjaganya inflasi sesuai target Bank Indonesia (BI).
Keempat, realisasi valuasi *big caps* di pasar yang menjadi lebih menarik setelah mengalami penurunan signifikan sejak awal tahun 2025. Terakhir, potensi *capital inflow* ke pasar saham Indonesia, dipicu oleh kekhawatiran terhadap utang AS dan pencarian alternatif imbal hasil yang lebih tinggi oleh pasar. Audi menekankan, kelima sentimen ini berpotensi mengembalikan sorotan investor ke saham-saham *big caps*, mendorong investor untuk mulai melakukan *rebalancing* portofolio mereka. Namun demikian, ia menyarankan agar investor tetap dapat memanfaatkan momentum pada saham *second liner* untuk tujuan jangka pendek atau *trading*, mengingat volatilitasnya yang lebih tinggi.
Berdasarkan analisisnya, Audi merekomendasikan saham BIRD, AUTO, BNGA, CTRA, dan MEDC dengan status beli, menetapkan target harga masing-masing Rp 2.200, Rp 2.480, Rp 1.940, Rp 1.340, dan Rp 1.380 per saham. Sementara itu, rekomendasi *trading buy* diberikan untuk saham ARTO dengan target harga Rp 2.400 per saham.