Tambang Nikel Raja Ampat: Anggota DPR Robert Joppy Kardinal Soroti Minimnya Manfaat bagi Warga Lokal dan Ancaman Lingkungan
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Golkar, Robert Joppy Kardinal, secara tegas menyatakan bahwa keberadaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, belum memberikan manfaat nyata bagi masyarakat setempat. Pandangan ini muncul setelah legislator asal Sorong tersebut melakukan kunjungan langsung ke lokasi.
Dalam kunjungannya ke Distrik Waigeo Barat Kepulauan pada Maret dan April lalu, Robert Joppy Kardinal menyaksikan langsung penolakan keras warga setempat terhadap aktivitas pertambangan. Ia menyoroti minimnya pelibatan masyarakat lokal, terutama karena mayoritas pekerja justru berasal dari luar daerah. “Masyarakat hanya dapat bantuan Rp10 juta per tahun. Ini kan tidak ada manfaat. Yang bekerja, semua orang dari luar,” tegas Robert kepada *Tribunnews.com*, Sabtu (7/6/2025), menggarisbawahi kegagalan tambang untuk memberikan kontribusi berarti.
Kardinal lebih lanjut menegaskan bahwa partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan tambang, baik sebagai tenaga kerja maupun kontraktor, sangat terbatas. Ironisnya, sebagian besar pekerja dan pihak yang terlibat justru didatangkan dari luar daerah, bahkan dari Jakarta. “Coba lihat siapa yang bekerja. Masa orang-orang Sorong tidak bisa jadi kontraktor di situ? Semua bawa dari Jakarta. Jadi uangnya balik lagi ke Jakarta. Terus manfaatnya apa di situ?” protes legislator yang berasal dari Sorong, Papua Barat Daya ini, menyoroti aliran ekonomi yang tidak berpihak pada daerah setempat.
Selain isu ekonomi dan sosial, Robert Joppy Kardinal juga menyoroti potensi dampak lingkungan serius akibat aktivitas pertambangan ini. Menurutnya, operasional tambang berisiko besar mengganggu kawasan konservasi yang dilindungi di Raja Ampat, terutama karena ancaman tumpahan bijih nikel saat proses pengangkutan melalui laut. “Tidak boleh (ada pertambangan), karena namanya konservasi. Waktu mereka melakukan pemuatan, pasti ada yang jatuh ke laut. Itu berarti kawasan konservasinya terganggu,” jelasnya, memperingatkan bahaya terhadap ekosistem laut yang rapuh.
Melihat berbagai permasalahan tersebut, Robert mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi komprehensif terkait keberadaan tambang nikel di Raja Ampat. Evaluasi ini, menurutnya, harus fokus pada dampak nyata terhadap lingkungan dan manfaat yang diterima masyarakat lokal. “Kalau mau dicabutkan, dia perlu evaluasi. Kita tunggu evaluasinya seperti apa. Tetapi langkah konkret, harus dilihat, apa manfaatnya untuk masyarakat,” pungkasnya, menekankan pentingnya akuntabilitas dan keberpihakan pada warga setempat.
Sebagai respons terhadap polemik yang berkembang, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, sebelumnya telah mengambil langkah tegas dengan menghentikan sementara operasional tambang nikel di Raja Ampat. Keputusan ini diambil untuk memungkinkan verifikasi lapangan secara menyeluruh. “Itu kami untuk sementara hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan, kami akan cek,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/6/2025). Ia menambahkan, “Untuk sementara kegiatan produksinya disetop dulu sampai menunggu hasil peninjauan dan verifikasi dari tim saya,” menegaskan komitmen pemerintah untuk meninjau ulang kelayakan tambang ini.