Ragamutama.com – Fenomena baru melanda generasi muda di Taiwan dan China: berbagi keluh kesah dengan chatbot kecerdasan buatan (AI) menjadi semakin populer.
Menurut laporan dari The Guardian pada Kamis (22/5/2025), para ahli kesehatan mental di Taiwan dan China mencatat adanya peningkatan jumlah pasien yang beralih ke konsultasi dengan AI.
Sebuah analisis global yang dipublikasikan oleh Harvard Business Review mengungkapkan bahwa alasan utama orang dewasa menggunakan chatbot AI adalah untuk mencari dukungan psikologis.
Buktinya, ratusan ribu unggahan memuji kemampuan AI dalam membantu mereka menghadapi tantangan hidup. Tren ini muncul seiring dengan meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental di Taiwan dan China, terutama di kalangan anak muda.
Mahalnya biaya layanan kesehatan mental dan sulitnya mendapatkan janji temu menjadi pendorong utama mengapa mereka memilih chatbot AI yang lebih mudah diakses dan hemat biaya.
Dengan melihat fenomena yang berkembang di Taiwan dan China, muncul pertanyaan: seberapa andalkah curhat dengan chatbot AI?
Hanya Langkah Awal Penyelesaian Masalah
Gina Anindyajati, seorang dokter di Divisi Psikiatri Komunitas, Rehabilitasi, dan Trauma Psikososial, Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM, menjelaskan bahwa penggunaan chatbot AI menunjukkan adanya kebutuhan mendasar manusia untuk memiliki teman bicara.
Menurutnya, AI hadir sebagai solusi praktis di tengah berbagai kendala dalam membangun hubungan interpersonal.
Melalui koneksi internet, AI menawarkan respons cepat dan tips praktis, termasuk solusi untuk menyelesaikan masalah.
“Namun, pada akhirnya, jawaban dan saran yang diperoleh dari percakapan satu arah dengan AI tetap perlu diimplementasikan dalam kehidupan nyata, saat berinteraksi dengan manusia lain,” kata Gina kepada Kompas.com, Minggu (24/5/2025).
Gina menekankan bahwa percakapan dengan chatbot AI bukanlah solusi instan untuk menyelesaikan masalah.
Namun, interaksi tersebut dapat menjadi titik awal dalam proses pemecahan masalah.
Oleh karena itu, individu yang menggunakan chatbot AI perlu berusaha untuk menerapkan hasil percakapan tersebut dalam tindakan nyata.
“Contohnya, seorang remaja merasa bingung tentang cara menolak permintaan teman yang bertentangan dengan nilai-nilainya,” jelasnya.
“Ia dapat bertanya kepada AI dan menerima tips atau cara berkomunikasi. Namun, remaja tersebut tetap harus berusaha menyampaikan penolakan tersebut secara langsung kepada temannya,” lanjutnya.
Tetap Butuh Peran Manusia
Gina menambahkan bahwa jika remaja tersebut masih mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan saran dari AI, di sinilah peran penting dari manusia lain, seperti orang tua, guru, atau teman, diperlukan.
Mereka dapat membantu remaja tersebut berlatih dan meningkatkan keterampilan komunikasinya.
“Risiko jika hanya mengandalkan curhat dengan AI adalah terjebak dalam echo chamber. Karena kita sebagai manusia cenderung hanya mendengarkan apa yang ingin kita dengar,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa jebakan ini dapat menghambat kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah dan membangun hubungan yang bermakna dalam kehidupan nyata.
Oleh karena itu, Gina mengingatkan bahwa curhat dengan chatbot AI adalah hubungan satu arah.
“Manusia memberikan prompt dan AI merespons. Tidak ada interaksi timbal balik yang diinisiasi oleh AI, dan inilah perbedaan mendasar dengan kehidupan nyata,” katanya.
Dalam kehidupan nyata, saling merespons dan belajar mengelola interaksi tersebut adalah kunci untuk berkembang.
“Jadi, curhat dengan AI memiliki manfaat hingga batas tertentu. Selebihnya, kita tetap perlu belajar hidup dalam kenyataan,” tuturnya.
“Jika ada kesulitan dalam menjalani kehidupan nyata, bicarakan dengan orang terdekat. Jika kesulitan tersebut terus berlanjut, konsultasikan dengan profesional kesehatan jiwa,” imbuhnya.