IHSG Tertekan Gejolak Geopolitik, Analis Ingatkan Risiko Pasar Global dan Peluang The Fed Terkikis
JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menghadapi tekanan signifikan, gagal mempertahankan level psikologis 7.000. Pada penutupan perdagangan Senin (23/6), IHSG terparkir di level 6.790,13, melemah 1,69% dari posisi sebelumnya. Penurunan drastis ini tak lepas dari bayang-bayang eskalasi konflik geopolitik yang kini mengguncang pasar global.
Kondisi pasar yang memanas ini dipicu oleh serangan Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir Iran—Natanz, Fordow, dan Isfahan—pada 21 Juni lalu. Insiden ini sontak meningkatkan ketegangan di Timur Tengah, memicu kekhawatiran yang meluas di kalangan investor.
Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas, memprediksi bahwa tekanan jual di pasar saham akan terus berlanjut dalam jangka pendek. Menurutnya, gejolak di Timur Tengah telah secara nyata meningkatkan risiko di pasar global, mendorong para investor untuk bersikap lebih hati-hati.
“Pasar saham, termasuk IHSG, cenderung tertekan karena meningkatnya risiko eskalasi konflik. Investor saat ini memilih untuk menghindari aset berisiko dan menunggu klarifikasi lebih lanjut mengenai respons Iran serta sikap negara-negara besar lainnya,” ungkap Liza kepada Kontan (23/6).
Dalam skenario terburuk, jika konflik memburuk hingga menyebabkan penutupan Selat Hormuz dan mengganggu pasokan minyak dari Iran, Liza memperingatkan akan dampaknya. Hal ini berpotensi mendorong harga minyak global menembus US$ 130 per barel dan inflasi di Amerika Serikat mencapai 6% pada akhir tahun. Konsekuensi yang paling mengkhawatirkan adalah terkikisnya peluang pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral AS, The Fed.
Liza menambahkan, negara-negara pengimpor energi seperti Jepang, India, dan Pakistan akan menjadi pihak yang paling merasakan dampak negatif dari kenaikan harga minyak ini. Sebaliknya, negara-negara produsen seperti negara-negara Teluk, Nigeria, Angola, dan Venezuela justru diperkirakan akan meraup keuntungan fiskal dari lonjakan harga komoditas strategis tersebut.
Selama sepekan terakhir, pasar global memang telah berada dalam mode waspada penuh. Harga minyak melonjak tajam, memicu penguatan saham-saham energi dan pertahanan. Di sisi lain, saham teknologi justru tertekan, sementara imbal hasil obligasi menurun dan dolar AS menguat. Di tengah dinamika tersebut, The Fed mempertahankan suku bunga, namun sinyal yang diberikan terkait arah kebijakan ke depan masih terbagi.
Untuk pekan ini, pelaku pasar akan mencermati dengan saksama sikap lanjutan dari Iran, kebijakan yang akan diambil oleh Presiden AS Donald Trump, serta fluktuasi harga minyak. Selain itu, rilis data PMI (Purchasing Managers’ Index) dari sejumlah negara ekonomi utama seperti AS, Zona Euro, Inggris, Jerman, dan Jepang juga akan menjadi fokus perhatian.
Dari perspektif teknikal, Liza mencatat bahwa IHSG telah mencapai target konsolidasi di kisaran 6.766 – 6.750, sesuai pola *double top*. Meskipun sempat muncul pola *candle* pembalikan (*bullish reversal*), ia menilai bahwa fase konsolidasi ini belum benar-benar tuntas. “Saya tidak yakin konsolidasi ini akan berakhir secepat itu. Namun, *rebound* kemarin cukup menarik secara teknikal,” jelasnya.
Dalam waktu dekat, IHSG berpeluang untuk menguji level *gap* di 6.874 dan mencoba kembali ke atas 7.000. Kendati demikian, pergerakan indeks akan sangat bergantung pada perkembangan geopolitik yang terus bergolak dan data ekonomi global yang akan dirilis.