Posisi duta besar Indonesia yang masih kosong di beberapa tempat, seperti di Amerika Serikat dan lembaga PBB, menimbulkan pertanyaan publik. Padahal Indonesia tengah menghadapi dunia yang dibayangi krisis dan perang.
Diketahui posisi duta besar RI untuk AS kosong setidaknya sejak 2023.
Hal ini mengundang tanya peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fadjar Thufail.
“Sampai dua tahun tidak terisi ya, padahal kita enggak kekurangan diplomat,” kata Fadjar.
“Kalau tidak ada otoritas untuk bernegosiasi, posisi tawar kita jelas berkurang,” imbuhnya.
Sementara pengajar ilmu hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, menilai posisi duta besar di sebuah negara “tidak tergantikan”.
“Kalau duta besarnya tidak available, tidak mungkin anggota Kongres atau Ketua DPR atau menteri luar negeri Amerika Serikat mau ketemu sama wakil duta besar atau charge d’affaires dari Indonesia. Karena bukan level diplomatiknya,” kata Dinna.
Menanggapi masalah ini, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Rolliansyah Soemirat, menjelaskan bahwa sejauh ini tidak ada masalah ketika kursi duta besar di sejumlah tempat masih kosong. Pasalnya tugas-tugas sudah dijalankan oleh korps diplomatik Indonesia yang bertugas di masing-masing negara.
“Kami bahkan bisa, dalam keadaan tertentu, lebih mewakili proses yang sedang berjalan dibandingkan dengan orang-orang yang baru tiba di perwakilan untuk menjabat,” kata Rolliansyah kepada BBC News Indonesia.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco, mengatakan DPR sudah memegang nama calon duta besar RI di AS.
“Namanya sudah di DPR, tetapi kami akan tunggu resminya nanti dari pemerintah,” ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, (24/06), seperti dikutip dari Tempo.
Adapun Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, mengklaim penunjukan dubes untuk AS akan segera dilakukan.
“Termasuk pengisian dubes tentu tidak luput dari perhatian Presiden. Ini hanya soal timing, soal waktu, dan soal siapa yang akan ditempatkan,” kata Juri di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, (24/06).
Mengapa topik soal kekosongan posisi duta besar mencuat?
Fakta bahwa Indonesia tidak punya duta besar di AS dan PBB mencuat tatkala Israel dan Iran saling melancarkan serangan udara.
Pada Juni 2025, mantan diplomat Indonesia, Dino Patti Djalal, mencuitkan di akun X-nya perihal kosongnya posisi duta besar di sejumlah negara.
“Yth Presiden @prabowo , kind reminder: dlm dunia yg semakn dihantui perang+konflik+krisis yg berbahaya, mhn agar kursi Dubes2 utk Amerika, PBB (New York & Jenewa), Jerman yg sdh lama KOSONG dapat segera diisi. Kursi2 Dubes yg kosong membuat sulit berdiplomasi scr efektif di garis terdepan.”
Cuitan ini memantik komentar publik dan disukai lebih dari 9.000 kali. Dino Pati Djalal enggan diwawancarai, namun berkenan cuitannya dikutip.
Pemberitaan media memperlihatkan kekosongan posisi duta besar terjadi tak hanya di AS, Jerman, dan Perutusan Tetap RI untuk PBB di New York, dan Jenewa, namun sejumlah negara lain di lintas benua.
- Pemerintahan Prabowo pilih jalur negosiasi ketimbang balas tarif Trump
- Trump umumkan tarif baru AS terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia
Topik ini sempat menjadi polemik ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru untuk barang-barang yang masuk dari berbagai negaram, termasuk Indonesia, awal April 2025 lalu.
Kala itu, ketidakadaan duta besar dinilai melemahkan posisi tawar Indonesia untuk negosiasi tarif.
Apa dampaknya ketika posisi dubes kosong?
Pengajar hubungan internasional Universitas Bina Nusantara, Dinna Prapto Raharja, menjelaskan penempatan duta besar di sebuah negara adalah hal krusial dan tak bisa digantikan tugasnya oleh pejabat di bawah level tersebut.
Ia menjelaskan pejabat sementara, atau yang biasa disebut charge d’affaires, tak bisa serta-merta menjalankan fungsi sebagai duta besar.
“Tidak bisa digantikan fungsi seorang ambassador dengan, misalnya, wakil duta besar atau charge d’affaires. Charge d’affaires itu hanya sekedar PLT [pelaksana tugas],” kata Dinna kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (25/06).
Menurut Dinna, jabatan duta besar ini krusial agar pos diplomatik bisa bekerja maksimal demi kepentingan nasional, seperti misalnya menghimpun informasi yang bermanfaat.
“Gunanya kita punya kantor perwakilan adalah kita punya informasi yang lebih mendalam bahkan yang tidak available di publik,” kata Dinna yang rutin menjadi pelatih para diplomat Indonesia.
“Info seperti itu hanya bisa didapat, terutama yang informasi rahasia tingkat tinggi, lewat engagement, lewat komunikasi antar pihak dan rajin bertemu,” tambahnya.
Dinna mencontohkan keberadaan duta besar jadi penting di negara seperti AS untuk bisa berinteraksi dengan otoritas setempat guna menghimpun informasi dari berbagai pihak.
- Puluhan WNI yang dievakuasi dari Iran dipulangkan secara bertahap ke Indonesia
- WNI ditahan aparat imigrasi AS, Kemlu Indonesia klaim lakukan pendampingan hukum
Kepala Pusat Riset Wilayah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fadjar Ibnu Thufail, menjelaskan ketiadaan duta besar berdampak pada upaya negosiasi. Sebab, sambungnya, duta besar RI bisa berperan untuk melakukan negosiasi saat negara dia ditempatkan mengeluarkan kebijakan yang berpengaruh ke Indonesia.
“Kalau tidak ada otoritas untuk bernegosiasi, posisi tawar kita jelas berkurang,” imbuhnya.
Dinna Prapto Raharjo, yang juga pendiri lembaga Synergy Policies, mengungkit tiada duta besar Indonesia di AS saat Presiden Trump mengumumkan tarif masuk yang berpengaruh pada perekonomian Indonesia.
Padahal, dalam kondisi tersebut, menurutnya, perlu ada pejabat tinggi yang bisa mengambil tindakan cepat untuk melakukan negosiasi—meski pemerintah Indonesia belakangan mengirimkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
“Yang datang juga semua orang dari Jakarta,” kata Dinna.
“Dalam pertemuan-pertemuan itu, dia [KBRI] hanya bisa memfasilitasi dari segi buatkan appointment, kemudian nulis suratnya, mengirimkan brafaks [berita faksimile]. Tapi mendesak, mendorong, menanyakan, dan mendapatkan respons tepat waktu, mereka [KBRI] tidak bisa push,” kata Dinna.
AS awalnya mengenakan tarif sampai 32% kepada barang-barang Indonesia yang masuk ke negeri tersebut. Belakangan, pascanegosiasi yang dihadiri Airlangga, tarif barang seperti tekstil mencapai 47%
Dinna menilai upaya negosiasi tarif oleh Indonesia belum mendapat hasil yang maksimal, sementara duta besar yang diharapkan bisa bergerak cepat mengantisipasi kebijakan tarif tak kunjung ditetapkan.
“Sayang sekali kita justru tidak ada orang yang bisa mendengar, menandai sinyal apa dari Amerika Serikat, sehingga kita tidak telat melangkah,” tambah Dinna.
Dinna menyatakan hal ini juga penting pada saat Indonesia bergabung dengan kerja sama ekonomi BRICS, yang diisi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Perlindungan WNI
Peneliti BRIN, Fadjar Thufail, mengatakan keberadaan duta besar juga punya peran kunci untuk mengambil peran strategis perlindungan WNI di negara-negara yang mengalami gejolak.
“Kalau di satu negara itu terjadi perang, kerusuhan, atau terjadi kekacauan yang besar, perwakilan Indonesia kan harus menganalisis situasi itu,” katanya.
“Kemudian memberikan keputusan apakah memang kita perlu melakukan evakuasi, misalnya. Nah itu kan yang bisa memberikan keputusan adalah pemimpin perwakilan kita di sana, duta besar,” sambungnya.
Oleh karenanya, Fadjar mengimbau pemerintah segera mengisi posisi duta besar di negara-negara yang belum terisi ini. Pasalnya, ia menilai Indonesia tak kekurangan tenaga untuk mengisi posisi duta besar tersebut.
“Kita enggak kekurangan diplomat. Kalau yang dibutuhkan seorang yang mengerti situasi katakanlah geopolitik atau political economy, kita juga enggak kekurangan orang,” kata Fadjar.
Apa jawaban Kemlu Indonesia?
Juru Bicara Kemlu, Rolliansyah Soemirat, mengatakan korps diplomatik Indonesia di negara-negara yang belum memiliki duta besar berjalan tanpa masalah.
“Mereka memiliki mandat yang penuh dan mereka dihormati oleh negara yang bersangkutan,” kata Rolliansyah kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/06)
“Bahkan, mungkin dalam keadaan tertentu, lebih bisa mewakili proses yang sedang berjalan dibandingkan dengan orang-orang yang baru tiba di perwakilan untuk menjabat,” tambahnya.
Rolliansyah juga menjelaskan penentuan duta besar ini adalah hak kepala negara.
“Jadi mengenai prosesnya, kapan akan dimulai, seberapa lama pembicaraan-diskusi akan dilakukan oleh Presiden dengan para penasihatnya, dengan para tim dari presiden itu sendiri, itu semua kendalinya di tangan presiden,” kata Rolliansyah.