Ragamutama.com – Yogyakarta – Herlambang Perdana Wiratraman, pakar hukum UGM dan deklarator Lembaga Bantuan Hukum Pers, mengecam keras tindakan kepolisian Semarang yang memukuli Jamal Abdun Nashr, jurnalis Tempo, saat meliput demonstrasi Hari Buruh di Undip, Pleburan, Semarang, 1 Mei 2025.
Pilihan Editor:Viral Dokter RS Unhas Tolak Pasien, Ini Penjelasan Rumah Sakit
Herlambang menilai pemukulan tersebut sebagai bukti nyata brutalitas polisi yang terus berulang terhadap jurnalis yang memberitakan pelanggaran hak asasi dan keadilan sosial. Ia menyoroti keengganan kepolisian untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja mereka, meskipun UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers melindungi kerja jurnalistik, dan kerja sama antara Dewan Pers dan Polri untuk perlindungan pers telah terjalin.
Menurutnya, kekerasan tersebut mencoreng citra kepolisian dan melanggengkan budaya kekerasan di ruang publik. Hal ini merupakan pelanggaran hukum dan bertentangan dengan prinsip HAM. Herlambang mendesak penindakan tegas terhadap pelaku tanpa menunggu laporan, mengingat Pasal 18 ayat 1 UU Pers menyatakan penghalangan kerja jurnalistik bukan delik aduan. Ia juga meminta komandan lapangan bertanggung jawab atas kegagalan melindungi jurnalis.
Setelah menjalani visum di Semarang pada 1 Mei 2025, Jamal menceritakan dua insiden kekerasan. Pertama, saat merekam penangkapan demonstran di depan Kantor Gubernur Jateng, polisi merampas ponselnya, menghapus rekaman, dan membantingnya setelah ia menunjukkan kartu pers. Kedua, di Kantor Dinas Sosial, ia dipukul di kepala. Video kekerasan tersebut tersebar luas.
Aris Mulyawan dari AJI Kota Semarang mengkonfirmasi bahwa Jamal dipiting, diseret, dan ditampar meski telah menunjukkan identitas pers. Kekerasan terjadi dua kali, sore dan malam hari. Selain Jamal, seorang pimpinan redaksi pers mahasiswa, DS, juga mengalami kekerasan, menderita luka robek di wajah akibat pemukulan oleh orang berpakaian sipil saat merekam aksi polisi.
AJI Semarang mengecam keras tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers dan demokrasi. Mereka menekankan hak jurnalis untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi tanpa tekanan, sesuai UU Pers. Kekerasan terhadap Jamal dan DS merupakan pelanggaran hukum dan upaya menghalangi kerja pers. AJI mendesak penyelidikan tuntas atas kasus ini.
Aris menegaskan kekerasan terhadap jurnalis bukan insiden biasa dan mengancam akses publik terhadap informasi. Selain Jamal, lima anggota pers mahasiswa lainnya juga menjadi korban kekerasan aparat. Pendamping hukum aksi May Day, Dhika, menambahkan bahwa polisi menangkap 18 pengunjuk rasa, lima di antaranya dirawat di rumah sakit, setelah sebelumnya menembakkan gas air mata.
Tim hukum mendesak Kapolrestabes Semarang menarik anggotanya dari Undip dan memastikan peserta aksi mendapatkan bantuan hukum. Ratusan mahasiswa terjebak di Undip saat demonstrasi, setelah sebelumnya berunjuk rasa di Jalan Pahlawan. Mereka berlindung di kampus karena dikejar polisi.
M Safali dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang menyatakan polisi dan ratusan orang berpakaian sipil mengepung kampus Undip yang di dalamnya terdapat sekitar 400 mahasiswa. Kapolda Jateng, Irjen Ribut Hari Wibowo, mengakui pengepungan tersebut, mengatakan demonstran “menyandera” anggotanya. Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Syahduddi, belum memberikan tanggapan.