Ragamutama.com – , Solo – Menyusul polemik yang mencuat terkait Rumah Makan Ayam Goreng Widuran, yang terungkap menjual produk non-halal, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Solo, Abdul Aziz Ahmad, mengumumkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Solo dan Kementerian Agama untuk menyusun standar operasional prosedur (SOP) yang jelas mengenai pemisahan produk makanan halal dan non-halal.
“Kami dari MUI sangat menyayangkan tindakan tersebut (menjual produk non-halal tanpa pemberitahuan yang memadai). Hal ini mengandung unsur penipuan dan ketidakjujuran, yang sangat merugikan konsumen,” tegas Aziz saat diwawancarai di Solo, Selasa, 27 Mei 2025.
Aziz menjelaskan bahwa masyarakat umum memahami bahwa ayam goreng, secara umum, adalah halal menurut ajaran Islam. Namun, apabila dalam penyajiannya, ayam tersebut dicampur dengan bahan atau produk non-halal, maka ayam tersebut menjadi haram untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, MUI telah mengajukan usulan kepada Pemerintah Kota Solo dan Kementerian Agama untuk memberlakukan pemisahan yang tegas antara produk halal dan non-halal di berbagai tempat penjualan makanan.
“Sikap MUI sangat jelas: makanan halal dan non-halal harus benar-benar dipisahkan. Jika sebuah rumah makan menjual makanan halal, maka seluruh menunya harus halal, tanpa campuran bahan haram. Sebaliknya, jika menjual produk non-halal, harus ada pemberitahuan yang jelas dan transparan,” tandasnya.
Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa pemisahan produk halal dan non-halal ini akan diberlakukan tidak hanya di rumah makan atau warung, tetapi juga di pasar-pasar tradisional. Sebagai contoh, dalam penyelenggaraan festival makanan non-halal, lokasi dan area penjualan harus dipisahkan secara fisik dari area penjualan makanan halal.
Menanggapi tindakan ketidakjujuran yang dilakukan oleh Rumah Makan Ayam Goreng Widuran, Aziz menyatakan bahwa pemilik usaha berpotensi dijerat dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 386 KUHP tentang penjualan barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dengan ancaman hukuman 4 hingga 5 tahun penjara.
“Dalam ranah hukum, pelaku dapat dijerat dengan KUHP Pasal 378 dan 386 KUHP, serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ancaman hukumannya cukup berat, yaitu 4-5 tahun penjara,” jelasnya.
Merespons keresahan yang dirasakan oleh masyarakat, terutama umat Islam yang mungkin telah mengonsumsi Ayam Goreng Widuran tanpa mengetahui status kehalalannya, Aziz menjelaskan bahwa mereka tidak menanggung dosa karena ketidaktahuan tersebut.
“Karena konsumen tidak mengetahui status produk tersebut, maka mereka tidak dianggap mengonsumsi barang haram. Jadi, mereka tidak menanggung dosa,” ujarnya.
Menurut Aziz, proses hukum terhadap kasus Ayam Goreng Widuran dapat dilakukan apabila ada korban dari masyarakat yang melaporkan. Namun, dalam konteks ini, MUI hanya dapat memberikan imbauan.
Sementara itu, Wali Kota Solo, Respati Ardi, mengungkapkan bahwa hingga hari ini, Selasa, hasil uji sampel bahan masakan yang diambil saat inspeksi ke Rumah Makan Ayam Goreng Widuran belum keluar. Ia menyatakan bahwa komunikasi lebih lanjut dengan pemilik usaha akan menunggu hasil uji sampel makanan tersebut. “Kami akan berkomunikasi kembali dengan pemilik usaha setelah hasil uji sampelnya keluar,” katanya.
Ia juga tidak menampik bahwa sanksi berat dapat menanti pemilik usaha Ayam Goreng Widuran jika hasil asesmen uji produk makanan tidak sesuai dengan harapan banyak pihak.
Bahkan, ia berencana memanggil pemilik usaha untuk melakukan klarifikasi langsung terkait operasional usahanya ke depan.
“Kita lihat dulu hasil asesmennya. Setelah keluar hasilnya seperti apa, kami akan memanggil pemilik usaha untuk menanyakan kejelasannya,” ujar Respati Ardi saat ditemui usai pembukaan pameran 40 museum Indonesia di Taman Balekambang Solo.
Pilihan Editor: Bisnis Ojek Online Melejit. Mengapa Pengemudinya Menjerit?