DPR Didorong Segera Revisi UU Pemilu: Putusan MK Picu Perpanjangan Masa Jabatan DPRD
Jakarta – Desakan untuk segera merevisi Undang-Undang Pemilu kian menguat menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan daerah. Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, mendorong Komisi bidang Pemerintahan DPR agar segera membahas revisi ini, menyoroti potensi perpanjangan masa jabatan bagi anggota DPRD sebagai konsekuensi langsung dari putusan tersebut.
Mulyanto menjelaskan, putusan MK yang tidak lagi mengharuskan pemilu nasional dan daerah diselenggarakan serentak, berpotensi memicu perpanjangan masa jabatan, khususnya bagi anggota DPRD. “Karena itu, penting untuk dibahas segera revisi UU Pemilu untuk mengadopsi putusan ini dengan ideal,” tegas Mulyanto melalui pesan singkat pada Sabtu, 28 Juni 2025. Ia menambahkan, selain UU Pemilu, revisi UU Pilkada juga menjadi fokus penting yang harus segera ditindaklanjuti DPR guna mencegah perpanjangan masa jabatan DPRD yang lebih lama.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah dilakukan paling lambat 2,5 tahun setelah penyelenggaraan pemilu nasional (pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden). Implikasinya, pemilu daerah kemungkinan baru akan diselenggarakan pada tahun 2031, yang berarti akan ada kekosongan jabatan di daerah pada tahun 2029.
Menanggapi desakan ini, Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karyasuda, menyatakan komisinya masih menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah. Rifqinizamy menjelaskan bahwa sebagai opsi untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2029, dapat diisi oleh penjabat sementara (Pjs). Namun, ia menegaskan, opsi Pjs tidak dapat diterapkan untuk anggota DPRD.
“Satu-satunya opsi untuk DPRD adalah dengan memperpanjang masa jabatannya hingga terlaksana pemilu daerah di 2031,” kata Rifqi, politikus Partai NasDem itu, melalui pesan suara singkat pada Sabtu, 28 Juni 2025. Oleh karena itu, menurutnya, pembahasan revisi UU Pemilu menjadi sangat krusial. “Hal seperti ini yang menjadi *concern* kami dalam pembahasan revisi UU Pemilu. Soal waktu, kami menunggu arahan pimpinan DPR dulu,” tambahnya.
Sebelumnya, pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi mengabulkan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perkara ini menguji formil Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa tahapan pemilihan yang berdekatan menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan, baik dari unsur eksekutif maupun calon anggota legislatif. Saldi juga menyoroti bahwa pemilu nasional yang berdekatan waktunya dengan pilkada akan menyebabkan masalah pembangunan di daerah tenggelam oleh isu nasional. “Di tengah isu dan masalah pembangunan yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat harus tetap utama,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu.
Lebih lanjut, Saldi Isra menambahkan, tahapan pemilu nasional atau daerah yang berada dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pilkada juga berimplikasi pada stabilitas partai politik. Implikasi ini dikhawatirkan menyebabkan partai kehilangan kemampuan untuk mempersiapkan kader yang kompeten untuk mengikuti kontestasi politik. Senada, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan, pemilu serentak juga cenderung menjebak partai politik dalam pragmatisme, mengesampingkan idealisme dan ideologi. Partai, menurutnya, tidak memiliki waktu yang cukup untuk merekrut calon anggota legislatif untuk tiga level sekaligus, apalagi bagi partai politik yang juga harus mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilu. “Itu menyebabkan perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional,” tutupnya.