Jatuh dari Puncak: Kisah Pilu Sergio Garcia, dari Calon Bintang MotoGP Kini Didepak dari Moto2
Dunia balap motor kembali diwarnai kisah pilu. Pembalap Moto2, Sergio Garcia, yang tahun lalu digadang-gadang akan menjadi bintang masa depan, kini harus menerima kenyataan pahit dipecat dari timnya, QJMotor – FRINSA – MSI. Keputusan mengejutkan ini datang jelang seri kesembilan MotoGP Italia di Sirkuit Mugello, Toscana, Italia, pada 20-22 Juni 2025, menyudahi kebersamaan yang awalnya begitu menjanjikan.
Sangat sulit membayangkan nasib Garcia akan berakhir seperti ini setahun lalu. Pada musim Moto2 2024, namanya begitu bersinar. Ia bukan hanya memimpin klasemen setelah delapan balapan, tetapi juga digadang-gadang akan promosi ke MotoGP, bukan sekadar kembali ke rumah. Dengan dua kemenangan dan tiga podium dari delapan seri, pembalap asal Burriana, Spanyol, ini tampil memukau, bahkan menjadi salah satu pesaing serius bagi pembalap kebanggaan Indonesia, Mario Suryo Aji.
Kilau performa Garcia bahkan menarik perhatian jawara MotoGP, Fabio Quartararo dari Monster Energy Yamaha. Sang El Diablo secara terbuka memuji Garcia sebagai pembalap yang sangat cocok untuk mengisi kursi di tim Pramac, yang saat itu bersiap menjadi tim satelit baru Yamaha. “Siapa yang saya inginkan? Saya akan bilang Sergio Garcia dan Fabio Di Giannantonio,” ujar Quartararo kala itu. “Sergio adalah seorang pekerja keras, saya senang dengan bagaimana dia mengendarai motor, dia adalah pembalap yang sangat baik.” Quartararo bahkan mengisyaratkan telah menyampaikan rekomendasi ini kepada Yamaha, sebuah bentuk promosi tak langsung agar Garcia bisa naik kelas. “Bukan saya yang memutuskan tetapi bagus karena mereka (Yamaha) mendengarkan para pembalapnya,” imbuh Juara MotoGP satu kali itu.
Pujian dari Quartararo tentu saja melambungkan asa Garcia. Meskipun Yamaha saat itu sedang berjuang dengan krisis performa, Garcia mengaku sangat antusias untuk bergabung jika diberi kesempatan. “Saya senang bisa menjadi rekan setimnya,” kata Garcia penuh harap. “Saya punya relasi baik dengan Fabio, dia pembalap hebat dan saya sangat memperhatikannya. Jelas Yamaha akan menjadi opsi untuk naik kelas, mereka bekerja hebat, dan kenapa tidak? Saya harap ini bisa terjadi.” Namun, nasib berkata lain. Impian Garcia pupus. Yamaha justru memilih jalur aman dengan merekrut pembalap berpengalaman seperti Miguel Oliveira dan Jack Miller demi membantu pengembangan motor M1. Tak hanya itu, Trackhouse Racing, tim MotoGP lain yang sempat mendekati agen Garcia, juga membatalkan niatnya dan justru mempromosikan rekan setim Garcia sendiri, Ai Ogura.
Hanya dalam hitungan bulan, nasib Garcia berbalik 180 derajat. Dari seorang kandidat kuat *rookie* MotoGP, ia terdampar tanpa kejelasan, bahkan seandainya ia berhasil merebut gelar juara dunia Moto2 sekalipun. Ironisnya, tiga pembalap yang akhirnya meraih tiket promosi ke MotoGP—Ai Ogura, Fermin Aldeguer, dan Somkiat Chantra—semuanya berada di bawah Garcia dalam peringkat klasemen musim lalu, dengan Ogura yang kemudian sukses meraih gelar juara dunia Moto2 dan naik kelas.
Penurunan drastis ini ternyata bukan tanpa sebab. Menurut laporan *Speedweek* pada Oktober lalu, Garcia mulai menunjukkan tanda-tanda tekanan psikis, terlihat dari tubuhnya yang gemetar usai balapan di Misano. Selain itu, ia juga dikabarkan terlibat perselisihan internal dengan tim MSI akibat keputusannya yang bersikeras dengan strategi balapan sendiri, yang sayangnya tidak membuahkan hasil. Konsekuensinya sangat fatal: setelah mengumpulkan 160 poin dalam 10 balapan pertama musim lalu, performanya anjlok drastis, hanya mampu menambah 34 poin dari 15 balapan berikutnya.
Rentetan nasib buruk Garcia semakin memburuk di musim ini. Ia harus absen dalam empat seri balapan pertama akibat cedera, menghambat kesempatan untuk bangkit. Sejauh ini, ia hanya mampu sekali mencatat poin, yaitu saat finis ke-13 di GP Prancis dengan raihan 3 poin. Angka ini bahkan jauh di bawah koleksi poin Mario Suryo Aji (8 poin) di klasemen sementara, padahal pembalap Indonesia itu juga lebih sering absen akibat cedera. Kisah Garcia menjadi pengingat pahit tentang kerasnya persaingan di dunia balap, di mana janji kejayaan bisa dengan cepat berubah menjadi mimpi buruk.