Jakarta, RAGAMUTAMA.COM – Kalangan industri farmasi Eropa pada hari Kamis, 24 April 2025, menyerukan kepada Uni Eropa (UE) untuk menyesuaikan harga obat-obatan. Tujuannya adalah mempertahankan daya saing industri farmasi di tengah gempuran isu global. Desakan ini muncul menyusul ancaman penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS), yang berpotensi mengguncang stabilitas rantai pasok global dan investasi di benua Eropa.
Ketidakpastian akibat ancaman tarif dari AS telah mendorong perusahaan-perusahaan besar, seperti Roche, Novartis, dan Sanofi, untuk mengumumkan rencana investasi signifikan di AS pada hari Selasa, 22 April lalu. Langkah ini diambil untuk menghindari potensi kerugian yang mungkin timbul. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran mendalam bahwa Eropa berisiko kehilangan investasi di sektor farmasi dengan nilai lebih dari 100 miliar euro (setara Rp1,9 kuadriliun) dalam kurun waktu lima tahun mendatang jika tidak segera mengambil tindakan strategis.
1. Ancaman Tarif AS dan Respons Industri Farmasi
Ancaman pengenaan tarif impor untuk produk farmasi oleh Presiden AS Donald Trump, yang disampaikan pada Senin, 14 April, langsung memicu reaksi cepat dari berbagai perusahaan farmasi terkemuka di Eropa. Trump menyatakan bahwa tarif tersebut diperlukan sebagai langkah untuk mendorong produksi obat-obatan di dalam negeri AS, dengan alasan demi keamanan nasional. Penyelidikan mendalam pun dilakukan berdasarkan Section 232 dari Trade Expansion Act.
Sebagai respons terhadap ancaman tersebut, perusahaan sekelas Roche mengumumkan investasi sebesar 50 miliar dolar AS (setara Rp842,9 triliun) di AS pada Selasa, 22 April. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengantisipasi potensi tarif yang diperkirakan bisa mencapai 100 persen untuk produk-produk strategis.
“Tarif ini menciptakan ketidakpastian yang signifikan bagi rantai pasok farmasi global,” ujar Erik Jandrasits, Kepala Urusan Perdagangan di Scienceindustries, Swiss, seperti yang dikutip dari Yahoo Finance.
Investasi besar-besaran di AS, termasuk alokasi dana sebesar 55 miliar dolar AS (setara Rp927,2 triliun) dari Johnson & Johnson dan 23 miliar dolar AS (setara Rp387,7 triliun) dari Novartis, mengindikasikan adanya pergeseran fokus industri farmasi menuju AS. Negara tersebut menawarkan harga obat-obatan yang jauh lebih tinggi, bahkan mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan harga di Eropa.
2. Desakan Kenaikan Harga Obat di UE
Sekitar 30 CEO perusahaan farmasi terkemuka, termasuk perwakilan dari Pfizer dan AstraZeneca, mengirimkan surat kepada Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Jumat, 11 April. Dalam surat tersebut, mereka mendesak agar harga obat-obatan dinaikkan mendekati level yang berlaku di AS. Para CEO tersebut memperingatkan bahwa harga yang rendah di Eropa, yang rata-rata hanya setengah dari harga di AS, akan mengurangi insentif bagi investasi di sektor farmasi.
Menurut data dari European Federation of Pharmaceutical Industries and Associations (EFPIA), investasi senilai 16,5 miliar euro (setara Rp316,9 triliun) berisiko hilang dalam tiga bulan mendatang jika regulasi yang berlaku tidak segera diubah.
“Kontrol harga di Eropa melemahkan daya saing kami dibandingkan dengan AS dan Tiongkok,” tulis CEO Novartis Vas Narasimhan dan CEO Sanofi Paul Hudson dalam opini yang diterbitkan oleh Financial Times.
Mereka juga menyoroti perlunya penyederhanaan regulasi terkait uji klinis, yang saat ini mengharuskan pengujian dilakukan di berbagai negara. Hal ini dinilai meningkatkan biaya dan memperlambat laju inovasi.
3. Dampak pada Ekonomi dan Pasien Eropa
Ancaman penerapan tarif dan potensi kenaikan harga obat-obatan telah memicu kekhawatiran di kalangan berbagai pemangku kepentingan di Eropa. Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan mendesak perusahaan-perusahaan Eropa untuk menahan diri dari melakukan investasi di AS pada Rabu, 16 April, sambil menunggu respons resmi dari UE terhadap situasi ini.
Namun, berbagai laporan menunjukkan bahwa penerapan tarif dapat meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh industri farmasi hingga mencapai 46 miliar dolar AS (setara Rp775,5 miliar). Biaya ini kemungkinan besar akan dibebankan kepada konsumen Eropa dalam jangka panjang melalui kenaikan harga obat-obatan.
“Jika harga obat-obatan naik, pasien di Eropa akan menghadapi beban finansial yang semakin berat,” ungkap William Padula, seorang Profesor ekonomi farmasi di University of Southern California.
Sementara itu, ekspor produk farmasi dari Irlandia ke AS mengalami lonjakan signifikan sebesar 145,7 persen pada Februari 2025. Hal ini mengindikasikan adanya upaya dari perusahaan-perusahaan untuk mengamankan pangsa pasar di AS sebelum tarif resmi diberlakukan. Akan tetapi, tanpa adanya reformasi yang komprehensif, Eropa berisiko kehilangan posisinya sebagai pusat inovasi farmasi global.