YOGYAKARTA, Ragamutama.com.TV- Kebijakan kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang sempat memicu gelombang protes warga, akhirnya dibatalkan. Bupati Pati Sudewo resmi mencabut kebijakan tersebut pada Jumat (8/8/2025), menyusul demonstrasi besar-besaran yang berlangsung beberapa hari terakhir.
Menanggapi isu tersebut, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (7/8), menegaskan bahwa penetapan tarif PBB-P2 merupakan kewenangan penuh pemerintah daerah. “Itu kan kewenangan daerah, ya. Jadi, harusnya disesuaikan di level daerah,” kata Anggito.
Anggito mengakui belum mendalami detail kebijakan kenaikan pajak di Pati maupun dampak spesifiknya terhadap masyarakat. Ia menjelaskan bahwa proses evaluasi awal seharusnya dilakukan oleh pemerintah provinsi. “Saya enggak tahu, ya, persisnya. Karena itu kan dievaluasi sama provinsi, ya. Jadi, provinsinya harus bisa mengevaluasi dulu,” ujarnya, seperti dikutip dari Antara.
Kementerian Keuangan, lanjut Anggito, memang memiliki peran dalam evaluasi, namun hal tersebut dilakukan setelah evaluasi di tingkat provinsi selesai. “Kalau Kemenkeu, iya (mengevaluasi), tetapi kan harusnya di level provinsi dulu,” ucapnya.
Ia menjabarkan bahwa penetapan tarif PBB-P2 melalui peraturan daerah (Perda) berada di bawah wewenang pemerintah kabupaten. Mekanisme pengawasannya bersifat berjenjang, dimulai dari kabupaten, lalu provinsi, dan kemudian oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). “Nah, kita merupakan bagian dari evaluasi yang dilakukan bersama-sama dengan Kemendagri, ya,” tutur Anggito.
Meskipun tarif PBB-P2 di Pati dikabarkan belum pernah naik selama lebih dari satu dekade, Anggito kembali menekankan bahwa evaluasi kebijakan pajak tetap harus dimulai dari level provinsi sebelum melibatkan pemerintah pusat. Saat ditanya mengenai potensi dampak kenaikan pajak PBB-P2 hingga 250 persen terhadap inflasi daerah, Anggito memilih untuk tidak berkomentar lebih lanjut.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, turut menanggapi polemik kenaikan pajak di Pati. Dalam program Sapa Indonesia Malam KompasTV, Kamis (7/8), Luthfi menyatakan bahwa waktu pemberlakuan kenaikan pajak tersebut dinilai kurang tepat. “Artinya, kebutuhan masyarakat, daya beli masyarakat turun dan kebutuhan tinggi. Tidak elok kalau timing untuk menaikkan ini dilaksanakan pada saat sekarang,” ujar Luthfi.
Ia memaparkan bahwa tingkat inflasi di Jawa Tengah berada di angka 2,5 persen, sementara di Pati mencapai 3 persen. Kondisi ini, menurut Luthfi, seharusnya menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Kabupaten Pati untuk meninjau ulang keputusannya. Luthfi juga menekankan pentingnya transparansi kebijakan kepada masyarakat, serta perlunya dasar kajian akademik dan pertimbangan kemampuan fiskal wilayah sebelum memutuskan kenaikan pajak.
“Saya yakin bahwa kenaikan ini adalah merupakan hal yang mungkin bagi Pemerintah Pati, hal yang wajar, tetapi masyarakat belum bisa menerima, karena apa? Ini sangat membebani masyarakat,” tegas mantan Kapolda Jawa Tengah itu. Ia menyarankan agar kebijakan ini segera direvisi, sekaligus mengingatkan bahwa peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak selalu harus bergantung pada kenaikan pajak; sektor investasi masih bisa menjadi alternatif potensial.
Untuk mencegah potensi kericuhan di tengah masyarakat, Luthfi meminta Bupati Pati mengambil langkah cepat. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerjunkan tim pengawasan dari biro hukum, inspektorat provinsi, hingga Inspektorat Kemendagri untuk mengkaji kembali kebijakan kenaikan pajak tersebut secara komprehensif.
Dalam tayangan Sapa Indonesia Malam KompasTV, Rabu (6/8), Bupati Pati Sudewo menjelaskan bahwa penyesuaian tarif PBB-P2 terakhir dilakukan pada tahun 2011. Ia menyebutkan bahwa sesuai dengan peraturan, penyesuaian seharusnya dilakukan minimal setiap tiga tahun. “Jadi selama 14 tahun, ini tidak pernah dilakukan penyesuaian NJOP (Nilai Jual Objek Pajak),” ujarnya. Sudewo menambahkan, jika penyesuaian dilakukan secara konsisten selama 14 tahun, kenaikan bisa mencapai lebih dari 1.500 persen, namun pihaknya hanya menaikkan sebesar 250 persen.