Jakarta – Kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terkait larangan diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja menuai sorotan tajam. Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja menilai bahwa Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025, yang secara spesifik melarang persyaratan batas usia dalam penerimaan karyawan, belum cukup kuat sebagai payung hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak pekerja. Kritik ini menyoroti lemahnya implementasi kebijakan tanpa adanya sanksi tegas bagi pelanggar.
Menurut Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, regulasi yang hanya berbentuk surat edaran tersebut tidak akan membawa dampak signifikan. Alasannya, pemerintah belum menetapkan sanksi konkret bagi perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan dalam SE tersebut. “Oleh karena itu, kami berpendapat harus dikeluarkan aturan dalam bentuk Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) yang memiliki kekuatan hukum lebih mengikat,” tegas Said dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 31 Mei 2025.
Said Iqbal menjelaskan, Permenaker yang diusulkan nantinya seharusnya mengatur larangan persyaratan tertentu dalam rekrutmen karyawan yang dapat melanggar hak asasi manusia serta hak konstitusional warga negara. Jika terdapat industri yang memang membutuhkan persyaratan batas usia, Said menekankan bahwa hal tersebut harus diatur dengan ketentuan khusus, termasuk keharusan untuk memberitahukan, meminta izin, hingga mendapatkan persetujuan dari Menteri Ketenagakerjaan secara langsung.
Mengenai larangan persyaratan usia, Said berpendapat bahwa batasan usia maksimal, seperti 25 tahun yang kerap diterapkan perusahaan, berpotensi mengorbankan generasi produktif bangsa. Praktik diskriminatif ini, menurutnya, juga merugikan negara karena dapat menurunkan produktivitas nasional secara keseluruhan. Ironisnya, perusahaan masih bisa terus melakukan praktik tersebut lantaran tidak adanya sanksi konkret bagi pelanggar. “Surat Edaran sudah ada tapi hanya akan menjadi macan kertas,” kritiknya, menggambarkan SE yang tidak memiliki kekuatan penegakan.
Menanggapi kritik tersebut, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli sebelumnya menjelaskan bahwa SE Nomor M/6/HK.04/V/2025 diterbitkan sebagai regulasi dasar yang mendesak. Penerbitan SE ini bertujuan untuk tidak menunda upaya perlindungan pekerja, mengingat penyusunan payung hukum yang lebih komprehensif, seperti Undang-Undang, membutuhkan proses dan waktu yang jauh lebih lama.
“Untuk menuju Undang-Undang, prosesnya panjang. Daripada menunggu terlalu lama, ini (surat edaran) harus ada,” ujar Yassierli dalam konferensi pers yang diselenggarakan di Kemnaker pada Rabu, 28 Mei 2025, menunjukkan prioritas pemerintah untuk segera bertindak.
Kendati demikian, Yassierli menyatakan bahwa penerbitan SE ini tidak menutup peluang penyusunan regulasi lain yang lebih kuat di masa mendatang. Bahkan, ia mengklaim bahwa Kemnaker sudah menyiapkan draf Permenaker, meskipun beleid tersebut masih memerlukan proses harmonisasi sebelum dapat disahkan.
“Surat edaran ini kami harap bisa menjadi dasar bahwa pemerintah ingin hadir dan tidak membiarkan diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja hanya karena faktor-faktor yang sebenarnya tidak relevan,” pungkas Yassierli, menegaskan komitmen pemerintah untuk mengatasi isu diskriminasi dalam pasar kerja.